Kata Pengusaha soal China Tak Mau Relokasi Pabrik Tekstil ke Indonesia

7 September 2019 12:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana pabrik garmen. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pabrik garmen. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para pengusaha China gencar merelokasi pabriknya dari negara mereka ke beberapa negara lain di Asia Tenggara dan India. Namun, Indonesia bukanlah negara yang mereka pilih.
ADVERTISEMENT
Ha itu yang menyebabkan Presiden Joko Widodo kesal. Karena dari catatannya, ada 33 perusahaan China yang lebih memilih merelokasi pabrik ke Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Thailand.
Padahal, Indonesia tengah gencar menjaring investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) menggenjot pertumbuhan ekonomi dan menambal defisit transaksi berjalan atau current account deficit.
Perusahaan industri manufaktur di China yang merelokasi pabriknya terdiri dari beberapa sektor, antara lain tekstil dan produk karet.
Senior General Manager PT Pan Brothers Tbk, Hitesh Dhruvakumar Chhaya, menilai tidak diliriknya Indonesia oleh para investor China karena disebabkan beberapa hal. Misalnya soal jam kerja hingga biaya produksi yang kurang kompetitif.
"Salah satunya soal labour hour. Dari jam kerja saja, di Kamboja dan India itu capai 48 jam. Sementara di Indonesia itu hanya 40 jam," katanya saat ditemui di Hotel Unigraha, Pangkalan Kerinci, Riau, Jumat (6/9).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Hitesh juga mengeluhkan perhatian pemerintah terhadap industri tekstil yang menghemat energy cost. Menurut dia, industri tekstil bisa menggunakan tenaga solar sebagai bahan baku energi.
Sayangnya, tidak ada kejelasan insentif yang jelas dari pemerintah. Hal ini yang membuat banyak para pelaku industri terpacu untuk menggunakan energi solar.
"Policy pemerintah kurang jelas atau kurang kasih insentif untuk industri tekstil. Harusnya perlu sedikit dipikirkan kasih insentif untuk industri tekstil yang pakai solar,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Edy Irwansyah, juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia, ada sejumlah tantangan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Khususnya menyoal upah pekerja. Menurut dia, kenaikan upah setiap tahun menjadi hambatan para pengusaha, apalagi sektor karet.
ADVERTISEMENT
Dalam 5 tahun terakhir saja, kata dia, peningkatan upah pekerja di sektor manufaktur mencapai kisaran 40 persen. Hal ini dinilai berat mengingat harga karet sering tidak menentu.
"Cuma karena formula dari upah adalah pertumbuhan ekonomi dan inflasi, sehingga kami terkerek naik oleh sektor-sektor yang lagi profit. Berat," tambahnya.
Ilustrasi pabrik tekstil. Foto: Getty Images
Persoalan Indonesia yang tidak diminati investor sebelumnya juga disampaikan Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A. Chaves, ke Presiden Jokowi, Senin (2/9).
Dalam paparan itu, Bank Dunia menjelaskan kenapa industri yang relokasi dari China tak tertarik masuk Indonesia. Salah satunya karena negara-negara tetangga Indonesia lebih ramah buat investor.
Memindahkan pabrik ke Indonesia dinilai lebih berisiko dan rumit. Butuh waktu paling cepat satu tahun, atau malah lebih lama. Sementara di Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Taiwan, lebih ada kepastian bagi industri sehingga waktunya lebih cepat.
ADVERTISEMENT
"Produsen mesin cuci asal Korea Selatan, memindahkan pabriknya dari China ke Vietnam dan Thailand hanya dalam 2 bulan, setelah AS menaikkan tarif produk impor asal China. Setelah (pemindahan) itu, ekspor mereka langsung naik,” demikian dinyatakan di laporan tersebut.