Jokowi Jawab Tudingan Sudirman Said soal Pertemuan Rahasia Freeport

20 Februari 2019 21:06 WIB
Presiden Jokowi umumkan Indonesia sah miliki 51 persen saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: Jihad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi umumkan Indonesia sah miliki 51 persen saham Freeport di Istana Merdeka, Jakarta. Foto: Jihad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menjawab tudingan pertemuan rahasia dengan CEO Freeport McMoran Inc, James R. Moffett, pada 6 Oktober 2015 silam. Tudingan ini disampaikan oleh eks Menteri ESDM Sudirman Said.
ADVERTISEMENT
"Enggak sekali dua kali ketemu, gimana sih kok diam-diam. Ya Ketemu bolak-balik, enggak ketemu sekali dua kali," kata Jokowi di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (20/2).
Ia kembali menegaskan, pertemuan tersebut adalah hal wajar. Apalagi ia kerap mengundang pengusaha dan investor untuk berdialog di istana.
Dalam pertemuan tersebut, bos Freeport McMoran membahas perpanjangan kontrak, termasuk perpajangan masa operasi maksimal 2x10 tahun hingga tahun 2041.
"Ya perpanjangan, dia kan minta perpanjangan. Pertemuan bolak-balik memang yang diminta perpanjangan, terus apa?" tambahnya.
Sudirman Said Ungkap Pertemuan Rahasia Jokowi - Bos Freeport
Mantan Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap, pertemuan rahasia antara Presiden Jokowi dengan bos Freeport McMoran Inc, James R. Moffett, pada 6 Oktober 2015 silam. Dari pertemuan yang juga dihadiri Sudirman ini, kemudian mencuat kasus 'Papa Minta Saham.'
ADVERTISEMENT
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ini menyampaikan, latar belakang terbitnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 kepada Freeport McMoran Inc (FCX), yang dia tanda tangani. Surat itulah yang menimbulkan kontroversi di publik, karena menyiratkan pemerintah saat itu telah memberikan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia hingga 2041.
Padahal sesuai aturan, perpanjangan kontrak tidak boleh diberikan sebelum 2019 atau dua tahun menjelang izin kontrak perusahaan habis pada 2021. Tapi, Sudirman menegaskan, isi surat yang ditujukan ke Chairman FCX, James R. Moffett, bukanlah perpanjangan kontrak.
"Mengenai surat 7 Oktober 2015 itu seolah-olah saya yang memberikan perpanjangan izin. Itu persepsi publik," kata dia dalam acara peluncuran buku Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan karya Simon Felix Sembiring di Melawai, Jakarta, Rabu (20/2).
Peluncuran buku 'Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan' Simon Felix Sembiring bersama Sudirman Said dan Said Didu di Jakarta Selatan. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Sudirman membeberkan kronologi terbitnya surat tersebut. Menurut dia, sehari sebelum surat itu terbit, yakni pada 6 Oktober 2015, sekitar pukul 08.00 WIB, dirinya ditelepon oleh ajudan Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Saat itu, ajudan meminta Sudirman Said datang ke Istana Negara. Sesampainya di sana sekitar pukul 08.30 WIB, Sudirman diminta masuk ke ruangan. Yang membuatnya heran, oleh asisten pribadi Jokowi pertemuan dadakan ini tidak boleh diketahui alias tidak masuk dalam agenda kegiatan presiden.
Menurutnya, PT Freeport Indonesia (PTFI) bahkan tidak mengetahui pertemuan James Moffett dengan Jokowi.
"Kan ada Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Tapi dibilang pertemuan ini tidak ada. Duduklah saya di sebelah presiden. Saya kaget di ruangan itu ternyata ada James Moffett. Dan tidak panjang lebar, Presiden mengatakan 'tolong siapkan surat seperti apa yang diperlukan. Kira-kira kita ini menjaga kelangsungan investasi, nanti dibicarakan setelah pertemuan ini'. Baik," tutur Sudirman mengingat perintah Jokowi.
ADVERTISEMENT
Jadi, lanjut dia, dalam pertemuan tersebut Moffett sudah menyiapkan draf perpanjangan kontrak yang diinginkan FCX. Setelah itu, lanjut dia, dirinya keluar ruangan dengan James Moffett.
Sebagai pejabat kala itu, Sudirman mengaku kecewa atas pertemuan tersebut. Kepada Moffett, dia menegaskan, bukan seperti itu caranya meminta perpajangan kontrak PTFI di Indonesia (yang dilakukan sebelum waktunya alias melangkahi aturan).
"Saya bilang ke Moffett, bukan begini cara saya kerja. Kalau saya ikuti draf-mu, maka akan ada preseden negara didikte oleh korporasi. Saya sampaikan itu," jelasnya.
Tapi, akhirnya Sudirman tetap membuat draf yang diinginkan, sesuai permintaan Jokowi langsung. Meski begitu, dia mengatakan, isi draf itu mempertimbangkan beberapa hal yang menjaga kepentingan Indonesia sebagai negara.
ADVERTISEMENT
Isi draf tersebut di antaranya negara komitmen meneruskan investasi, negara juga tengah menata regulasi. Karena waktu itu pemerintah sedang menyiapkan revisi aturan (dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khsusus (IUPK).
"Jam 4 sore saya temui Pak Presiden untuk menunjukan draf itu. Saya dapatkan itu dari Sekjen dan Biro Hukum Kementerian ESDM. Saya katakan (ke Presiden) drafnya seperti ini dan saya belum tanda tangan. Bapak dan ibu tahu komentar presiden apa? Presiden mengatakan, 'Lho begini saja sudah mau. Kalau mau lebih kuat yang diberi saja. Jadi draf yang saya punya ini aman tidak merusak," kata dia.
Sudirman menambahkan, kalau surat itu menjadi kontroversi karena dianggap melemahkan posisi Indonesia di hadapan FCX, dia mengatakan, itu terjadi karena diperintah oleh presiden.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau ada yang menyalahkan saya akibat surat itu, maka salahkan yang merintahkan saya membuat surat itu," katanya.