Ini Kriteria Daerah yang Pajak Rokoknya Dipotong untuk BPJS Kesehatan

19 September 2018 14:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Rabu (5/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Rabu (5/9). (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memotong pajak rokok yang diterima daerah untuk mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai Oktober 2018. Pajak rokok sendiri diambil sebesar 10 persen dari total pendapatan cukai rokok.
ADVERTISEMENT
Pemotongan pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan ini telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, akhir pekan lalu.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, pajak rokok yang akan dipotong itu tidak berlaku ke semua daerah. Kebijakan itu hanya berlaku ke daerah yang tak tertib membayar iuran peserta pada program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
“Yang dipotong adalah yang belum memenuhi kewajibannya saja, atau kurang memenuhi kewajibannya. Jadi kalau Jamkesdanya sudah bagus, semua sudah didaftarkan, tidak perlu potong pajak rokok,” katanya dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Jakarta, awal pekan ini.
Adapun mekanisme penerapan kebijakan itu yakni dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah, 75 persennya akan dipakai untuk membantu menutup defisit BPJS Kesehatan. Namun dia menegaskan, pemotongan akan dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
“Yang dipotong nanti itu juga harus ada berita acara dari pemerintah daerah yang bersangkutan dengan BPJS Kesehatan. Jadi pajak rokok tidak dipotong semena-mena langsung,” ucap Mardiasmo.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kanan) (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kanan) (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, beberapa pemerintah daerah tidak rutin membayar iuran dan cenderung mendaftarkan penduduk yang memiliki penyakit risiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan segmen peserta yang didaftarkan pemerintah daerah selalu mengalami defisit.
Di tahun 2014, peserta yang didaftarkan pemda berkontribusi terhadap defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 1,45 triliun, di tahun 2015 berkontribusi sebesar Rp 1,68 triliun, 2016 berkontribusi sebesar Rp 1,22 triliun, dan tahun 2017 berkontribusi sebesar Rp 1,68 triliun.
“Ada 3 segmen kepesertaan yang berkontribusi terhadap BPJS Kesehatan. Ada peserta dari bukan pekerja seperti pensiunan, pekerja informal yang sering disebut peserta mandiri, dan peserta yang didaftarkan pemerintah daerah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum adanya Perpres mengenai JKN ini, menurut Mardiasmo, Kemenkeu telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 222/2017 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), namun dana itu bukan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.
“Tidak dipakai (untuk menutup defisit) karena tidak semua daerah menerima DPH CHT. Hanya beberapa provinsi besar seperti Jateng dan Jatim. Kemarin itu, DBH CHT sebesar Rp 1,48 triliun, itu diserahkan ke kepala daerah bagaimana memperbaiki RSUD, Puskesmas, atau mungkin obat-obatnya, fasilitas-fasilitas lain,” tegas Mardiasmo.