Bukan Hal Baru, Pajak Rokok Sudah Digunakan untuk Kesehatan di Daerah

23 September 2018 9:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7). (Foto:  ANTARA FOTO/Jojon)
zoom-in-whitePerbesar
Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7). (Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
ADVERTISEMENT
Pemerintah memutuskan menutupi defisit BPJS Kesehatan dengan dana dari pajak rokok. Hal ini memunculkan sindiran dari kalangan perokok, karena dengan membantu pendanaan BPJS Kesehatan merokok kini dianggap baik untuk kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pengamat kebijakan fiskal, Yustinus Prastowo, menyatakan selama ini sumber pendapatan daerah yang berasal dari dana bagi hasil cukai harga tembakau (DBH CHT) dan pajak rokok sudah digunakan untuk mendanai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
“Sekarang memang Jamkesda sudah diintegrasikan ke BPJS Kesehatan. Sebelumnya Jamkesda dibiayai dengan APBD, yang salah satu sumber pendapatannya dari DBH CHT dan pajak rokok,” kata Yustinus.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxatioan Analysis (CITA) itu menilai, penggunaan pajak rokok untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan sebagai ide yang win win, karena mengatasi masalah jangka pendek. Hal itu juga tidak menambah beban industri.
Ilustrasi foto produk Peruri selain uang: Cukai Rokok. (Foto: Instagram @rokok.indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto produk Peruri selain uang: Cukai Rokok. (Foto: Instagram @rokok.indonesia)
Dengan demikian, lanjut Yustinus dalam pernyataan tertulisnya seperti dikutip dari Antara, pemerintah perlu menerbitkan Perpres yang mengatur pengalokasian pajak rokok untuk BPJS Kesehatan itu. Hal ini sesuai dengan prinsip earmarking dalam UU Cukai, serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, yang dimaksud earmarking yaitu anggaran yang penerimaan maupun pengeluarannya secara spesifik sudah ditentukan. "Dari satu batang harga rokok yang dibeli, di dalamnya ada pungutan yang dibayarkan, dua di antaranya adalah Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Pajak Rokok.”
Dari pungutan CHT yang kita bayarkan, papar Yustinus, sebesar 2 persennya diberikan kepada provinsi yang penggunaannya di-earmark sesuai UU Cukai No. 39 Tahun 2007 Pasal 66 ayat 1. Dalam pelaksanaan, dana earmark tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)."
Begitu pula dengan pungutan pajak rokok, berdasarkan Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pungutan atas pajak rokok di-earmark paling sedikit sebesar 50 persen digunakan untuk mendanai program kesehatan. Sedangkan dalam alokasinya, ditentukan oleh Menteri Kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Ilustrasi sampah rokok. (Foto: PublicDomainPictures via Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sampah rokok. (Foto: PublicDomainPictures via Pixabay)
Namun, lanjut Yustinus, dalam pelaksanaanya masih banyak masalah dalam implementasi dana earmarking baik Dana Bagi Hasil (DBH) CHT dan Pajak Rokok mulai dari masalah administrasi sampai pengawasan. Tak pelak, penggunaan dari dana DBH CHT dan Pajak Rokok masih belum optimal. Pada saat yang sama terdapat masalah pendanaan BPJS.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, menurut dia, menjadikan DBH CHT dan Pajak Rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS merupakan solusi yang tepat dan cermat.
"Karenanya ekstensifikasi objek cukai menjadi kebutuhan yang amat mendesak, sebagai upaya perluasan sumber pembiayaan. Bahkan kini muncul istilah bahwa gula atau pemanis adalah "new tobacco"," ujar Yustinus.