Indef: Siapapun Presidennya, Impor Akan Tetap Jalan

11 April 2019 15:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi impor di Pelabuhan. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi impor di Pelabuhan. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laju impor dinilai akan sulit dihentikan oleh siapapun nantinya yang menjadi presiden. Hal ini karena industri dalam negeri yang tak mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nawir Messi, mengatakan tingkat ketergantungan industri terhadap impor masih tinggi. Bahkan impor bahan baku menyumbang 70 persen dari keseluruhan impor.
"Ini menunjukan bahwa industri kita masih tergantung pada bahan baku impor karena lemahnya industri hulu domestik. Siapapun presidennya, impor pasti dan akan tetap jalan," ujar Nawir dalam diskusi Indef di ITS Tower, Jakarta, Kamis (11/4).
Menurut dia, menghentikan impor merupakan sesuatu hal yang muskil. Apalagi saat ini output pertanian dan peternakan terus menurun, sementara jumlah penduduk terus meningkat.
"Impor menjadi suatu yang pasti, menghentikannya adalah sesuatu yang utopis (khayalan). Sekarang output di sektor pertanian dan peternakan rendah, sementara pertumbuhan penduduk, terutama kelas menengah, terus meningkat. Sektor industri juga masih mengandalkan bahan baku impor," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saat ini kontribusi impor konsumsi sudah mencapai 9 persen dalam tiga tahun terakhir. Padahal selama 16 tahun sebelumnya, impor di sektor tersebut masih berada di posisi 7-8 persen terhadap total impor.
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
"Impor konsumsi memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, diakibatkan dengan semakin bergesernya struktur ekonomi ke arah jasa," tambahnya.
Adapun selama 2018, defisit neraca perdagangan memang jauh lebih besar dibandingkan neraca jasa. Selama tahun lalu, neraca dagang defisit USD 8,57 miliar, sedangkan neraca jasa defisit USD 7,1 miliar.
Defisit neraca perdagangan disebabkan oleh neraca migas yang mencatatkan defisit. Selama tahun lalu, neraca migas defisit USD 12,4 miliar, jauh melebar dibandingkan 2017 yang mencatatkan defisit USD 8,57 miliar.
ADVERTISEMENT
Sementara neraca perdagangan nonmigas sebenarnya masih mencatatkan surplus USD 3,83 miliar, namun melambat dibandingkan tahun 2017 yang mencatatkan surplus USD 20,4 miliar.
"Jika tidak ada penanganan serius dan perencanaan industri ke depan, maka neraca perdagangan nonmigas terancam defisit pada satu hingga dua tahun ke depan, mengulangi defisit perdagangan non-migas 1996," tambahnya.