BI Enggan Gegabah Sanksi Bank yang Sistemnya Eror

21 Juli 2019 10:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mesin ATM Bank Mandiri di Thamrin City, Jakarta. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mesin ATM Bank Mandiri di Thamrin City, Jakarta. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem pembayaran PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sempat mengalami gangguan pada Sabtu (20/7) pagi. Sekitar 10 persen nasabah bank berpelat merah tersebut mengalami perubahan saldo, menjadi bertambah, berkurang, atau nol.
ADVERTISEMENT
Gangguan sistem pembayaran pada perbankan sudah beberapa kali terjadi. Sejak awal tahun ini saja, sejumlah bank BUMN maupun swasta setidaknya pernah sekali mengalami gangguan sistem pembayaran.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas sistem pembayaran diminta untuk lebih tegas menangani permasalahan yang terjadi tersebut. Bahkan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta BI untuk mengenakan sanksi denda terhadap bank yang terbukti lalai menerapkan sistem pembayaran yang andal dan merugikan konsumen.
Namun demikian, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko memastikan, pihaknya akan mengutamakan perlindungan konsumen terlebih dahulu. Sehingga nasabah mendapat kepastian dari bank bahwa dana atau saldonya bisa kembali normal.
"Kita enggak mau gampang kasih sanksi, kita lihat dulu perlindungan konsumennya. Dia (konsumen/nasabah) harus terasa aman dan terjamin dananya kembali," ujar Onny di Medan, Sumatera Utara, Minggu (21/7).
ADVERTISEMENT
Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, penyelenggara jasa sistem pembayaran yang melanggar ketentuan dapat dikenakan sanksi mulai dari teguran, denda, hingga pencabutan izin penyelenggara jasa sistem pembayaran. Namun pada beleid ini tak dijelaskan secara detail jenis sanksi yang bisa diberikan BI kepada penyelenggara.
Onny menegaskan, pengenaan sanksi juga memiliki aturan dan standarnya sendiri. BI akan melihat terlebih dulu mitigasi risiko sampai sistem perbaikan yang dilakukan penyelenggara jasa sistem pembayaran seperti bank.
"Pertama pasti diteliti dulu, biasanya setiap itu (penyelenggara jasa sistem pembayaran) ada namanya sistem recovery-nya yang berapa lama, jadi ke sananya aman. BI lihat ya ada ketentuan kita yang mitigasi risiko dan dispute resolution, ada SOP-nya atasi itu. Kalau soal sanksi tergantung kondisinya," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Onny melanjutkan, saat ini sebenarnya sistem pembayaran perbankan di Indonesia sudah cukup baik. Hanya saja, hal tersebut perlu ditingkatkan seiring semakin melesatnya perkembangan teknologi.
"Kalau bank-bank besar mereka pasti sistemnya sudah baik. Semoga masyarakat tidak khawatir. Perlindungan konsumen di depan. Mungkin ke depan perlu meingkatkan kapabilitas sistemnya," tambahnya.
Sebelumnya, Koordinator Komisi Kerjasama dan Kelembagaan BPKN, Nurul Yakin, meminta BI untuk mengenakan sanksi ke perbankan yang sistem pembayarannya eror. Hal itu perlu dilakukan agar kasus seperti gangguan sistem seperti yang terjadi pada Bank Mandiri hari ini tak kembali terulang.
“Bank Indonesia ke depan perlu menerapkan mekanisme denda atas gagalnya sistem pembayaran seperti ini oleh bank penyelenggara,” ujarnya.
Selain merugikan konsumen, kegagalan suatu sistem pembayaran akan berdampak pada kepercayaan pada perdagangan, sistem moneter dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, BPKN juga mendesak agar Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran direvisi.
ADVERTISEMENT
“Oleh karenanya sangat mendesak untuk merevisi PBI Nomor 16/1/PBI/2014 dengan memperluas cakupan dan meningkatkan kapasitas lembaga terhadap perlindungan konsumen. Hal ini selaras dengan peningkatan inovasi teknologi informasi dan peningkatan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik,” imbuhnya.
Menurut dia, peningkatan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan ini sesuai arahan G20 High Level Principles of Financial Consumer Protection 2011 serta The Good Practices of Financial Consumer Protection World Bank 2012 & 2017.