Jokowi dan Prabowo Sama-sama Mau Genjot Solar Hijau, Ini Kendalanya

18 Februari 2019 10:53 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Capres no urut 01 Joko Widodo dan Capres no urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan  usai Debat Kedua Capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu, (17/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Capres no urut 01 Joko Widodo dan Capres no urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan usai Debat Kedua Capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu, (17/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam debat capres kedua tadi malam, baik calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) maupun calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto sama-sama mengajukan program pengembangan biodiesel sebagai solusi untuk menekan impor minyak dan BBM.
ADVERTISEMENT
Jokowi mengatakan ingin mendorong penggunaan biodiesel hingga ke level 100 persen atau B100. Biodiesel merupakan campuran solar dengan produk turunan minyak sawit (crude palm oil/CPO).
Di era pemerintahannya, penggunaan biodiesel baru digunakan pada campuran 20 persen atau B20 yang diperluas pemakaiannya sejak tahun lalu. Jokowi menyatakan, jika B100 berhasil digalakkan bisa mengurangi impor BBM lebih banyak lagi. Prabowo menyatakan dukungannya pada program tersebut.
Sebenarnya pengembangan B100 atau green diesel telah mulai dirintis oleh PT Pertamina (Persero) dengan menggandeng perusahaan migas asal Italia, ENI. Kilang Plaju di Sumatera Selatan akan menghasilkan green diesel dan green avtur yang 100 persen dari CPO.
Namun ada beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian dari Jokowi maupun Prabowo dalam pengembangan solar hijau ini.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa program B100 ini perlu direncanakan dengan matang. Misalnya kesiapan kendaraan-kendaraan bermotor untuk menggunakannya.
"Yang sekarang jadi diskusi dengan produsen otomotif, bagaimana mesin kendaraan bisa menerima B20-B30, tiba-tiba muncul B100, Kilang Plaju dikembangkan untuk green diesel. Ini tidak ada dalam rencana awal. Arah dan kebijakannya seperti apa? Paling tidak harus sudah ada gambaran kebutuhan ke depannya," kata Fabby kepada kumparan, Senin (18/2).
Masalah berikutnya terkait dengan harga keekonomian green diesel dari CPO. Menurut hitungan Fabby, saat ini selisih antara harga green diesel dengan solar tak jauh berbeda karena harga CPO sedang rendah, di bawah USD 500 per ton. Tapi harga CPO fluktuatif, bisa jadi ke depan melejit.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi harga minyak yang saat ini di kisaran USD 60 per barel, green diesel baru kompetitif jika harga CPO di bawah USD 450 per ton.
"Hitungan saya, green diesel baru kompetitif kalau harga CPO kurang dari USD 450 per ton. Apakah harganya bisa terus menerus di bawah? Ini tergantung banyak faktor," ujar Fabby.
Selain itu, pasokan CPO untuk green diesel harus dijamin. Jangan sampai nantinya bahan baku untuk green diesel di dalam negeri tak terpenuhi karena produsen lebih memilih mengekspor ketika harga CPO sedang tinggi.
Karena itu, Fabby menyarankan agar harga dan pasokan CPO untuk green diesel diikat dengan kontrak jangka panjang. "Pertamina harus berusaha mengikat perjanjian jangka panjang dengan pemasok CPO," ucap Fabby.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga disarankan membantu Pertamina dalam pengembangan Kilang Plaju untuk green diesel. "Kilangnya itu mahal, biaya investasinya bisa ditekan jika pemerintah membantu," tutupnya.