Menelusuri Aset Jumbo WNI di Luar Negeri yang Belum Lapor Pajak

15 Maret 2019 8:46 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat ada Rp 1.300 triliun aset Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang belum dilaporkan dalam program pengampunan pajak (tax amnesty) maupun Surat Pemberitahuan (SPT).
ADVERTISEMENT
Otoritas pajak mengetahui angka itu berdasarkan hasil pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) yang mulai dilaksanakan pada 2018.
Pada tahun lalu, Indonesia telah mengirimkan informasi keuangan pada 54 negara dan menerima informasi keuangan dari 66 negara. Ke-66 negara tersebut di antaranya, Australia, Belanda, Bermuda, British Virgin Island, Cayman Islands, Hong Kong, Inggris, Jepang, Luksemburg, Panama, China, dan Singapura.
Apakah data Rp 1.300 triliun tersebut termasuk potensi aset keuangan WNI di luar negeri senilai Rp 11.000 triliun yang diucapkan Bambang Brodjonegoro saat menjadi Menteri Keuangan pada 2015?
Data mengenai aset WNI di luar negeri memiliki sejumlah referensi saat itu. McKinsey mengestimasi senilai USD 250 miliar atau Rp 3.250 triliun, Credit Suisse Global Wealth Report dan Alianz Global Wealth Report senilai Rp 11.125 triliun, dan data primer Kemenkeu Rp 11.000 triliun.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Bambang mengatakan dalam kurun waktu 1995-2014, lebih dari Rp 11.000 triliun aset warga Indonesia ditempatkan di rekening perbankan di luar negeri, utamanya di British Virgin Island, Cook Island, dan Singapura.
Aset tersebut merupakan akumulasi kekayaan para pengusaha minyak, kayu, batu bara, CPO, dan tambang sejak era commodity boom di 1970 dan jumlahnya semakin meningkat seiring depresiasi rupiah.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani memegang pedoman aset WNI di luar negeri dari studi McKinsey, senilai USD 250 miliar. Bahkan Sri Mulyani menyebut USD 200 miliar di antaranya disimpan di Singapura.
Kasubdit Pertukaran Informasi Direktorat Perpajakan Internasional Ditjen Pajak, Leli Listianawati, menuturkan saat merancang Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, yang menjadi rujukan jumlah aset WNI di luar negeri saat itu adalah riset dari McKinsey.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pemerintah mencocokan hasil perolehan tax amnesty dengan riset McKinsey tersebut. Leli pun mengakui, masih ada selisih atau gap aset yang belum dilaporkan.
Adapun hasil deklarasi harta WNI yang disimpan di luar negeri saat tax amnesty tercatat Rp 1.036,7 triliun. Artinya, masih ada gap sekitar Rp 2.213 triliun antara potensi aset WNI di luar negeri dengan jumlah yang telah dideklarasikan saat tax amnesty.
Pelaporan SPT di KPP Menteng Foto: Nicha Muslimawati/kumparan
Sementara gap tersebut jika dibandingkan dengan hasil AEoI di 2018 sebesar Rp 1.300 triliun, masih memiliki selisih Rp 913 triliun.
"Masih ada selisih dalam McKinsey dengan berdasarkan tax amnesty. Nah selisih itu tidak jauh berbeda yang kita terima 2018. Benar ada yang belum dilaporkan juga aset keuangannya, masih ada yang belum dilaporkan dalam SPT atau tax amnesty, kita terima dalam informasi keuangan," kata Leli dalam pemaparan Seminar Nasional Perpajakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menilai data potensi aset WNI di luar negeri Rp 11.000 triliun maupun Rp 3.250 triliun dari McKinsey tidak sama dengan dari hasil pertukaran informasi senilai Rp 1.300 triliun.
Menurut dia, dalam potensi aset WNI di luar negeri, data yang digunakan adalah agregat atau rata-rata hingga tahun 2015. Sementara AEoI baru dilakukan pada 2018.
"Cuma kalau agregat kan sampai 2015, kalau AEoI kan baru 2018. Berarti ini beda," ujar Yustinus kepada kumparan, Jumat (15/3).
Bisa Dilakukan Pemeriksaan Pajak
Untuk mengetahui data Rp 1.300 triliun tersebut, Ditjen Pajak harus melakukan pemetaan terlebih dahulu dan dilakukan pencocokan data atau profiling. Jika selesai profiling, Yustinus mengatakan Ditjen Pajak bisa melakukan tindak lanjut termasuk pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
"Harus dipilah data apa, kapan, terkait siapa, lalu diprofile, cocokkan dengan siapanya, sudah jadi wajib pajak belum, sudah dilaporkan dalam SPT belum, lalu dianalisis apakah data itu merupakan objek pajak baru. Setelah itu tindak lanjut, imbauan, pemeriksaan, dan lain-lain," jelasnya.
Pemetaan dan profiling data tersebut juga berguna untuk mengetahui apakah WNI yang belum laporkan hartanya tersebut masuk dalam ketgori pengemplang pajak berdasarkan penyidikan.
"Tapi belum tentu (pengemplang pajak). Makanya harus diprofile dulu," kata Yustinus.
Gedung Dirjen Pajak Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sanksi
Setelah dilakukan profile, kata Yustinus, Ditjen Pajak bisa mulai memilih mana wajib pajak yang bisa dikenakan sanksi.
Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Pengampunan Pajak.
ADVERTISEMENT
Pemerintah akan mengenakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) normal jika Ditjen Pajak belum menemukan harta tersembunyi pada wajib pajak, yakni 30 persen dari PPh terutang untuk wajib pajak pribadi, 25 persen untuk wajib pajak badan, dan 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu.
Namun, jika otoritas pajak telah mengeluarkan surat perintah pemeriksaan, maka sanksi adminstrasi berlaku sesuai perundang-undangan.
Bagi peserta pengampunan pajak, sanksi akan mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Peserta pengampunan pajak yang kedapatan belum atau kurang mengungkapkan harta, maka atas harta tersebut bukan hanya dikenakan PPh, tapi juga sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 persen dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, untuk wajib pajak bukan peserta pengampunan pajak, berlaku sanksi sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yaitu wajib pajak yang kedapatan menyembunyikan harta wajib membayar pajaknya ditambah sanksi berupa denda sebesar 2 persen per bulan keterlambatan pelaporan, dengan denda maksimal 48 persen.