Dilema Industri Rokok RI, Dibenci tapi Andalan Utama bagi APBN

28 Juli 2018 18:48 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemusnahan rokok ilegal (Foto: Antara/Umarul Faruq)
zoom-in-whitePerbesar
Pemusnahan rokok ilegal (Foto: Antara/Umarul Faruq)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nasib industri rokok khususnya Sigaret Kretek Tangan (SKT) tengah merana. Bukan tanpa sebab karena banyak pabrik rokok kretek tangan sudah tutup produksi. Ujungnya, jumlah karyawan yang di-PHK mencapai puluhan ribu orang.
ADVERTISEMENT
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) mendata jumlah pabrik rokok skala besar dan kecil banyak yang sudah tutup produksi. Pada 2007 tercatat Industri Hasil Tembakau (IHT) berjumlah 4.793 unit. Angka ini berkurang drastis pada 2016 atau 10 tahun kemudian menjadi hanya 1.664 unit saja.
Imbasnya tentu saja pengurangan tenaga kerja. Pada 2010 lalu tercatat, jumlah pekerja yang tergabung dalam organisasi PP FSP RTMM-SPSI sebanyak 235.240 orang. Lima tahun kemudian atau pada 2015, turun menjadi 209.320. Penurunan terus terjadi pada 2017 lalu yakni menjadi 178.624. Itu artinya, selama 8 tahun terakhir, pekerja rokok yang kehilangan pekerjaan sebanyak 56.616 orang.
Banyak faktor yang menjadi penyebab tergerusnya industri rokok kretek tangan. Mulai dari kenaikan tarif cukai rokok yang tahun ini rata-rata 10,04 persen. Kebijakan ini sangat memukul para pelaku industri rokok dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kenaikan cukai bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan matinya industri rokok dalam negeri. Ada beberapa penyebab lainnya seperti iklan bahaya merokok, gambar seram akibat merokok, sampai pembatasan tempat merokok. Pergerakan bisnis rokok seakan dibatasi karena kesehatan.
Kondisi ini memang kontras dengan peran rokok yang menjadi andalan utama bagi pemasukan anggaran negara. Kontribusi rokok ke APBN sangat besar.
Ilustrasi rokok (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rokok (Foto: Thinkstock)
Lihat saja data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Kontribusi rokok bagi pemasukan APBN 2015 mencapai Rp 139,562 triliun, Rp 137,957 triliun di APBN 2016, dan Rp 147,719 triliun di APBN 2017. Sementara itu, hingga semester I 2018, kontribusi cukai rokok ke APBN mencapai Rp 50,96 triliun atau 32,79 persen dari target APBN tahun 2018 yang sebesar Rp 155,4 triliun. Angka tersebut tumbuh 15,02 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
ADVERTISEMENT
"Cukai ini juga diharapkan bisa menyumbang tax ratio karena di negara lain total kontribusi cukai itu terhadap GDP bisa sampai 7 persen, kita baru 1 persen," ungkap Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kemenkeu Sunaryo kepada kumparan, Sabtu (28/7). 
Sunaryo menambahkan kenaikan tarif cukai rokok diberlakukan untuk mengendalikan angka pertumbuhan produksi rokok. Namun dia menegaskan, besaran angka kenaikan tarif cukai sudah diperhitungkan secara matang. Menurutnya jangan sampai tarif cukainya yang naik tinggi berbanding lurus dengan jumlah karyawan pabrik rokok yang di-PHK.
"Semua dipertimbangkan, mulai dari berapa sih pengendalian targetnya mau diturunkan berapa biar tidak naik. Lalu jangan sampai bikin kolaps tenaga kerja. Kita lihat yang pakai tangan (SKT) berapa sih mampunya," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Bea Cukai juga rutin mengawasi peredaran rokok sampai ke eceran. Pasalnya, pengenaan tarif cukai yang tinggi juga berbanding lurus dengan banyaknya rokok ilegal yang beredar. Hal ini yang sangat dikhawatirkan oleh Bea Cukai.
"Kita itu punya pemantauan harga dan tarif yang setiap bulan dipantau. Makanya Bea Cukai itu punya instrumen pengawasan turun ke pasar. Cukai ini kan hanya sebagai salah satu instrumen untuk barrier orang diawasi. Intinya kan supaya tidak mudah dijangkau," jelasnya.