Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di Pertemuan IMF-WB, Sri Mulyani Ajak Dunia Berbagi Pembiayaan Bencana
10 Oktober 2018 13:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Indonesia belakangan ini sering dilanda bencana , seperti gempa yang terjadi baru-baru ini di Lombok, Palu, dan Donggala. Hal ini karena Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana.
ADVERTISEMENT
Data Bank Dunia menunjukkan, Indonesia termasuk dalam 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa akibat bencana. Kerugian yang diderita akibat bencana pun tidak sedikit, sementara kemampuan pemerintah dalam menyediakan pendanaan sangat terbatas.
Dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group yang berlangsung di Bali kali ini, Indonesia mengajak para peserta yang hadir dari berbagai negara untuk saling berbagi dan menemukan solusi yang tepat, khususnya dalam hal pembiayaan dan asuransi risiko bencana.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penanganan bencana di Indonesia masih sangat tergantung pada APBN dan APBD, bahkan harus merealokasi anggaran. Untuk itu, diperlukan identifikasi semua risiko untuk menangani hal tersebut.
“Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Sebuah strategi jangka Panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal,” kata Sri Mulyani di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10).
ADVERTISEMENT
Fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan melakukan rekonstruksi.
“Namun kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi," katanya.
Sri Mulyani juga menyatakan Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana.
“Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah” jelasnya.
Adapun pada tahun anggaran 2019, semua gedung pemerintah akan diasuransikan, meski belum termasuk rumah-rumah penduduk menengah dan bawah karena mekanisme asuransi untuk itu belum tersedia.
Sebagai gambaran besarnya kerugian yang diakibatkan oleh bencana yakni pada tahun 2004-2013, Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 126,7 triliun. Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp 3,1 triliun.
ADVERTISEMENT
Sementara bencana alam besar seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 mencapai Rp 51,4 triliun. Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam.
Pemerintah Indonesia pun tengah menyiapkan peta jalan (roadmap) mengenai pembiayaan dan asuransi risiko bencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.