GAPKI: Duterte Rugi Jika Persulit CPO Indonesia Masuk Filipina

24 Februari 2019 17:18 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Filipina Rodrigo Duterte Foto: Reuters/Athit Perawongmetha
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Filipina Rodrigo Duterte Foto: Reuters/Athit Perawongmetha
ADVERTISEMENT
Filipina memberlakukan special safeguard (SSG) atau pengamanan khusus bagi produk kopi dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia. Aturan ini diberlakukan untuk menekan impor asal Indonesia demi menekan defisit neraca perdagangan Filipina.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan, ancaman perang dagang Presiden Rodrigo Duterte ini malah akan membuat susah Filipina, sebab mereka harus membeli mahal CPO dari harga sebelumnya.
"Kalau Filipina akan mengenakan tarif tinggi untuk CPO Indonesia, tentunya yang rugi adalah masyarakat di sana karena mereka akan membayar lebih mahal harga CPO dari semula," kata Mukti saat dihubungi kumparan, Minggu (24/2).
Mengutip data dari Kementerian Perdagangan, kenaikan surplus neraca dagang Indonesia dan Filipina hingga November 2018 dibanding periode yang sama hanya tumbuh 4,82 persen dari USD 5,2 miliar ke USD 5,48 miliar.
Menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, angka ini jauh lebih kecil pertumbuhannya jika dibanding 2016-2017 yang melonjak 28,5 persen. Artinya, selama 2018 justru pertumbuhan ekspor Indonesia ke Filipina cenderung melambat.
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Bhima menjelaskan, jika mengacu ke data tersebut, pemerintah bisa melakukan lobi ke Kementerian Pertanian atau Atase Perdagangan Filipina sehingga tuduhan Filipina berdasarkan data yang faktual.
ADVERTISEMENT
Terkait dampak ke Indonesia, pasar CPO ke Filipina relatif pun kecil yaitu 3,7 persen dari total pasar Asia. Ekspor produk sawit ke Filipina sebesar USD 311 juta, sementara pasar Asia total menyumbang USD 8,34 miliar USD (data statistik BPS, 2017).
"Kalau secara global artinya tidak sampai 1 persen. Posisi tawar Indonesia jelas lebih kuat dibandingkan Filipina. Dari sisi ekspor tidak perlu dikhawatirkan. Efek ke pembentukan harga di kontrak pembelian sawit internasional relatif kecil," jelas dia.