Iming-iming Kota Lampu, Celukan Bawang Kini Jadi Kota Penuh Asap

20 Februari 2018 21:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PLTU Celukan Bawang di Gerokgak, Buleleng, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
PLTU Celukan Bawang di Gerokgak, Buleleng, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pembangunan PLTU Celukan Bawang di Gerokgak, Buleleng, Bali, kini tengah memasuki tahap II. Daya listrik yang dihasilkan PLTU tersebut akan ditambah dari 1 x 380 Megawatt (MW) menjadi 2 x 330 MW.
ADVERTISEMENT
Warga di sekitar lokasi justru gelisah dengan adanya pengembangan PLTU Celukan Bawang, meskipun ada iming-iming Celukan Bawang akan terang benderang menjadi kota penuh lampu.
I Ketut Mangku Wijana, salah seorang warga terdampak PLTU Celukan Bawang, mengungkapkan bahwa sejak dulu memang tidak ada sosialisasi kepada masyarakat yang terdampak secara langsung dari adanya PLTU Celukan Bawang. Menurut dia, warga yang berada dalam radius 200 meter dari kawasan PLTU Celukan Bawang kerap menghirup udara kotor penuh polusi hasil pembakaran batu bara.
“Tahun 2005, ada sosialisasi pembebasan lahan, tapi tidak menyebutkan PLTU. Dulu kalau tidak salah pembangunan pabrik kecap. Baru pada 2007 keluar izin pembebasan lahan, setelah itu ada sosialisasi PLTU. Bilangnya nanti jadi kota penuh lampu, padahal yang ada penuh debu,” ujar Wijana dalam Diskusi Publik Dampak PLTU Batu Bara Celukan Bawang di Bali, Selasa (20/2).
PLTU Celukan Bawang di Gerokgak, Buleleng, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
PLTU Celukan Bawang di Gerokgak, Buleleng, Bali. (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Berdasarkan keterangannya, masyarakat tidak tahu di lokasi tersebut akan dibangun PLTU. Wijana menegaskan tetap menolak kehadiran PLTU Celukan Bawang yang justru banyak ruginya daripada manfaatnya.
ADVERTISEMENT
“Dalam Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sudah ada dampak, kok masyarakat tidak dikasih tahu? Sampai hari ini saya tolak. Apalagi batu bara mentah dibawa ke dom, tertutup katanya tapi ada lubang. Kalau terbakar, baunya itu buat tenggorokan saya sakit,” keluhnya.
Dewa Putu Adnyana, Direktur LBH Bali, menyampaikan bahwa sejak awal dia menduga bahwa pembangunan PLTU Celukan Bawang prosesnya tidak sesuai dan mengakomodir instrumen kelayakan. Pada tanggal 24 Januari 2018 yang lalu, pihak LBH Bali telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha di Denpasar.
Adnyana menambahkan berdasarkan Pasal 53 ayat 1 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004, masyarakat merasa kepentingannya dirugikan. Dalam hal ini dirugikan hak konstitusinya untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan mata pencariannya terganggu.
ADVERTISEMENT
“Nelayan misalnya, karena adanya PLTU ini, mereka harus mencari ikan lebih jauh dan hanya mendapatkan 5 kg. Per kg ikan tersebut seharga Rp 25 ribu, sementara biaya operasional menjangkau perairan untuk mendapatkan ikan adalah Rp 200 ribu. Mereka rugi Rp 75 ribu,” ujarnya.
Muncul dugaan proyek itu melanggar regulasi Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014, yaitu pembangunan tidak pada rencana zonasi dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Juga regulasi internasioal yakni Undang Undang Nomor 3 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change.
Didit Haryono dari Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa dampak dari batu bara adalah sebaran pm 2,5, benda yang ukurannya sangat kecil dan tidak mudah disaring dan presisten, bahkan bisa menembus masker. Zat ini mudah sekali berdampak khususnya pada anak-anak dan lansia. Jika sehelai rambut berukuran 10 mikrometer, maka pm 2,5 jauh lebih kecil, yakni 2,5 mikrometer.
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini berada di posisi pertama sebagai negara pengekspor batu bara. Dengan stok batu bara yang cukup besar, pemerintah juga berencana membangun 117 PLTU di Indonesia, terutama berpusat di Jawa dan Bali. Padahal dia mengklaim negara-negara seperti China dan India yang dulu sempat menggunakan batu bara sebagai media produksi listrik sudah mulai meninggalkan karena merusak lingkungan.
Sebagai alternatif energi produksi listrik, di Bali sangat banyak potensi energi terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan. Salah satunya adalah energi tenaga surya.
“Di Buleleng untuk potensi energi baru terbarukan itu 52%. Jadi sangat mungkin untuk dilakukan,” ujar Didit.