news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nasib Sawit Indonesia Setelah Uni Eropa Setop CPO Sebagai Bahan Bakar

16 Maret 2019 11:22 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
ADVERTISEMENT
Komisi Eropa sudah memutuskan menghentikan minyak kelapa sawit atau CPO sebagai sumber bahan bakar kendaraan. Keputusan ini diambil, setelah Komisi berkesimpulan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaanya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut berseberangan dengan kepentingan produsen utama minyak kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia.
Uni Eropa akan meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 32 persen pada tahun 2030. Kriteria tersebut juga menentukan apa yang merupakan sumber terbarukan yang sesuai.
Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara bertahap pada 2019 hingga 2023 dan dikurangi menjadi nol pada 2030.
Pemerintah Didorong Gugat ke WTO
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono menilai, putusan Komisi Eropa dibuat tanpa memperhatikan kepentingan Indonesia. Padahal, menurutnya sawit merupakan salah satu komoditas yang mampu mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Untuk itu, GAPKI pun mendorong pemerintah untuk segera menggugat keputusan Komisi Eropa tersebut ke Badan Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
ADVERTISEMENT
"GAPKI akan mendukung pemerintah, termasuk kalau akan diajukan ke WTO," ujar Mukti kepada kumparan, Sabtu (16/3).
Dorongan GAPKI kepada pemerintah Indonesia untuk membawa perkara ini ke WTO mirip dengan yang dilakukan oleh Malaysia yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis.
Kelapa Sawit Indonesia Tersertifikasi
Mukti juga menyampaikan, selama ini pihaknya telah memberikan masukan kepada UE bahwa kelapa sawit Indonesia sudah sesuai dengan kaidah keberlanjutan atau penerapan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan kaidah ISPO, maka dapat meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional.
Tidak hanya berbalut sertifikat ISPO, mayoritas produk kelapa sawit Indonesia sudah memiliki sertifikat lain yang lebih sahih yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi dengan maksud memverifikasi pelaksanaan kebun sawit berkelanjutan ternyata tak membuat Uni Eropa luluh.
ADVERTISEMENT
Hambat Ekspor
Berdasarkan catatan GAPKI, ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE tahun 2018 sebesar 4,78 juta ton dari total ekspor sekitar 34 juta ton. Sementara produksi kelapa sawit Indonesia rata-rata setiap tahun sekitar 50 juta ton.
Mukti juga menuturkan, dampak kebijakan UE itu akan membuat ekspor CPO Indonesia terhambat.
"Lumayan (berdampak). Tapi kan EU beberapa negara. India yang satu negara impornya hampir 7 juta ton," katanya.
Komisi UE telah mengesahkan aksi delegasi (Delegated Act) yang salah satu isinya mengkategorisasikan minyak kelapa sawit sebagai produk tidak berkelanjutan. Akibatnya, penggunaan CPO untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus.
Selanjutnya, Komisi UE akan mengajukan Delegated Act itu kepada Parlemen UE. Parlemen UE memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan menerima atau menolak keputusan tersebut.
ADVERTISEMENT
Komisi UE berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed. Pihaknya menetapkan 10 persen sebagai batas minimal bahan baku yang lebih sedikit dan lebih berbahaya.