Tarif Cukai Rokok Batal Naik, Gara-gara Tahun Politik?

5 November 2018 7:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. (Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat)
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai pabrik rokok melakukan produksi manual. (Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat)
ADVERTISEMENT
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok di 2019. Tak hanya itu, rencana penyederhanaan atau simplifikasi layer cukai rokok juga ditunda.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, pemerintah telah membuat roadmap untuk penyederhanaan layer cukai rokok bertahap hingga 2021 menjadi hanya lima layer saja, dari tahun ini sebanyak sepuluh layer.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menduga, ada unsur politik dalam keputusan pemerintah tak menaikkan tarif cukai rokok dan menunda simplifikasi cukai rokok di tahun depan. Menurutnya, hal tersebut dilakukan pemerintah untuk menghindari gejolak yang tak perlu di tahun politik.
Beberapa pihak dan asosiasi petani tembaaku memang tak setuju dengan rencana pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok di tahun depan. Alasannya, hal itu bisa menekan petani tembakau bahkan hingga berkurangnya lahan tembakau di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Alasannya saya kira memang menghindari gejolak yang tak perlu di tahun politik. Ya ini real politik, momentumnya enggak tepat mungkin kalau naik sekarang," ujar Yustinus kepada kumparan, Senin (5/11).
Namun untuk penyederhanaan layer cukai rokok, Yustinus meminta pemerintah untuk tetap melanjutkannya pasca-Pilpres. Sebab tujuan dari penyederhanaan layer tersebut untuk pengendalian rokok di Indonesia.
"Simplifikasi mungkin sebaiknya tetap dilanjutkan pasca-Pilpres karena tujuannya kan pengendalian, Kenaikan tarif moderat sebenarnya enggak apa-apa, saya yakin industri bisa memaklumi, toh tiap tahun naik," jelasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar Misbakhun menyampaikan, alasan pemerintah membatalkan kenaikan tarif cukai rokok di tahun depan karena melihat berbagai aspek, mulai dari petani tembakau hingga aspek kesehatan.
Seorang petani mengeringkan tembakau di Desa Mandalahaji, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (13/82018). (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petani mengeringkan tembakau di Desa Mandalahaji, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (13/82018). (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Namun menurut dia, ketika nantinya pemerintah memiliki regulasi pengganti PMK No. 146/2017, hal itu harus kembali dibicarakan dengan berbagai pihak terkait agar keputusan yang ditetapkan bisa bersifat selamanya atau permanen.
ADVERTISEMENT
“Ketika pemerintah kelak akan membuat regulasi pengganti PMK 146, maka harus dibicarakan dengan semua pemangku kepentingan sehingga kebijakan yang dihasilkan memberikan rasa keadilan semua pihak,” kata Misbakhun.
Dengan penundaan kenaikan tarif cukai di tahun depan, dia mengimbau pemerintah agar tetap memperhatikan struktur golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Misbakhun juga meminta pemerintah mengkaji kembali batasan produksi dalam struktur tarif cukai untuk SKT.
Saat ini, pabrikan SKT kecil dan menengah, yaitu golongan II dan III, mempunyai batasan produksi sejumlah 2 miliar batang (golongan II) dan 500 juta batang (golongan III) per tahun. Setiap penambahan produksi 1 miliar batang, setara dengan penambahan jumlah tenaga kerja 2.000-3.000 orang.
“Pemerintah mesti mempertahankan preferensi tarif dan harga bagi jenis SKT. Hal ini akan membantu SKT sebagai industri padat karya yang memproduksi produk khas Indonesia,” tambahnya.
ADVERTISEMENT