Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Ekonomi Turki Terpuruk, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
13 Agustus 2018 10:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Turki tengah dibayangi krisis keuangan. Penyebabnya, mata uang lira terus tertekan dolar Amerika Serikat. Sejak Recep Tayyip Erdogan memimpin, tercatat, lira sudah terjun bebas sebanyak 70 persen. Bagaimana dampaknya ke Indonesia?
ADVERTISEMENT
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan sejauh ini dampak ekonomi Turki tidak berpengaruh signifikan pada Indonesia. Alasannya, jarak Indonesia dan Turki terlalu jauh.
Menurut dia, pihak yang paling terdampak adalah Eropa, sebab memiliki cukup banyak saham di sana. Dengan kondisi tersebut, banyak arus modal yang keluar dari Turki dan mencari pasar yang aman seperti AS.
“Menurut beberapa pemantauan dari World Bank dan economist, hampir setara dengan apa yang dialami Indonesia di tahun 1998. Kalau kita lihat pengaruhnya secara langsung adalah ke Eropa karena punya saham yang signifikan di Turki, terutama di perbankannya," kata Faisal saat dihubungi kumparan, Senin (13/8).
Sehingga, kata Fithra, kondisi Turki saat ini akan menjalar sistematik ke Eropa, bahkan bisa mengancam menjadi krisis di Eropa. "Ditakutkan. Makanya sudah ada pembebasan di mana Turki di bailout meskipun bukan bagian dari Uni Eropa,” katanya.
ADVERTISEMENT
Ekonomi INDEF Eko Listyanto berpendapat senada. Menurut dia, depresiasi lira terhadap AS sudah mencapai 40 persen dalam setahun terakhir. Bahkan, suku bunga acuan bank sentral Turki pun sudah menyentuh 17 persen demi menyesuaikan kondisi dengan laju suku bunga AS, The Fed.
Jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi dalam negeri saat ini yang juga tertekan dolar AS, Indonesia cenderung masih berada jauh di atas Turki. Menurut dia, sejuah ini depresiasi rupiah masih di level 6 persen, jauh di atas Turki.
“Turki itu berat ya, karena sejak Erdogan memimpin Lira itu jatuh 70 persen. Dalam setahun ini sudah jatuh 40 persen terhadap dollar AS. Kalau kita sih depresiasinya belum sebesar itu ya, sekitar 6 persen tahun ini,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Namun, Eko tetap meminta pemerintah untuk tetap waspadai. Sebab, Indonesia dan Turki merupakan sama-sama negara berkembang, sebab bukan tidak mungkin hal serupa bisa terjadi di Indonesia.
“Beberapa pakar ekonomi dunia mengelompokkan, Indonesia, Turki, Brazil, Meksiko, Afsel yang dikelompokan negera berkembang karena karakteristiknya sama. Saya masih percaya diri dampaknya enggak akan ke Indonesia, cuma kadang image sama-sama satu cluster itu jadi terbawa nama jeleknya,” kata dia.
Lebih lanjut, Eko mengatakan agar terbebas dari image buruk “negara satu cluster” Turki yang tengah krisis, Indonesia harus memperlihatkan bahwa fundamental ekonomi dalam negeri masih jauh kuat dibanding Turki. Cadangan devisa juga masih sangat tinggi.
Selain itu, yang harus diperhatikan Indonesia lebih serius adalah masalah Current Account Deficit (CAD). Menurut Eko, CAD Indonesia dan Turki sama-sama tertekan karena bagaimana pun itu melambangkan permintaan dan penawaran valuta asing.
ADVERTISEMENT
Indonesia, kata dia, harus bisa mengurangi tekanan CAD agar tidak masuk lagi dalam 5 negara yang rentan atau Fragile of Five yang dulu pernah disematkan saat CAD dalam negeri berada di level 4 persen terhadap PDB.
Dengan begitu, pemerintah harus bisa menekan laju impor dan menggenjot ekspor di sektor riil. Selain menggenjot ekspor, Bank Indonesia harus intervensi valas di pasar, meskipun pada akhirnya bisa menggerus cadangan devisa. Dia memprediksi BI masih akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 2-3 kali dalam setahun.