Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sulitnya Perajin Pasarkan Kain Tenun Ikat Khas NTT
5 Agustus 2018 9:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Selain kopi dan madu hutan, buah tangan lainnya yang bisa diboyong pulang oleh para wisatawan yang datang berkunjung ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT ) adalah kain tenun ikat. Kerajinan tangan ini merupakan salah satu barang yang bisa dibawa sepulang dari Pulau Flores karena tidak bergantung pada musim, seperti kopi atau madu hutan.
ADVERTISEMENT
Di Sikka, kabupaten di bagian tengah Pulau Flores, kain tenun ikat bisa ditemukan di Pasar Murah Alok setiap hari Selasa, di Kota Maumere, NTT. Kumpulan ibu-ibu yang kebanyakan berasal dari Desa Sikka di Kecamatan Lela atau Desa Nita di Kecamatan Neta ini berkumpul dan menjual hasil karya tangan mereka.
"Saya datang dari kampung Nita. Kami berjualan di kampung ini setiap hari Selasa. Namanya pasar murah di Pasar Alok. Penjualannya kalau di sini lumayan, banyak turis-turis atau orang dari luar kota datang," kata Mama Gen, salah satu penjual tenun ikat di Pasar Murah Alok saat ditemui kumparan, Selasa (31/7) lalu.
Ada banyak pilihan tenun ikat di pasar ini, mulai dari selendang dengan ukuran lebar sekitar 15 centimeter (cm) hingga sarung dengan berbagai motif. Mama Gen tampak ramah menyambut tiap orang yang melewati lapaknya di Pasar Alok pagi ini. Seekali dia tersenyum sambil berkata, "Mau pilih yang mana Kak kainnya?"
ADVERTISEMENT
Semua upaya tampak dilakukan oleh para 'Mama', sebutan bagi ibu-ibu yang menjual kain tenun ikat di sini. Namun, mereka mengeluhkan soal pemasaran kain tenun ikat yang dirasa sulit untuk dilakukan. Selendang berwarna biru dipadu cokelat berukuran lebar 15 cm Mama Gen misalnya. Dia mengatakan selendang tersebut belum juga dibeli sejak dibuat tiga bulan lalu.
"Sulit memasarkannya. Makanya kami rela datang jauh-jauh ke sini untuk jual. Biasanya banyak orang dari luar kota belanja kain tenun di sini," katanya.
Jangankan untuk ekspor, bahkan menjual di dalam kota pun Mama Gen mengaku sulit. Meski memiliki nilai budaya, kain tenun ikat nyatanya hanya banyak diminati oleh kalangan turis asing. Selain Mama Gen, ada juga Mama Lusia yang mengaku sudah berjualan kain tenun ikat ini sejak tahun 2002. Hingga sekarang, dia belum mengekspor satu pun jenis kain tenun ikat yang dia buat.
ADVERTISEMENT
"Sulit sekali. Kami tidak tahu caranya bagaimana. Kami memang diberi pelatihan unntuk membuat kain tenun ikat ini oleh pemerintah selama tiga hari, tapi kami tidak diberi tahu bagaimana cara menjualnya supaya bisa berhasil," tuturnya.
Di tempat yang sama, penjual kain tenun ikat lain yang biasa disapa Mama Lusia bercerita, dia hanya menggantungkan penjualan di Pasar Murah Alok ini. Setiap berjualan, dia bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta. Kebanyakan pembeli yang datang mengunjungi lapak Mama Lusia merupakan turis asing dari China dan India.
Untuk menghasilkan satu selendang tenun ikat berukuran lebar 15 cm, Mama Lusia bercerita dia memerlukan modal sebesar Rp 200.000 dan dijual kembali dengan harga Rp 400.000. Sedangkan untuk sarung tenun ikat, Mama Lusia mengaku dia membutuhkn modal sebanyak Rp 500.000 dan dijual kembali dengan kisaran harga Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, tergantung motif dan jenis kain yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Meski harus menempuh perjalanan jauh dan berjam-jam, mereka mengaku tidak keberatan. Saat ditanya keinginannya, mereka berharap tahu bagaimana caranya mempromosikan kain tenun ikat hingga ke luar negeri.
"Saya cuma mau diajarkan bagaimaana supaya bisa promosi sampai ekspor-ekspor begitu. Kalau bertemu dengan orang yang butuh tenun ikat, suruh beli sama saya, ya" pesan Mama Lusia sambil tertawa.