Cerita CEO TaniGroup Jatuh Bangun Majukan Petani di Era Digital

17 Agustus 2019 9:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
CEO & Co-Founder Tani Group Ivan Arie Sustiawan. Foto: Dok. TaniGroup/Bhisma Adinaya
zoom-in-whitePerbesar
CEO & Co-Founder Tani Group Ivan Arie Sustiawan. Foto: Dok. TaniGroup/Bhisma Adinaya
ADVERTISEMENT
CEO & Co-Founder TaniGroup Ivan Arie Sustiawan tak menyangka, agritech startup TaniGroup yang dijalankannya bisa berkembang pesat. Hingga kini, ada setidaknya 25.000 petani dari Jawa, Sumatera hingga Sulawesi yang menjadi mitra. Sedangkan gudang penyimpanan hasil panen tersebar di lima kota, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
ADVERTISEMENT
TaniGroup yang menaungi e-commerce platform pertanian TaniHub dan penyedia layanan peer-to-peer lending (P2P) TaniFund, saat ini juga sudah bisa menyalurkan dana lebih dari Rp 75 miliar kepada 2.100 petani dalam 83 proyek pertanian modern.
Lelaki berusia 42 tahun itu pun bukan kepalang senang, saat nama TaniHub bergaung menjadi startup yang disebut-sebut Presiden Joko Widodo dalam momen debat calon presiden (capres) pada 17 Februari 2019 lalu. Jokowi kala itu, menjawab Prabowo Subianto soal kemajuan sektor pertanian Indonesia di era industri 4.0 yang lekat digitalisasi.
“Saya meyakini bahwa kita akan menyongsong revolusi Industri 4.0 dengan optimis. Coba kita lihat, sekarang ini produk-produk petani sudah masuk ke marketplace. TaniHub coba dilihat, TaniHub sudah memasarkan produk-produk petani dari produsen langsung ke konsumen sehingga harganya bisa di-cut,” ujar Jokowi saat itu.
ADVERTISEMENT
Pamor TaniGroup pun makin melejit, dan tambah dikenal masyarakat luas. Ivan mengamini itu. Ivan lantas mengingat saat masa-masa awal perjuangan ‘jatuh bangun’ membesarkan TaniGroup tahun 2016 silam. Kala itu, TaniGroup masih sebuah rintisan ide startup bernama TaniHub yang dibawa oleh sekelompok anak muda. Sedangkan, Ivan merupakan seorang profesional yang bergelut lama di bidang logistik.
CEO & Co-Founder Tanihub Ivan Arie Sustiawan. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
“Ketemu anak-anak muda itu, tahun 2016. Mereka membangun startup TaniHub berjalan 6 bulan. Dan ada yang perlu di-improve karena attraction-nya kok enggak naik (makanya menemui saya),” kenang Ivan ketika ditemui di kawasan Bogor, Jawa Barat, Jumat (16/8).
Hal pertama yang dilakukan Ivan, bukan menanyakan modal biaya yang dikantongi para anak muda itu. Namun, apa mimpi mereka untuk membangun startup itu.
ADVERTISEMENT
“Mimpi mereka sederhana, ingin membawa pertanian Indonesia lebih baik. Saya kaget, anak muda punya mimpi seperti itu. Saya memiliki keinginan sama. Sehingga, saya tinggalkan karier profesional dan saya mulai (membangun TaniHub) bersama mereka,” lanjutnya.
Tim TaniHub yang dipimpin oleh Ivan, kala itu, kemudian menyewa sepetak kantor ukuran 3x4 meter di kawasan Lenteng Agung, Jakarta. Bermodalkan tekad dan modal yang didapat dari patungan tim itulah, Ivan mulai mendatangi para petani satu persatu.
“Sebenarnya petani itu sederhana permintaannya, bisa enggak menyerap hasil pertanian kami secara konsisten? Jangan sampai panen pertama diambil dan kedua enggak diambil,” kata Ivan menirukan ucapan petani.
Petani di area persawahan cabai TaniGroup di kawasan Bogor, Jawa Barat. Foto: TaniGroup/Bhisma
Perjalanan mendapat kepercayaan para petani pun ternyata tak mudah. Ivan mengaku, tak sedikit yang mencibir ide TaniHub itu. Bukan saja dari petani, namun juga dari lingkungan sekitarnya yang menyangsikan usahanya menggandeng petani bisa maju karena stigma terbatasnya SDM dan kemampuan teknologi.
ADVERTISEMENT
“Pertanyaan-pertanyaan muncul, kenapa mau mengembangkan usaha tani? Petani itu kan mereka susah diajak maju, ribet, ya enggak mudah memang, tapi itu lah perjuangannya,” ucapnya.
Tak berhenti di situ, model bisnis TaniHub yang semula B2C (business-to-consumer) ternyata menemui kendala. Sebab, menyalurkan hasil pertanian ke konsumen langsung ternyata tak gampang. Bukan hanya membutuhkan ongkos pemasaran yang lebih mahal dan ribet, namun juga penyerapan ke petani yang tidak maksimal.
Karena itulah, Ivan dan tim kemudian merombak model bisnis dengan berfokus pada B2B (business-to bussiness). Ia mulai menawarkan produk-produk hasil pertanian dalam jumlah yang lebih besar ke perusahaan retail, usaha kuliner hingga UMKM.
“Saya bilang ke teman-teman kalau bisnis kita mau sustain, dengan waktu yang sangat pendek dengan modal yang terbatas maka kita membutuhkan market yang besar, market terbesar dalam pertanian itu kan B2B. Artinya, volume,” paparnya.
Para petani di area persawahan cabai TaniGroup di kawasan Bogor, Jawa Barat. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Upayanya mulai membuahkan hasil, TaniHub makin banyak permintaan. Para petani di TaniHub pun kian bertambah dan lahan-lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian semakin luas dibuka. Ada buah-buahan hingga sayur mayur.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya TaniHub, pihaknya kemudian melihat bahwa petani tidak hanya membutuhkan akses terhadap pasar, tapi juga akses permodalan. Maka pada 2017, platform crowdfunding TaniFund pun didirikan untuk permasalahan pendanaan yang dihadapi petani.
Ivan bilang, petani adalah akar dari adanya TaniGroup. Tak elak, selain mengembangkan model bisnis pihaknya juga terus meningkatkan kualitas para petani dan pertanian berbasis digital.
Ribuan petani yang tergabung di TaniGroup dibentuk berkonsepkan kelompok tani yang memiliki pendamping ahli. Nantinya, para petani diajari mengelola pertanian secara modern dan tertib. Selain itu, juga diajari mengontrol dan melaporkan proses pertanian secara digital. Termasuk soal pengelolaan keuangan.
“Makanya kita ada finansial eksklusif, jadi kita tidak semata-mata menjadi jembatan lender dan borrower (TaniFund), tapi kita juga mengedukasi petaninya,” tegasnya.
Gudang penyimpanan dan pengemasan hasil panen para petani oleh TaniGroup di kawasan Bogor, Jawa Barat. Foto: Dok. Bhisma Adinaya/TaniGroup
Dengan ketelatenan itu, Ivan mengklaim para petani lebih berdaya. Mereka jadi lebih mahir dalam pertanian menggunakan teknologi hingga memperoleh kesejahteraan yang lebih baik. Sebab, petani tak perlu lagi memikirkan modal pertanian. Harga jual hasil pertanian di kalangan petani jadi naik minimal 5 persen dibandingkan ketika dijual ke tengkulak.
ADVERTISEMENT
“Pembayaran otomatis, tanpa menambahkan invoice sehingga mereka fokus meningkatkan pertanian. Harga lebih baik, karena memotong rantai distribusi. Otomatis petani mendapatkan harga yang lebih baik, dan lebih cepat, pembayaran bisa pada hari itu juga dan paling lama 3 hari,” imbuh dia.
Seiring kian berkembangnya TaniGroup, investor pun berbondong-bondong tertarik untuk menamkan modal. Startup yang salah satu Co-Foundernya ialah mantan karyawan World Bank itu pun baru saja mendapatkan pendanaan seri A senilai USD 10 juta yang dipimpin oleh Openspace Ventures.
Investor lainnya yang mendukung ada Intudo Ventures, Golden Gate Ventures, dan the DFS Lab, akselerator fintech yang didanai oleh Bill dan Melinda Gates Foundation. Sebelumnya, ada pula investasi yang telah masuk yaitu pra-Seri A di TaniGroup oleh Alpha JWC Ventures dan beberapa angel investor pada awal 2018.
ADVERTISEMENT
Niat Baik, Passion dan Kerja Keras
Ivan selalu percaya, segala hal yang berawal dari niat baik akan kembali berbuah manis. Hal itu lah yang ia rasakan dalam menjalankan bisnisnya di TaniGroup. Ia menyebut, usahanya tak hanya sekadar untuk mengejar pundi-pundi material namun berdampak sosial memajukan para petani.
Tak cukup dengan niat baik, ia menekankan, bisnis yang dijalankannya juga didorong oleh passion. Nilai itulah yang kemudian ia tularkan kepada timnya dalam bekerja. Yaitu, passion untuk membantu sesama.
“Passion sih. Kita ini senang, melihat, karena kita beriteraksi, saya sudah lama di logistik kalau kita bisa membantu masyarakat yang pertanian kita ngerasa itu bisa jadi hal tersendiri. Kadang-kadang orang bikin startup itu bukan karena kayaknya sih, lebih ke apa sih yang bisa kita sumbangkan, sektor mana kita mencatat proses maksimal, salah satunya pertanian,” tuturnya.
Petani di area persawahan cabai TaniGroup di kawasan Bogor, Jawa Barat. Foto: TaniGroup/Bhisma
TaniGroup ke depannya pun, kata dia, bakal lebih masif berekspansi. Selain sektor pertanian yang masih berpeluang besar digarap, juga karena masih banyak petani yang menurut Ivan belum sejahtera. Selain itu, mimpi menjadikan citra petani bermasa depan cerah hingga anak-anak muda tak malu jadi petani adalah mimpi besarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang diolah TaniGroup (TaniHub & TaniFund) dari berbagai sumber, mayoritas dari total 35 juta petani di Indonesia adalah smallholder farmers, yaitu petani yang memiliki ukuran lahan tidak lebih dari 0,3 hektar. Pada umumnya, petani lokal masih menggunakan teknologi sederhana dalam bekerja dan 61 persen dari mereka berusia di atas 45 tahun.
Maka dari itu, ia terus memacu TaniGroup agar bisa lebih berdampak besar utamanya bagi kesejahteraan petani. Hal yang akan difokuskan pihaknya adalah ekspansi.
“Pertama, ekspansi dengan membuka market lebih banyak. Dari Bali, kita buka beberapa di Jawa lagi, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dengan dibukanya akan market itu kan otomatis kebutuhan hasil pertanian petani meningkat dan terserap lebih banyak,” ucap dia.
Gudang Penyimpanan dan Pengemasan Hasil Pertanian Petani yang Dikelola TaniGroup di Kawasan Bogor, Jawa Barat. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Rencana selanjutnya, TaniGroup juga menargetkan bisa segera membuat pusat pengepul dan pengemasan hasil pertanian petani yang tersebar di lebih banyak tempat di Indonesia. Tujuannya, agar petani bisa mendistribusikan hasil pertaniannya dengan lebih mudah dan menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Pihaknya pun kini juga menggencarkan pengembangan SDM dan memperkuat ekosistem RnD (research and development). Salah satu caranya, ialah melalui penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Jumat, 16 Agustus 2019 untuk membangun sektor pertanian di Indonesia.
Ke depan, pihaknya pun tak menutup peluang berbagai kolaborasi dengan berbagai stakeholder. Mulai dari institusi pemerintahan hingga sesama pelaku bisnis.
“Apapun kita kolaborasi misalnya dengan provider, grab jadi kita sangat open, karena menurut kita kunci sukses kita adalah kolaborasi,” tandasnya.