Kebutuhan Pasca Lebaran Naik, Neraca Dagang Juli Diprediksi Defisit

15 Agustus 2018 7:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi aktivitas bongkar muat. (Foto: Dok. priokport.co.id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aktivitas bongkar muat. (Foto: Dok. priokport.co.id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Neraca perdagangan selama periode Juli 2018 diproyeksikan mencatatkan defisit. Padahal pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus USD 1,74 miliar.
ADVERTISEMENT
Ekonom PT Bank Maybank Indonesia Tbk Myrdal Gunarto memproyeksi, neraca dagang selama bulan lalu mengalami defisit hingga USD 886 juta atau sekitar Rp 12,9 triliun (kurs Rp 14.600).
Menurut dia, angka tersebut diperoleh dari laju ekspor di Juli 2018 yang tumbuh 9,17 persen, lebih tinggi dari Juni 2018 yang tumbuh 4,67 persen. Sementara itu, laju impor tumbuh 13,4 persen, lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 12,66 persen.
"Ini karena kenaikan impor setelah periode Lebaran yang cukup tinggi, terutama untuk kebutuhan suplai makanan domestik, BBM, infrastruktur, dan bahan baku," kata Myrdal kepada kumparan, Rabu (15/8).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, juga mengungkapkan hal senada. Menurut dia, neraca perdagangan Juli 2018 diperkirakan defisit karena produksi sektor industri pascalibur lebaran kembali normal sehingga impor bahan baku penolong dan bahan modal kembali meningkat.
ADVERTISEMENT
“Kami prediksi defisit bisa sampai USD 1 miliar,” katanya.
Proyek infrastruktur pemerintah yang masih belum jelas keberlanjutannya juga diprediksi akan menyerap impor bahan baku. Hal itu setidaknya tercermin dari impor besi dan baja untuk pembatas jalan yang meningkat hingga 598 persen pada Januari hingga Mei 2018.
Selain itu, harga minyak mentah yang masih tinggi juga akan membuat defisit pada sektor minyak dan gas (migas) semakin melebar. Belum lagi, keseluruhan impor masih dipengaruhi oleh pelemahan rupiah.
Bhima juga menyorot ekspor Indonesia ke perdagangan global juga masih lemah karena tren perang dagang. “Komoditas minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) juga masih terdampak dari kebijakan tarif, seperti India dan Uni-Eropa,” kata Bhima.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah justru memproyeksikan neraca dagang selama bulan lalu surplus tipis USD 500 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun. Menurut dia, ekspor nonmigas akan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan impor migas.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian kita akan mengalami surplus di perdagangan barang nonmigas, tetapi defisit di neraca perdagangan migas. Total trade balance kita surplus tipis di sekitar USD 0,5 miliar," jelasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat, neraca perdagangan Indonesia selama Juni 2018 mencatat surplus sebesar USD 1,74 miliar. Secara tahunan, baik ekspor maupun impor, masih mengalami kenaikan, yaitu masing-masing sebesar 4,67 persen year on year (yoy) dan 12,66 persen (yoy).