Janji Sandi Swasembada Gula Mustahil Terwujud Dalam 5 Tahun

26 November 2018 17:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani memanen tebu di Sidoarjo (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
zoom-in-whitePerbesar
Petani memanen tebu di Sidoarjo (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
ADVERTISEMENT
Di hadapan ratusan petani tebu di Lumajang, Minggu (25/11), Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno berjanji akan menghentikan impor gula dan mewujudkan swasembada komoditas tersebut.
ADVERTISEMENT
Swasembada adalah janji yang terus menerus dijual oleh para kandidat, pada setiap tahun politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Mudah diucapkan tapi sangat sulit diwujudkan.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, berpendapat bahwa janji soal swasembada gula sudah pasti tidak tercapai. Sebab, masa jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden hanya 5 tahun. Sementara masalah gula di Indonesia sangat kompleks, butuh komitmen dan program jangka panjang untuk menyelesaikannya.
"Masyarakat harus kritis pada janji-janji yang pasti tidak tercapai. Capres dan cawapres harus membuat program yang masuk akal. Kalau bikin program yang muluk-muluk itu gampang, program realistis yang susah. Kita harus lihat kenyataan yang ada," kata Dwi Andreas kepada kumparan, Senin (26/11).
Sandiaga Uno temui petani tebu di Lumajang. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Sandiaga Uno temui petani tebu di Lumajang. (Foto: Dok. Istimewa)
Ia menilai, janji swasembada gula yang dilontarkan Sandi mengandung paradoks. Sebab, syarat utama untuk mewujudkan swasembada adalah menjaga harga di tingkat petani. Biaya pokok produksi gula di Indonesia mencapai Rp 10.700 per kg, maka harga di tingkat petani harus di atas itu.
ADVERTISEMENT
Dampaknya, masyarakat sebagai konsumen harus menanggung harga gula yang tinggi. Sementara di sisi lain, Sandi juga berjanji akan membuat harga-harga pangan murah.
"Kalau harga di bawah itu, petani enggak mau menanam tebu. Harga mau tidak mau harus menguntungkan petani. Konsumen harus menerima harga gula tinggi. (Sulit) Mau swasembada tapi juga mau pangan murah," ujar Dwi.
Ia menuturkan, ketergantungan Indonesia pada impor gula sudah sangat kronis sehingga impor tak mungkin disetop hanya dalam waktu 5 tahun. Kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, sementara produksi gula di dalam negeri hanya sekitar 2,2 juta ton alias tak sampai separuhnya.
Pabrik-pabrik gula di Indonesia juga sudah sangat tua, kebanyakan adalah warisan masa kolonialisme Belanda. Pabrik-pabrik tua ini tidak efisien dan teknologinya jauh tertinggal.
ADVERTISEMENT
Akibat kebijakan pemerintah yang selama ini menekan harga gula supaya terjangkau oleh konsumen, semakin sedikit petani yang mau menanam tebu. Pabrik-pabrik gula ini pun kesulitan memperoleh bahan baku.
Aksi Demo Petani Tebu di depan Istana Negara (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Demo Petani Tebu di depan Istana Negara (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Lahan tebu harus diperluas agar pabrik gula tak kekurangan bahan baku. Perluasan lahan harus dilakukan di luar Jawa karena sudah tak tersedia lahan luas lagi di Jawa. "Tapi kalau kebun tebu di luar Jawa, tentu biaya transportasinya ke Jawa lebih mahal. Konsumsi gula paling besar di Jawa," ucap Dwi.
Selain itu, impor gula sulit dihentikan karena pemerintahan sebelumnya mengizinkan investor membangun pabrik gula rafinasi yang tak punya kebun. Sebelas pabrik yang nilai investasinya triliunan rupiah dan sudah terlanjur berdiri ini setiap tahun butuh kuota impor gula mentah (raw sugar) agar dapat berproduksi.
ADVERTISEMENT
"Tiap tahun mereka memohon-mohon diberi jatah impor gula mentah," katanya.
Karena itu, Dwi meminta pasangan capres dan cawapres tak mengobral janji swasembada, termasuk swasembada gula. "Ini masalah yang multidimensi, mari kita rencanakan dengan tepat (untuk mencapai swasembada), jadi lebih masuk akal. Sekarang kenyataannya kita mempertahankan produksi saja sudah susah, apalagi swasembada," tutupnya.