Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tentang Swasembada Pangan Era Orba yang Disebut Prabowo-Sandi
20 November 2018 11:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Butiran beras memang kecil, tapi memiliki arti yang sangat besar. Begitulah peribahasa menggambarkan betapa pentingnya beras yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 260 juta orang.
ADVERTISEMENT
Masalah beras kembali menghangat, kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah mendapat kritik dari oposisi. Pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo-Sandi , menyatakan ingin mengembalikan swasembada pangan era Orde Baru.
"Pak Harto waktu memimpin negara itu kan sempat mencapai swasembada pangan. Yang hendak dilakukan oleh Pak Prabowo jika rakyat memilih beliau sebagai presiden, tentu saja semangat ini yang akan kita kembalikan, semangat bagaimana kita memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri," kata Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, saat ditemui di Kertanegara, Senin (19/11).
Ia kemudian membandingkan kebijakan pangan di era Orba dengan Jokowi yang dinilainya sangat bertolak belakang.
"Ketergantungan kita kepada impor sekarang ini masih lumayan tinggi. Kalau stok beras itu minus atau menunjukkan angka menurun, kemudian kita buru-buru impor. Orientasi ini yang kemudian akan diubah," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Fakta: Swasembada Beras di Era Orba Hanya 5 Tahun
Indonesia memang pernah mencapai swasembada pangan di era Orba, tapi hanya 5 tahun dari total 32 tahun masa pemerintahan Soeharto, yakni pada 1984-1988. Upaya pencapaian swasembada pangan ini terbantu oleh oil boom yang terjadi pada dekade 1970-an. Lonjakan harga minyak dunia ini memberi keuntungan besar pada Indonesia yang waktu itu masih menjadi eksportir minyak besar.
Pemerintah Orde Baru yang memiliki ruang fiskal luas dari pendapatan minyak bumi menggunakan profit dari minyak untuk stabilisasi harga beras. Soeharto yang berlatar belakang militer menggunakan pendekatan militer dalam upaya mencapai swasembada pangan.
Dalam dunia kemiliteran, penguasaan logistik merupakan salah satu strategi utama memenangkan perang. Maka Soeharto mengumpulkan para teknokrat untuk menyusun kebijakan swasembada pangan. Petani diberi kredit murah (Insus). Di tingkat petani harga tidak boleh jatuh, kalau harga jatuh maka Bulog harus membeli dengan harga yang dijamin pemerintah, sistem insentif dikembangkan dengan baik.
Insus digerakan, perekrutan penyuluh pertanian dilakukan secara besar-besaran, dilakukan pengamanan secara militer, ada Bintara Pembina Desa (Babinsa). Babinsa mendampingi penyuluh mengajarkan teknik-teknik bertani. Programnya terorganisir dengan baik karena didukung militer. Pada saat itu sentra-sentra produksi beras mulai dari Pidie, Simalungun, Solok, Palembang, Lampung, sampai Maros, Sulsel, Manggarai secara baik menerapkan varietas baru IR, mulai dari IR 50, IR 64, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya keleluasaan anggaran karena pendapatan negara dari ekspor minyak melonjak, pemerintah Orde Baru juga mendukung peningkatan produksi pangan dengan riset-riset. Program swasembada pangan di era Orde Baru seperti strategi perang, sangat terkoordinasi dengan baik dan memiliki arah yang jelas.
Hancurnya Swasembada Pangan
Namun, setelah mencapai swasembada pangan dan mendapat penghargaan dari FAO pada 1986, pemerintah Orde Baru mulai kehilangan fokus pada upaya mempertahankan swasembada.
Apalagi, harga minyak melorot jauh pada akhir 1980-an, pemerintah pun mengalihkan perhatiannya pada pengembangan industri manufaktur untuk menggenjot ekspor nonmigas, sebab minyak bumi tak lagi membawa banyak berkah. Di sektor pertanian, pemerintah mengalihkan perhatiannya pada sektor perkebunan, terutama kelapa sawit.
Kondisi ini diperparah dengan kekeringan panjang yang melanda Indonesia pada 1987, dan kekeringan yang lebih parah lagi pada 1992 akibat datangnya El Nino.
ADVERTISEMENT
Upaya swasembada pangan memang membutuhkan anggaran besar. Ketika anggaran pemerintah mulai defisit karena tak lagi didukung pendapatan besar dari minyak bumi, upaya swasembada pangan mulai ditinggalkan. Produksi beras pun langsung jeblok lagi setelah 1986, dan impor beras dibuka.
Impor beras makin tak terbendung setelah jatuhnya Soeharto pada 1998. Penyebabnya ialah runtuhnya pilar-pilar yang menjadi prasyarat kebijakan swasembada pangan. Contohnya, Bulog tak lagi memiliki kewenangan besar seperti sebelum 1998, pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kontrol kuat untuk menjalankan programnya sampai ke desa-desa. Contoh kecilnya, kerja penyuluh pertanian tak terpantau, pemda dan pemerintah pusat punya program yang berbeda, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan swasembada sulit diulang lagi.