Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Sejak kecil, pria asal Pasuruan ini sebenarnya sudah sangat dekat dengan dunia batik. Ayah dan ibunya adalah pengusaha batik. Namun, hingga dewasa, Ferry Sugeng Santoso sama sekali tidak tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan batik, apalagi memproduksi dan melanjutkan bisnis batik keluarganya.
ADVERTISEMENT
Semua itu berubah ketika pada 2006. Ferry terpaksa harus mewakili kedua orang tuanya memenuhi undangan pelatihan pewarnaan batik alam yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian di Yogyakarta.
Dari sanalah, Ferry mulai mengenal keindahan dan kekuatan batik serta mulai jatuh cinta pada budaya asli Indonesia ini. “Saya disuruh berangkat. Mungkin ya sudah jalannya. Awalnya, saya tidak mau sama sekali. Oleh panitia, semua harus membatik, akhirnya mau tidak mau. Padahal, saya belum pernah sama sekali membatik,” cerita Ferry.
Meski terpaksa, pria kelahiran 13 April 1980 ini menjalani pelatihan itu dengan baik. Semua hal tentang batik dan pewarnaan alam dipelajarinya. Tanpa ia sadari, batik mengajarkan banyak hal lain pada dirinya.
“Bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat, harmoni dengan lingkungan, menjalin kemesraan dengan Tuhan. Filosofinya saya dapat di situ. Kita bisa belajar sinergi dengan masyarakat serta alam. Ternyata batik mengajarkan saya sampai sejauh itu,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Pada 2009, Ferry menerima pendampingan usaha dari Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) yang merupakan salah satu program Sampoerna Untuk Indonesia . Di sini, ia memadukan keindahan batik khas berciri pewarna alami dengan motif batik yang memiliki kekuatan makna dan mengandung filosofi.
“Filosofi yang bisa mengubah orang yang mengenakannya. Contohnya, motif kawung. Motif kawung diciptakan untuk raja agar dia menjadi seorang pemimpin yang benar, bukan bijak. Bijak belum tentu benar. Kalau benar, pasti bijak. Akhirnya, saya buat motif demikian,” ujarnya.
Bahkan Ferry melayani pembuatan batik pesanan khusus yang dibuat dalam waktu cukup lama. Tujuannya, menyelami karakter pemesan agar batik yang dihasilkan membawa energi positif bagi pemiliknya.
Dengan resep batik idealis penuh filosofi dan pembinaan Sampoerna, Ferry sukses menembus pasar dunia, seperti Korea, Australia, Malaysia, Singapura, dan sejumlah negara di Eropa.
ADVERTISEMENT
Harga jualnya pun fantastis. “Harga batik saya mulai harga Rp 450 ribu, ada yang sampai Rp 75 juta, bahkan Rp 250 juta,” tuturnya.
Selain sukses berbisnis, Ferry juga punya jiwa sosial tinggi. Untuk mendukung bisnisnya, ia membina 15 orang pembatik warga Desa Gunting, Pasuruan, yang sebagian besar tidak lulus sekolah. Selain itu, Ferry aktif sebagai mentor pelatihan membatik dengan pewarna alam yang diselenggarakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna atau Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC).
Menurutnya, SETC sangat mendukung para pelaku UKM, termasuk dirinya. Di bawah pemberdayaan SETC, bisnisnya berkembang pesat. Kesempatan mengikuti pameran yang diselenggarakan SETC menjadi peluang besar bagi Ferry untuk memperkenalkan produknya.
Selain mengikuti pameran, UKM binaan SETC juga mendapat kesempatan mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan kualitas produk dan packaging. Dari pelatihan tersebut, mereka bisa membuahkan produk UKM berkualitas serta menembus pasar dunia seperti kesuksesan bisnis yang sudah diraih Ferry.
ADVERTISEMENT
Selain memiliki karya batik dengan harga jual dan mampu menembus pasar dunia, karya Ferry juga mendapat apresiasi dari Kementerian Pariwisata berupa Penghargaan Nayaka Pariwisata.
Story ini merupakan bentuk kerja sama dengan Sampoerna.