news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengunjungi Kampung Yoboi, Daerah di Papua yang Hidup dari Hutan Sagu

7 Desember 2018 7:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kampung Yoboi, di Distrik Sentani, Papua (6/12/2018). (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kampung Yoboi, di Distrik Sentani, Papua (6/12/2018). (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Angin semilir menyambut kedatangan rombongan Econusa di Kampung Yoboi, salah satu distrik di Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, udara siang itu tengah panas-panasnya, tapi begitu perahu kayu yang kumparan dan rombongan tumpangi merapat ke pinggir darmaga, suasananya langsung sejuk. Sebabnya, dermaga Kampung Yoboi bersebelahan dengan ruang pertemuan warga yang ditutupi atap dan beralaskan kayu.
Kepala Adat Kampung Yoboi, Sefanya Wally, mengatakan ruangan terbuka ini kerap digunakan untuk acara-acara adat, pemilu, juga pertemuan warga yang berjumlah lebih dari 100 kepala keluarga.
Di sini pula, kata Wally, penganan khas Papua yakni papeda dari sagu dan ikan kuah kuning kerap disajikan kepada warga dan tamu yang berkunjung. Kedua makanan ini bahannya diambil warga langsung dari alam, sagu dari hutan sagu di belakang rumah dan ikan seperti mujair diperoleh dari Danau Sentani yang terhampar luas di halaman hingga kolong-kolong rumah mereka.
ADVERTISEMENT
Sefanya menjelaskan, di sini ada 1.600 hektare lahan hutan sagu alam yang tersebar di 3 kampung, termasuk Kampung Yoboi. Dari luas lahan itu, warga menggantungkan hidupnya dengan menjual hasil sagu yang ditebang.
Hutan sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Hutan sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
“Sumber ekonomi di sini dari hutan sagu. Membantu rakyat. Jadi, sagu primadona di sini,” kata Wally di Kampung Yoboi, Sentani, Papua, Kamis (6/12).
Wally menjelaskan, tinggi pohon sagu di Kampung Yoboi bisa mencapai 32 meter. Rata-rata usia pohon yang bisa dipanen mencapai 8-15 tahun.
Jenis sagu di hutan sagu ini juga banyak. Wally mengatakan ada sekitar 12-15 jenis yang biasa dikonsumsi di Kampung Yoboi. Secara keseluruhan, di Kabupaten Jayapura, jenis sagunya bisa mencapai 21 jenis. Bahkan, jumlah ini bisa bertambah menjadi 32 hingga 61 jenis setelah dilakukan penelitian oleh dinas setempat.
ADVERTISEMENT
“Satu jenis sagu saja banyak turunannya. Jenis sagu di sini yang terbaik, ada yang berduri itu seperti para, ebeseum, ruruna, rondo, magno, waliha, habela, mongging, dan lainnya. Yang tidak berduri ada yebha, wani, pane, folo, pili, hobolo,” lanjut Wally.
Wally membawa kami ke belakang kampung menuju hutan sagu bersama warga yang kesemuanya laki-laki. Mereka hendak menebang satu pohon sagu setinggi 30 meter yang usianya sudah matang untuk dieksekusi.
Proses memperoleh sagu ternyata tidak bisa sembarangan. Salah satu warga yang menjadi pawang hutan sagu harus berbicara dulu dengan pohon yang akan ditebang. Wally mengatakan ini perlu dilakukan agar hasil sagunya banyak.
Proses Penebangan Pohon Sagu di Kampung Yoboi, Sentani, Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Proses Penebangan Pohon Sagu di Kampung Yoboi, Sentani, Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Penebangan pohonnya pun membutuhkan lebih dari 5 orang. Ada yang bertugas menebang hingga pohon tumbang, ada yang membersihkan batang kulit sebelum dikapak jadi dua.
ADVERTISEMENT
Proses yang paling lama adalah membelah batang sagu menjadi dua. Perlu hingga satu jam untuk membelah batang sagu menggunakan linggis dan onggi yang merupakan kayu endemik Papua bernama kayu soang.
"Setelah itu barulah sagu ditokok (parut) untuk menjadi sagu basah dan sagu kering (tepung)," lanjut Wally.
Usai bapak-bapak membawa hasil parutan sagu dari hutan, barulah para mama papua mengolahnya. Hasil sagu yang diparut ini bisa diolah macam-macam, tapi Wally mengatakan kebanyakan produksinya masih dalam bentuk sagu basah.
Sagu-sagu yang masih memiliki kandungan air cukup banyak itu ada yang disimpan untuk dikonsumsi menjadi papeda dan kue bakar, ada juga yang dijual ke pasar. Tapi, nilai jual sagu basah ini terbilang rendah dibandingkan dengan sagu yang sudah diproduksi menjadi tepung sagu.
ADVERTISEMENT
Wally mengaku di Kampung Yoboi, sagu-sagu yang dijual warga ke pasar di Sentani belum ada yang berbentuk tepung sagu. Wally menjelasnya harga jual sagu basah biasanya dalam bentuk karung beras ukuran 15 kg. Tapi, berat dari sagu basahnya sendiri lebih dari itu.
“Biasanya pakai ukuran karung 15 kg, tapi beratnya bisa capai 40 kg itu sagu basah 30 kg, (kandungan) airnya 10 kg. Harganya Rp 200 ribu,” tutur Wally.
Proses Penebangan Pohon Sagu di Kampung Yoboi, Sentani, Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Proses Penebangan Pohon Sagu di Kampung Yoboi, Sentani, Papua. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Sementara sagu basah dengan ukuran harga karung beras 20 kg dijual Rp 300 ribu dan 25 kg sebesar Rp 500 ribu. Sagu basah awet hingga berbulan-bulan asal airnya selalu diganti.
Laki-laki yang pernah menjadi pegawai di PT Freeport Indonesia selama 22 tahun ini menjelaskan, hutan sagu memang menjadi sumber penghidupan utama Kampung Yoboi. Kebaradaan sagu di Papua diperkirakan sudah ada sejak jaman kerajaan di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam Relief Palma di Candi Borobodur terdapat gambar sagu bersama dengan tiga pohon lainnya yakni lontar, aren, dan nyiur. Sementara padi yang menjadi pangan sejuta umat hampir di sebagian wilayah Indonesia tidak ada bangunan sejarah itu.
“Sebelum ada beras atau padi, kita sudah kenal lebih dulu sagu dan papeda. Bahkan di jaman perang dunia kedua, orang Jepang di sini bisa bertahan hidup asal ada sagu. Jadi kalau makanan habis, sagu tumpuan terakhir,” katanya.