Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Kenapa Kualitas Garam Lokal Kalah dari yang Impor?
20 Maret 2018 15:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB

ADVERTISEMENT
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia. Meski demikian, Indonesia masih bergantung pada garam impor.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, pemerintah membuka keran impor garam hingga 3,7 juta ton . Alasannya, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, garam lokal diklaim belum mampu memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Agung Kuswandono, mengatakan ada banyak hal yang mempengaruhi kualitas garam lokal sehingga tidak sesuai standar industri.
Pertama dari segi proses produksi, garam lokal tidak melalui pengolahan seperti garam impor yang diproses hingga beberapa kali.
"Garam impor sudah dicuci dua sampai tiga kali. Ada pengolahannya. Di kita dari lapangan langsung masuk gudang. Ini saja sudah beda," ungkap Agung di Hotel Grage, Cirebon, Selasa (20/3).
Agung mencontohkan tambak garam di Australia sudah menerapkan proses yang sangat ketat. Ladang garam melalui proses ulir kemudian dipanaskan hingga menjadi kristal dan terjadi endapan. Garam tersebut tidak langsung dipanen melainkan melalui proses yang sama hingga berulang beberapa kali.
ADVERTISEMENT
"Sampai ketinggian 20 cm dilapisi kristal garam, baru paling atas dipanen. Dasarnya bukan lumpur, tapi kristal garam. Hasilnya bagus," ujar Agung.
Kedua, menurut Agung, luasan ladang garam juga berpengaruh. Di Australia, satu kolam bisa berukuran hingga 100 hektare. Dalam satu lokasi bisa terdapat 12 kolam.
"Membuat dengan cara kita (luas lahan hanya) satu hektare, dua hektare, pemiliknya satu-satu. Itu kalau jadi garam ya otomatis garamnya enggak bisa bagus," ujar Agung.
Sedangkan faktor ketiga adalah cuaca. Menurut Agung, di Indonesia untuk beberapa daerah curah hujan masih tinggi. Padahal, garam merupakan komoditas yang sensitif dengan hujan. Jika curah hujan tinggi, tambak garam bisa terancam gagal panen.
"Bagaimana menyaingi mereka (garam impor), ya kita harus edukasi," tutupnya.
ADVERTISEMENT