Institut Akuntan Soroti Laporan Keuangan Garuda yang Dipersoalkan CT

21 Juni 2019 20:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum IAPI Bernadus Djonoputro Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum IAPI Bernadus Djonoputro Foto: Nabilla Fatiara/kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) masih berlanjut. Seperti diketahui, GIAA secara mengejutkan berhasil mencatatkan kinerja cemerlang pada 2018. Bukan ruginya lagi yang menurun, tapi perusahaan berhasil mencetak laba bersih bersih senilai USD 809,84 ribu atau Rp 11,33 miliar (kurs USD 1: Rp 14.000). Beberapa pihak pun merasa bahwa ada kejanggalan dalam laporan keuangan GIAA, khususnya pada salah satu transaksi kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi yang dibukukan sebagai pendapatan oleh manajemen. Hal ini kemudian diprotes Komisaris Garuda Indonesia yang mewakili Chairul Tanjung (CT) sebagai pemegang saham.
ADVERTISEMENT
Mahata diketahui bekerja sama secara langsung untuk pemasangan Wi-Fi onboard di sejumlah pesawat milik Garuda Indonesia. Melalui kesepakatan itu, keuntungan yang diraih Garuda Indonesia Group sebesar USD 239.940.000, dengan USD 28.000.000 di antaranya merupakan bagi hasil Garuda Indonesia dengan PT Sriwijaya Air.
Garuda Indonesia saat bersiap mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Senin (14/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Hanya saja, perusahaan sebenarnya belum mendapatkan bayaran dari Mahata atas kerja sama yang dilakukan. Namun manajemen tetap menuliskannya sebagai pendapatan, sehingga secara akuntansi Garuda Indonesia menorehkan laba bersih dari sebelumnya yang rugi sebesar USD 216,58 juta.
Kasus ini pun sudah ditangani dan melibatkan banyak pihak. Termasuk juga melibatkan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Ketua Umum IAPI, Tarkosunaryo menyatakan dari serangkaian proses yang telah dilalui, pihaknya menilai GIAA terlalu dini dalam mengklaim USD 239 juta tersebut sebagai pendapatan.
ADVERTISEMENT
“Di AIPI setelah kita diskusi dengan rapat pengurus, kemudian kita diskusi dengan auditornya, ya kita melihat bahwa USD 239 juta diakui semuanya di 2018 itu terlalu dini. Terlalu buru-buru,” ungkap Tarko di Kantor IAPI, Office 8, Jakarta, Jumat (21/6).
Sebab hal tersebut merupakan kontrak jangka panjang selama 15 tahun. Di sisi lain, Tarko menilai kontrak tersebut dapat diputus sewaktu-waktu. Sehingga jika kontrak terputus sebelum masa berlaku habis, ada kemungkinan Mahata tidak akan membayar sebesar USD 239 juta. Hal yang sama juga bisa terjadi terhadap kerja sama operasi GIAA dengan Sriwijaya
“Sehingga di kemudian hari angka USD 238 juta, angka USD 28 juta, sangat mungkin akan goyang,” ujarnya.
Sedangkan pengakuan pendapatan membutuhkan sebuah kepastian yang tinggi. Yaitu kepastian bahwa Mahata akan membayar sejumlah uang tersebut.
ADVERTISEMENT
Faktor lain, GIAA juga mengklaim bahwa perseroan tidak menanggung sisa kewajiban dalam perjanjian tersebut. Namun fakta yang ditemukan Tarko, justru GIAA tetap masih memiliki kewajiban selama perjanjian tersebut berlangsung. Yaitu, jika ternyata hasil evaluasi dari kerja sama tersebut buruk, maka kerja sama bisa dihentikan setiap saat. Selain itu, fasilitas yang dimaksud dalam perjanjian juga dipasang pada pesawat milik GIAA. Sehingga mau tidak mau, ada usaha yang dilakukan oleh Garuda Indonesia untuk menjaga layanan tersebut tetep berjalan.
Tarko menyatakan, seharusnya GIAA tak terburu-buru mengklaim kerja sama tersebut sebagai pendapatan. Setidaknya sampai semua fasilitas terpasang pada seluruh pesawat milik Garuda Indonesia. Seperti diketahui, saat perjanjian tersebut diteken, baru ada satu unit pesawat yang sudah dipasang Wi-Fi onboard.
ADVERTISEMENT
“Apa enggak boleh (dicatat sebagai pendapatan)? Boleh, tapi tunggu. Sampai kapan? Sampai paling enggak alatnya terpasang semua di 203 pesawat,” tandasnya.