Harga Gas RI Kemahalan: dari Sumber ke Konsumen Bisa Naik 380 Persen

15 Januari 2019 22:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kilang gas Qatar. (Foto: shell.com)
zoom-in-whitePerbesar
Kilang gas Qatar. (Foto: shell.com)
ADVERTISEMENT
Harga gas untuk industri di Indonesia masih dirasa mahal. Ada disparitas harga yang jauh dari mulut gas ke konsumen di hilir. Kondisi ini pun terjadi cukup lama. Salah satu pemicunya adalah peran trader. Akibat keberadaan trader, harga gas di Indonesia bisa melonjak 380 persen dari sumber gas hingga ke konsumen.
ADVERTISEMENT
Dalam Keputusan Presiden tahun 2016 tentang batas harga gas untuk industri, Presiden Joko Widodo mematok harga gas industri maksimal USD 6 per mmbtu. Sementara harga di lapangan bisa mencapai USD 14,5 per mmbtu pada kasus pabrik Torabika di Bekasi.
Ekonom Indonesia Emil Salim mengungkapkan mahalnya harga gas di Indonesia karena distribusi dari sumber utama gas ke konsumen tidak berjalan dengan baik. Saat ini, sumber gas bumi banyak ditemukan di timur Indonesia, sementara pusat industri banyak tumbuh di Jawa dan Sumatera.
"Letak dari sumber itu menempatkan distribusi jadi persoalannya. Bagaimana infrastruktur gas bisa dikembangkan?" kata dia dalam diskusi tata kelola harga gas oleh Publish What You Pay Indonesia di Hotel Arya Duta, Jakarta, Selasa (15/1).
ADVERTISEMENT
Sementara untuk infrastruktur di timur Indonesia seperti di Papua yang menjadi sumber mulut gas belum terbangun dengan baik. Gas-gas dari sana saat ini dikirim melalui Floating Storage Regasification Unit (FSRU).
Gas bumi yang dikirim melalui proses regasifikasi membuat harga jualnya lebih mahal. Sementara pipa-pipa gas dan pengembangan kilang gas Indonesia masih tertinggal jauh.
"Jadi agak sulit dijangkau. Ini menghasilkan cost gasnya tidak rendah," jelasnya.
Emil Salim di TPS 005 Patra Kuningan (Foto: Novan Nurul Alam/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Emil Salim di TPS 005 Patra Kuningan (Foto: Novan Nurul Alam/kumparan)
Lalu, lanjut Emil, di Indonesia hanya ada 10 perusahaan yang berkontrak gas. Selebihnya, kata dia, adalah trader gas yang tidak membangun infrastruktur seperti pipa-pipa gas.
Mereka menjual gas yang datang dari mulut ke konsumen dengan bermodalkan kertas. Trader gas ini pada satu mata rantai distribusi tidak hanya satu pihak, tapi bertingkat-tingkat yang membuat harga gas jadi meroket di pembeli akhir.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya di masa lalu adalah yang terjadi pada pabrik Torabika di Bekasi. Pabrik tersebut membeli gas sebesar USD 14,5 per mmbtu. Padahal harga awal di mulut gas hanya sekitar USD 3 per mmbtu.
“Jadi yang bergerak di pasar gas adalah pegadang yang tidak punya pengguna akhir. Maka di sini bermainlah kawan-kawan trader. Karena dia tidak bergantung pada pengguna akhir dan mereka (konsumen) terdesak pada harga tinggi. Sehingga menciptakan retail berlapis di sektor perdagangan gas bumi,” ungkap Emil.
Kata dia, untuk bisa membangun pipa gas bumi yang terintegrasi, Indonesia memerlukan USD 24 miliar untuk kejar ketertinggalan yang ada.
Emil sendiri memperkirakan cadangan gas bakal habis pada 2060 mendatang. Karena itu, saat ini penggunaannya harus dimaksimalkan dengan pembangunan infrastruktur yang memadai dan pembangunan pusat industri yang dekat dengan mulut gas.
ADVERTISEMENT
"Karena sumbernya ada di timur, infrastruktur terbatas, proven reserve limit, cost tinggi, pemakaiannya di barat, maka pengembangan infrastruktur jadi penting kalau mau kita hidupkan industri gas bumi," jelasnya.