Disebut Prabowo Rugi, Begini Laporan Keuangan Terbaru Garuda

14 April 2019 12:25 WIB
Pesawat Airbus A330-300 Garuda Indonesia mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Foto: REUTERS / Beawiharta
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat Airbus A330-300 Garuda Indonesia mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Foto: REUTERS / Beawiharta
ADVERTISEMENT
Dalam Debat Final Pilpres 2019 tadi malam, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menilai kondisi BUMN sedang tidak sehat. Berdasarkan hasil survei misalnya, Garuda Indonesia baru bisa untung dalam satu penerbangannya bila kursi mereka terisi 120 persen.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini, menurutnya, membuat Garuda tidak bisa untung. Dia pun menyebut tata kelola BUMN saat ini memang tidak berjalan dengan baik.
"Pak Jokowi apa mengerti dan paham yang terjadi? BUMN adalah benteng terakhir ekonomi Indonesia. Ada suatu studi tentang penerbangan yaitu berapa kursi yang harus diduduki tiap penumpang dalam satu pesawat bisa untung. Jadi holding-holding sekarang tidak dikelola dengan baik. Kami risau BUMN kita yang harusnya bisa jadi world champion sekarang jatuh bisa dikalahkan perusahaan swasta?" jelasnya.
Pernyataan soal Garuda yang rugi bukan kali ini saja dikemukakan Prabowo. Sebelumnya, Prabowo pernah pula menyinggung soal rontoknya sejumlah BUMN saat Pidato Kebangsaan di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, 15 Januari 2019 lalu. Prabowo juga menyebut bahwa pemerintah saat ini terus menambah utang untuk mengurangi utang. Pada kesempatan itu, ia mengatakan Garuda bisa dibilang bangkrut.
ADVERTISEMENT
"Apakah negara ini yang kita inginkan? Negara yang utang untuk bayar pegawai negerinya. Negara yang biarkan BUMN-BUMN yang kita banggakan, Pertamina, Garuda Indonesia, pembawa bendera Indonesia yang lahir dalam perang kemerdekaan kita, sekarang dalam keadaan yang kalau bisa dibilang bangkrut," kata dia.
Lantas, bagaimana kondisi keuangan Garuda sebenarnya?
Berdasarkan catatan kumparan, Garuda Indonesia memang sempat mencatat kerugian USD 127,97 juta atau setara Rp 1,86 triliun (kurs USD 1 = Rp 14.565) dalam kurun waktu Januari-September 2018. Angka kerugian ini menurun 38,31 persen dibandingkan periode 2017 (year-on-year/yoy) yang rugi sebesar USD 207,45 juta.
BUMN penerbangan ini mencetak pendapatan usaha USD 3,21 miliar hingga kuartal III-2018. Perolehan pendapatan Garuda Indonesia ini meningkat daripada catatan kuartal III-2017 sebesar USD 3,11 miliar.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan peningkatan pendapatan, beban usaha juga meningkat yoy yakni dari USD 3,23 miliar (kuartal III-2017) menjadi USD 3,35 miliar (kuartal III-2018).
Kondisi itu, tak lepas dari industri penerbangan nasional terpukul oleh kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah pada periode Januari-September 2018. Avtur, bahan bakar pesawat, menyumbang sekitar 37-40 persen terhadap total biaya di maskapai. Sementara itu, 75 persen biaya di maskapai nasional dalam bentuk valuta asing (dolar AS), namun mayoritas pendapatan berdenominasi rupiah.
Garuda Sekarang Sudah Untung
Kondisi terbaru menyebutkan Garuda Indonesia perlahan telah bangkit dari kerugian itu. Dikutip kumparan dari laporan keuangan yang disampaikan perseroan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (2/4), maskapai pelat merah ini mencatatkan kenaikan pendapatan usaha dari USD 4,177 miliar di 2017 menjadi USD 4,373 miliar di 2018.
ADVERTISEMENT
Penerbangan berjadwal masih menjadi sumber pendapatan terbesar, kemudian disusul oleh pendapatan dari sumber lainnya dan penerbangan tidak berjadwal.
Berkenaan itu, Garuda Indonesia mencatatkan keuntungan USD 809.846 atau setara Rp 11,5 miliar (USD 1 = Rp 14.200) sepanjang 2018. Kinerja keuangan Garuda Indonesia menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun 2017 yang rugi USD 216,582 juta atau setara Rp 3,7 triliun.
Perseroan juga memperoleh berkah dari pelemahan rupiah, yakni memperoleh keuntungan selisih kurs sebesar USD 28,073 juta. Sejalan dengan laba dan pendapatan, aset Garuda Indonesia juga meningkat dari USD 3,763 miliar menjadi USD 4,371 miliar.
Saham Garuda Indonesia pun sejak pertengahan Januari 2019 mengalami kenaikan tajam. Padahal, sebelumnya pada periode 2016-2018 saham perusahaan plat merah itu hanya berkutat di angka Rp 200-300, bahkan mengalami tren penurunan. Saham GIAA juga pernah anjlok di posisi Rp 300 pada periode Oktober 2015, dari posisi tertingginya yang sempat di harga Rp 650.
ADVERTISEMENT
Saham GIAA mulai menanjak sejak 18 Januari 2019, menyentuh level Rp 292. Sejak awal tahun (year-to-date), saham GIAA sudah meningkat 72,41 persen. Di awal tahun, saham GIAA bertengger di level Rp 290. Posisi terendah berada di Rp 282 dan tertinggi di Rp 520.
Analis Binaartha Sekuritas M Nafan Aji Gusta Utama menjelaskan sisi lain kenapa saham GIAA melonjak tajam hingga hari ini meski fundamental seperti kinerja keuangan belum stabil.
Pertama, Nafan menyebut, bergabungnya Sriwijaya Air dan NAM Air ke dalam bendera Garuda Indonesia Group menjadi salah satu sentimen positif dalam menggerakkan harga saham.
Faktor lain ialah penguatan mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi sejak November 2018. Rupiah berhasil memukul keperkasaan dolar AS, bahkan pekan ini kurs mata uang Garuda berada di bawah Rp 14.000. Penguatan rupiah sangat penting bagi industri penerbangan karena mayoritas biaya di maskapai berdenominasi dolar, namun sebagian besar pendapatan dalam bentuk rupiah.
ADVERTISEMENT
"Faktor terapresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kemudian, pemasangan alat Wifi ke armada pesawat GIAA. Itu saja," kata Nafan kepada kumparan.
Sementara itu, Analis Bahana Securities Muhammad Wafi menambahkan, faktor pendorong kinerja saham GIAA lainnya, yakni adanya kenaikan harga tiket dan menurunnya harga minyak dunia. Harga tiket mampu menaikkan pendapatan, sementara penurunan harga minyak berpengaruh pada berkurangnya biaya yang ditanggung.
"Tren harga minyak turun, pengambilalihan operasional Sriwijaya, pembukaan beberapa rute baru, kenaikan harga tiket atau bagasi, kenaikan jumlah penumpang atau wisatawan," tutup Wafi.