Pemerintah Masih Butuh Utang Meski Penerimaan APBN 2018 Capai Target

3 Januari 2019 8:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kiri)memberikan pemaparan APBN 2018 di Gedung Kementrian Keuangan. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kiri)memberikan pemaparan APBN 2018 di Gedung Kementrian Keuangan. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 mengatakan penerimaan negara tembus Rp 1.942,3 triliun atau lebih tinggi dari target di APBN 2018, yakni Rp 1.894,7 triliun. Singkatnya, bisa mencapai 102,5 persen dari target.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, Ia juga mengungkap telah terjadi defisit keseimbangan primer sebesar Rp 1,8 triliun.
"Keseimbangan primer tahun ini hampir mendekati 0. Bahkan tanggal 31 mencapai positif 4. Tapi kita itung lagi turun di (minus) Rp 1,8 triliun," kata kata Sri Mulyani di Gedung Kemenkeu, Rabu (2/1).
Keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika positif, maka masih tersedia dana untuk membayar bunga utang. Sebaliknya jika negatif (minus) berarti tak tersedia dana untuk membayar utang. Dengan kata lain, sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.
Dalam realiasi APBN 2018 ini, diketahui defisit anggaran masih terjadi sebesar 1,76 persen atau Rp 259,9 triliun selama tahun 2018. Pasalnya, pendapatan negara sebesar 1.942,3 triliun itu, masih minus dibandingkan belanja negara tercatat sebesar Rp 2.202,2 triliun.
ADVERTISEMENT
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara pun mengamini kondisi itu. Ia menyebut, keseimbangan primer yang masih defisit menunjukkan Indonesia masih mengandalkan pembiayaan utang dengan pengambilan utang baru.
"Betul artinya pemerintah masih mengandalkan utang baru untuk menutup bunga dan cicilan pokok utang di tahun berjalan. Strategi yang disebut refinancing," katanya ketika dihubungi kumparan, Kamis (3/1).
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Bhima melanjutkan, apabila kondisi itu terus berlanjut maka bukannya tak mungkin justru bisa membuat perekonomian Indonesia tergerogoti karena tak sehat.
"Ini tentunya enggak sehat bagi APBN karena utang yang harusnya digunakan untuk belanja produktif malah sebagian buat bayar kewajiban utang jatuh tempo," imbuh dia.
ke depan, Bhima mengingatkan pemerintah agar meminimalisir dan melakukan efisiensi yang lebih ketat yang berkaitan dengan utang. Salah satu langkahnya ialah mengurangi realisasi belanja pegawai dan belanja barang yang cenderung konsumtif. Di sisi lain, juga memacu belanja modal sebagai infrastruktur prioritas.
ADVERTISEMENT
"Terlihat kekurangan pemerintah realisasi belanja modal turun dibanding 2017. Tahun 2018 realisasi belanja modal sebesar 90,7 persen sementara di tahun 2017 sebesar 92,9 persen. Sementara realisasi belanja pegawai dan barang persentasenya naik. Ini menandakan bahwa pemerintah belum konsisten memacu efektivitas dan efisiensi belanja APBN," pungkas dia.