Ramai-ramai Tolak Toko Online Dipajaki

15 Januari 2019 7:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sengkarut Pajak Transaksi e-Commerce (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sengkarut Pajak Transaksi e-Commerce (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pemerintah akhirnya menerbitkan aturan mengenai tata cara pemungutan pajak transaksi perdagangan online atau e-commerce yang telah direncanakan sejak 2017.
ADVERTISEMENT
Aturan tersebut berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Aturan ini akan berlaku efektif pada 1 April 2019.
Namun baru sehari diterbitkan, sejumlah pihak di industri e-commerce justru meminta pemerintah untuk menunda implementasi aturan tersebut hingga tahun depan. Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) menilai, PMK tersebut justru akan menjadi penghalang bagi keberlangsungan marketplace.
Lalu, bagaimana kronologi aturan pajak e-commerce ini muncul hingga menuai penolakan dari berbagai pihak?
Sejak 2017
Rencana pemungutan pajak e-commerce ini telah muncul pada 2017. Saat itu, pemerintah mencari berbagai upaya untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga yang melambat hingga di bawah 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
Adapun selama 2017, konsumsi rumah tangga di bawah 5 persen. Pada kuartal I 2017, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,94 persen secara tahunan (yoy); kuartal II tumbuh 4,95 persen (yoy); kuartal III melambat 4,93 persen (yoy), dan kuartal IV tumbuh 4,97 persen (yoy).
Dengan kondisi demikian, pemerintah melihat ada pergeseran pola konsumsi di masyarakat ke sektor leisure yang lebih banyak memanfaatkan aplikasi online, seperti traveling, menginap di hotel, menonton film, konser musik, dan kuliner. Tak hanya itu, pemerintah juga memperkirakan konsumsi yang melambat lantaran maraknya transaksi online yang datanya belum bisa ditangkap oleh pemerintah.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga statistik juga tak bisa menghimpun data kegiatan ekonomi secara online. Adapun hingga saat ini BPS masih berkoordinasi dengan IdEA untuk mendapatkan data pada transaksi online agar bisa menghitung data inflasi hingga pertumbuhan ekonomi yang juga bersumber dari transaksi online.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, untuk menangkap kegiatan tersebut sekaligus menciptakan perlakuan yang sama dengan pedagang konvensional (level of playing field), pihaknya berencana mengenakan pajak pada transaksi perdagangan online atau e-commerce.
"Enggak ada pajak jenis baru, sama saja PPN dan PPh, tapi tata cara memajakinya yang masih kami susun," kata Sri Mulyani.
Senada, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu saat itu, Ken Dwijugiasteadi menuturkan, aturan pajak e-commerce tersebut seharusnya bisa terbit pada akhir tahun 2017. Namun menurutnya masih terkendala oleh berbagai hal.
Marketplace Jadi Perpanjangan Tangan Ditjen Pajak
Dalam aturan PMK 210/2018, penyedia platform marketplace seperti Lazada, Tokopedia, BukaLapak, Shopee, dan sebagainya wajib untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terkait penjualan barang dagangan milik pedagang di marketplace itu sendiri. Selain itu, penyedia platform marketplace juga wajib melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.
ADVERTISEMENT
Para pedagang di marketplace juga wajib melaporkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada penyedia platform marketplace. Jika belum memiliki NPWP, pedagang memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace.
Sebelum menggunakan platform marketplace sebagai perpanjangan tangan Ditjen Pajak, otoritas pajak sempat berencana menunjuk jasa kurir sebagai Wajib Pungut (WaPu). Namun rencana ini batal karena pemerintah melihat marketplace paling efektif untuk dijadikan WaPu.
com-Ilustrasi Belanja Online (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Belanja Online (Foto: Shutterstock)
Gunakan Data BI
Untuk mendapatkan data masyarakat yang bertransaksi online, Ditjen Pajak juga sempat berencana menggunakan data Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) milik Bank Indonesia (BI). Dengan GPN, pemerintah bisa mendapatkan data mengenai transaksi jual beli di domestik.
Namun Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Arif Yanuar mengatakan, ada beberapa kendala jika pemerintah hanya mengandalkan GPN.
ADVERTISEMENT
BI dinilai tidak memiliki kapasitas untuk memisahkan data mana yang merupakan transaksi e-commerce dan mana yang bukan. Selanjutnya, GPN juga tidak bisa membedakan mana wajib pajak yang perlu dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan yang tidak.
“Kami mengerti juga, karena kalau GPN bisa saja itu transaksi lain yang bukan jual beli. Misalnya bayar utang atau arisan,” kata Arif.
2018
Sepanjang 2018, rencana aturan mengenai pajak e-commerce seperti mangkrak. Pemerintah pun belum menunjukkan tanda-tanda aturan tersebut diterbitkan.
Hingga pada akhir 2018, Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, aturan pajak e-commerce akan dilakukan bertahap. Artinya, penjual atau merchant dalam marketplace akan dikenakan terlebih dahulu baru selanjutnya ke ranah media sosial.
ADVERTISEMENT
Nantinya, dalam beleid tersebut juga akan mengatur tata cara pemungutan pajak, baik untuk barang berwujud (tangible goods) maupun tak berwujud (intangible goods) yang diperdagangkan melalui e-commerce.
"Itu akan kami terapkan bertahap (marketplace dulu baru media sosial). Tentunya sesuai dengan kesiapan semua," kata Heru.
Awal 2019
Pada Jumat (11/1), pemerintah secara tiba-tiba mengeluarkan PMK 210/2018 tersebut.
Sehari sebelumnya, Presiden Jokowi menghadiri acara ulang tahun salah satu penyedia platform marketplace, yakni BukaLapak. Saat itu, Jokowi meminta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk bisa 'go online'.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, aturan pajak e-commerce tersebut tak sesuai dengan tujuan Presiden Jokowi yang mendorong UMKM untuk masuk dalam transaksi online tersebut. Dia pun meminta pemerintah untuk menunda pelaksanaan PMK tersebut hingga tahun depan.
ADVERTISEMENT
"Saya rasa pemerintah harus tunda dulu lah ini implementasinya, setahun lah. Kebalikan sekali dengan Presiden Jokowi. Baru Jumat lalu Pak Jokowi bilang untuk mendorong UMKM kita masuk ke e-commerce, ini malah langsung ada aturannya," ujar Ikhsan.
Berdasarkan data yang dihimpun Akumindo, hingga saat ini baru 6 juta pelaku UMKM yang masuk dalam e-commerce dari total 56 juta pelaku UMKM. Menurut dia, hal ini harus terus didorong agar jumlahnya terus meningkat.
"Harusnya dibuat nyaman dulu, baru dipajaki, dibuat aturan. Ini masih sedikit kok sudah diatur-atur," katanya.
Selain itu, Ketua Umum idEA Ignatius Untung menilai jika PMK 210 tersebut diberlakukan, beleid itu justru menjadi penghalang bagi keberlangsungan marketplace.
Menurut Untung, banyak pengusaha mikro yang ada di marketplace masih dalam level coba-coba. Para pengusaha mikro tersebut masih memprioritaskan untuk membangun bisnis yang bisa bertahan dan konsisten, ketimbang memiliki NPWP.
ADVERTISEMENT
“Kami mengkhawatirkan mereka memilih gulung tikar saja jika dipaksa mengurus NPWP,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesia E-Commerce Association/Idea) Ignatius Untung. (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesia E-Commerce Association/Idea) Ignatius Untung. (Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan)
Sementara Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, aturan perpajakan e-commerce dinilai belum mencakup seluruh transaksi di dunia maya. Beleid itu dianggap belum mengatur secara detail tata cara pemungutan pajak untuk di luar platform marketplace, seperti media sosial (medsos).
Menurutnya, ke depan pemerintah harus bisa mengatur pemajakan dunia digital, seperti selebgram atau youtuber. Sebab, pemilik platform tersebut belum ditetapkan sebagai subjek pajak.
"Pekerjaan rumah berikutnya pengaturan pengguna digital seperti selebgram, youtuber yang sifatnya self-entrepreneurship dan kewajibannya dilaksanakan secara self-assessment, karena pemilik platform belum dapat ditetapkan sebagai subyek pajak dalam negeri," kata dia.
ADVERTISEMENT
Menanggapi penolakan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pihaknya juga telah berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan memastikan tak ada tarif baru dalam pajak e-commerce. Aturan tersebut hanya mengatur tata cara dan mekanisme pemajakan dalam transaksi online tersebut.
"Menteri Keuangan bilang enggak ada peraturan tarif baru. Enggak ada tarif baru," jelas dia.
Darmin pun tak banyak menanggapi mengenai beberapa pihak yang meminta menunda pelaksanaan pajak e-commerce. "Ah, nanti saja," katanya.
Pada malam tadi, Kemenkeu menegaskan kembali bahwa para pedagang atau penyedia jasa toko online tidak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal itu sudah menjadi kesepakatan dalam pertemuan dengan pelaku e-Commerce yang tergabung dalam idEA (Asosiasi e-commerce Indonesia).
ADVERTISEMENT
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan, kini pedagang tidak wajib memiliki NPWP saat mendaftarkan diri di marketplace.
"Pertemuan tadi menyepakati semangat utama dan substansi bahwa pedagang/merchant tidak diwajibkan untuk ber-NPWP saat mendaftarkan diri di platform marketplace," katanya.
Kesepakatan itu dinilai sebagai interpretasi yang tepat dan komprehensif terhadap keseluruhan PMK tersebut.
Sementara bagi pedagang yang belum memiliki NPWP, dapat memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. NIK dipilih dengan alasan dimiliki oleh seluruh penduduk.
"Kemenkeu berharap dengan adanya pengaturan dan kepastian hukum yang lebih jelas dalam menjamin perlindungan konsumen, diharapkan konsumen akan beralih ke platform e-commerce," tambahnya.