Indonesia Siap Melawan Uni Eropa Soal Penyetopan Konsumsi CPO di 2030

26 Februari 2019 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja membongkar buah kelapa sawit di unit pemrosesan minyak kelapa sawit milik negara. Foto: REUTERS / Tarmizy Harva
ADVERTISEMENT
Indonesia siap melawan sikap Uni Eropa yang telah mendeklarasikan Delegate Act atau implementasi regulasi untuk kesepakatan Renewable Energy Directive II (RED II). Saat ini, para pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Mictengah mempersiapkan diri untuk melawan.
ADVERTISEMENT
RED II merupakan kebijakan yang dibuat Uni Eropa untuk meningkatkan energi terbarukan di wilayah mereka dalam periode 2020-2030 selama 32 persen. Dalam aturan itu, kelapa sawit menjadi salah satu produk yang terkena dampak sebab mereka bakal menyetopnya pada 2030.
Sementara Delegate Act merupakan implementasi dari kebijakan RED II yakni bakal mengurangi penggunaan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan biodiesel secara berkala hingga 2030. Tapi mereka tetap menggunakan minyak nabati yang lain seperti minyak biji matahari.
Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono, mengatakan langkah untuk melawan Delegate Act RED II Uni Eropa perlu dilakukan. Jika Indonesia diam, takut dianggap setuju oleh mereka.
"Kita lagi mau mendiskusikan bagaimana merespons Delegate Act. Kita akan mendiskusikan berbagai pihak, koordinasi dengan kementerian juga karena ujungnya harus Kementerian Luar Negeri yang menjadi corong ke depan. Makanya kita koordinasi," kata usai rapat dengan para pengusaha sawit dan Menko Luhut di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Gedung BPPT, Jakarta, Selasa (26/2).
ADVERTISEMENT
Salah satu poin yang disoroti dalam RED II adalah masuknya CPO dan biodiesel sebagai produk berkategori high risk deforestation atau tanaman dengan dampak hutan yang serius dan risiko rendah atau Indirect Land Usage Change (ILUC).
Pekerja membawa kelapa sawit Foto: AFP PHOTO / Adek Berry
Dengan masuknya sawit Indonesia dalam kategori itu, ekspor Indonesia jadi terjanggal. Dampaknya akan meluas ke dalam negeri, termasuk nasib para petani mandiri sawit.
Sementara itu Wakil Ketua Umum GAPKI Togar Sitanggang mengatakan, salah satu yang memberatkan Indonesia adalah mekanisme penghitungan Uni Eropa dalam memasukan sawit Indonesia sebagai tanaman merusak lingkungan.
"Ini kan masalah ILUC-nya. Cara perhitungannya. Mungkin cara perhitungannya itu yang kita challenges juga, bagaimana mereka menghitung ini, kenapa jadi begini," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dia mengatakan batas waktu atas repson Indonesia terhadap Delegate Act RED II pada 8 Maret 2019. Karena itu, dia meminta para pengusahan kompak satu suara melawan Uni Eropa.
Menurutnya, meski masih belum tahu peluang Indonesia atas repsons ini nantinya, yang terpenting, negara sudah menyatakan sikapnya untuk memprotes aturan Uni Eropa.
Kata dia, bisa saja, dalam perjalanannya, Uni Eropa ternyata melunak. Kalaupun mereka tetap memberlakukan aturan ini, pihaknya bakal mengajukan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu dewan pertimbangan WTO.
"Kalau kita diam saja kan bodoh. Kita harus bersuara. At the end mau jawabannya apa. Mungkin kita akan challenge ke WTO. Tapi sampai dengan 8 Maret nanti, akan memberikan jawaban yang kita anggap menurut versi kita terhadap paper itu," jelasnya.
ADVERTISEMENT