Sri Mulyani Jadi Menkeu Terbaik Asia Pasifik 2019, Ada yang Tak Senang

8 April 2019 10:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkeu Sri Mulyani di UI Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menkeu Sri Mulyani di UI Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Gelar Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik versi majalah FinanceAsia kembali diraih Sri Mulyani Indrawati di tahun ini. Penghargaan tersebut merupakan ketiga kalinya secara berturut-turut diraih Sri Mulyani alias hat-trick.
ADVERTISEMENT
Majalah FinanceAsia menilai kinerja Sri Mulyani telah membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Hal ini dilihat dari defisit anggaran yang sebesar 1,76 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan yang terendah dalam enam tahun terakhir.
Namun demikian, ada saja beberapa pihak yang tak senang dengan penghargaan yang diraih Sri Mulyani. Contohnya Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, yang menyebut gelar tersebut tak mencerminkan kebanggaan Indonesia.
"Terbaik di mata asing, bukan di mata rakyat Indonesia. Ia telah membuat tuannya senang makanya diganjar hadiah. Bu, hadiah terbaik adalah dari rakyat, yaitu bisa tersenyum dengan keadaan. Ekonomi sulit rakyat makin menderita," kata Fadli Zon pada akun Twitter resminya seperti dikutip kumparan, Senin (8/4).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, Pengamat Ekonomi Gede Sandra menyebut imbal hasil atau yield surat utang Indonesia saat ini merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Surat utang kita tertinggi di kawasan Asia Tenggara, bunganya 8 persen. Artinya kalau buat kita bisa rugi karena mesti membayar utang lebih mahal dari negara-negara di kawasan. Misalnya Vietnam itu 4,8 persen kalau dibandingin dengan tenor kita 10 tahun maka kita mesti bayar lebih mahal 135 persen," kata Gede Sandra dalam keterangannya.
Selain itu, Gede Sandra juga menuding saat ini rasio pajak Indonesia hanya sebesar 10-11 persen, masih rendah dibandingkan dengan Vietnam yang mencapai 13,8 persen, Thailand 17 persen, dan Filipina 14,4 persen.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti menegaskan, penilaian yang dilakukan pihak internasional kepada Sri Mulyani tentu dilakukan secara menyeluruh dan analisis yang mendalam pada pengelolaan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Untuk besaran yield, lanjut Nufransa, penentuannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain suplai dan demand, sentimen pasar domestik maupun global, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan ekonomi makro.
"Membandingkan yield suatu obligasi, hendaknya dilakukan dengan obligasi yang memiliki tenor sama dan kredit rating yang sama, sehingga bisa proporsional dan seimbang," katanya.
Dalam menganalisis yield, umumnya dilihat kecenderungan yang terjadi di pasar keuangan, dari kondisi global yang berpengaruh terhadap kondisi domestik. Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak empat kali di 2018 (total 100bps) mempengaruhi kenaikan yield US Treasury (UST) sekitar 29 bps atau 12,1 persen (UST tenor 10 tahun). Kenaikan ini kemudian ditransmisikan ke kenaikan BI 7 days-Reverse Repo Rate (BI-7 RRR) sebanyak 6 kali sebesar 175 bps, dari 4,25 persen menjadi 6,0 persen.
ADVERTISEMENT
Kenaikan FFR dan BI-7 RRR mempengaruhi kenaikan yield SBN di tahun 2018 sebesar 26,92 persen (tenor 10 tahun). Kecenderungan peningkatan yield, terutama di tahun 2018 juga terjadi di beberapa negara dan bahkan lebih tinggi dibanding kenaikan yield SUN, misalnya instrumen dengan tenor sama untuk Turki yang naik sebesar 39,74 persen, Argentina 32,01 persen, dan Rusia 30,41 persen.
Selain membandingkan kenaikan yield, yang juga umumnya dilakukan adalah membandingkan spread antara yield UST sebagai benchmark_ dengan yield suatu surat berharga. Jika dilihat dari spread-nya terhadap UST, Indonesia mengalami kenaikan sebesar 31 persen atau lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya, seperti Filipina (naik 60 persen), Spanyol (naik 75 persen), dan Irlandia (naik 52 persen).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Net International Investment Position (NIIP), yang mengindikasikan apakah suatu negara merupakan kreditur atau debitur.
Kondisi NIIP Indonesia masih lebih baik dibandingkan India, Brasil, Meksiko, Turki, maupun AS
Indonesia memang negara debitur, namun level utangnya tergolong sehat dengan rasio utang per PDB per akhir Desember 2018 sebesar 29,78 persen. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan Singapura (110,6 persen), Vietnam (61,5 persen), Malaysia (50,9 persen), Filipina (41,9 persen), dan Thailand (41,8 persen).
"Hingga saat ini pemerintah tidak pernah gagal bayar, karena kita mengelolanya secara hati-hati dan terukur. Dalam hal ini pemerintah memperhitungkan kemampuan membayar kita jauh lebih tinggi dibandingkan kewajiban di setiap jatuh tempo," jelasnya.
Untuk CAD, Nufransa menjelaskan sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempersempit laju CAD, yakni dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor.
ADVERTISEMENT
Untuk mendorong ekspor, pemerintah memberikan penambahan kuota produksi batu bara dan tanpa dikenakan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO), yang merupakan kewajiban produsen batu bara domestik untuk memasok produksi batu bara bagi kebutuhan PT PLN (Persero). Selain itu pemberian fasilitas dan insentif prosedural (penyederhanaan dan kemudahan ekspor), serta melanjutkan kebijakan Penugasan Khusus Ekspor (National Interest Account/NIA).
"Sementara untuk pengendalian impor dilakukan melalui review terhadap proyek-proyek infrastruktur pemerintah khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN), pengurangan impor BBM solar melalui penggunaan Biodiesel (B-20) baik PSO maupun Non PSO, juga mendorong peningkatan penggunaan barang konsumsi produk dalam negeri melalui penyesuaian tarif PPh Impor atas Barang Konsumsi," jelas Nufransa.
Sementara untuk kritikan Gede Sara mengenai tax ratio, Nufransa mengakui, selama sembilan tahun terakhir (2009–2017), tax ratio Indonesia mengalami tren penurunan dan baru mulai meningkat di 2018. Peningkatan menjadi 11,42 persen di 2018 tersebut diharapkan menjadi titik balik perbaikan kinerja perpajakan Indonesia dan akan berlanjut di tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan tax ratio dari sisi reformasi kebijakan dan reformasi administrasi, antara lain melalui keterbukaan informasi keuangan dan Automatic Exchange of Information (AEoI), peningkatan tingkat kepatuhan melalui penguatan dan peningkatan pelayanan, pengawasan, dan pemeriksaan.
Selain itu juga melalui kebijakan amnesti pajak yang cukup berhasil dengan total aset yang dideklarasi mencapai Rp 3.589 triliun dan stimulus perpajakan bagi UMKM yang menurunkan tarif PPh untuk UMKM menjadi 0,5 persen dari penghasilan bruto.
Ada juga kebijakan restitusi pajak yang semakin dipercepat dan pemberian tax allowance dan tax holiday sebagai fasilitas pengurangan PPh Badan.
"Semua dilakukan Menkeu SMI (Sri Mulyani Indrawati) tanpa pamrih. Kalaupun ada penghargaan atau apresiasi, hal tersebut adalah bonus bagi beliau yang bekerja sepenuh hati untuk Indonesia yang sangat dicintainya, dan akan selalu dicintai hingga akhir hayat," tulis Nufransa.
ADVERTISEMENT