Transaksi Non-tunai Berkembang, Uang Rupiah Bisa Menghilang?

23 Agustus 2018 17:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Uang Rupiah Tanpa Garuda (Foto: Antara foto dan AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Uang Rupiah Tanpa Garuda (Foto: Antara foto dan AFP)
ADVERTISEMENT
Tahun ini, tepatnya pada 14 Agustus 2018, genap empat tahun Bank Indonesia (BI) mencanangkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Gubernur BI saat itu, Agus Martowardojo menilai, dibandingkan negara-negara ASEAN lain, Indonesia masih tertinggal dalam hal menggunakan pembayaran berbasis transaksi elektronik.
ADVERTISEMENT
Padahal menurut Agus, sistem transaksi non-tunai lebih efisien, aman, dan andal. “Makanya GNNT ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non tunai, suapaya terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menggunakan instrumen non tunai (Less Cash Society/LCS),” katanya saat itu.
Empat tahun berselang, Bank Indonesia mengungkapkan saat ini penggunaan transaksi nontunai meningkat pesat. Deputi Gubernur BI, Sugeng, mengatakan hal ini tak lepas dari implementasi berbagai model bisnis nontunai, termasuk oleh pemerintah. Sebut saja penyaluran dana-dana bantuan sosial secara nontunai.
Demikian juga di sektor korporasi, banyak yang sudah mengembangkan sistem transaksi non-tunai. Seperti penggunaan tiket di ketera commuter, angkutan umum Transjakarta, juga pembayaran tol yang efektif berlaku sejak 1 Oktober 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
“Inisiatif-inisiatif itu itu berhasil mendongkrak transaksi nontunai. Pertumbuhan paling besar ada di uang elektronik, yang growth-nya di atas 300 persen secara year on year (yoy),” katanya kepada kumparan, Rabu (1/8).
ATM Center di Bandara Soetta (Foto: Ridho Robby/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
ATM Center di Bandara Soetta (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Sedangkan kartu ATM/kartu debet, yang lebih dulu populer, transaksinya tumbuh lebih rendah yakni sekitar 10 persen (yoy). Menurut Sugeng, meski pertumbuhan transaksi dengan kartu ATM/kartu debit lebih rendah, namun pangsa pasarnya masih yang terbesar dibandingkan uang elektronik jenis lain. Dari total transaksi nontunai, 90 persen menggunakan kartu ATM/kartu debit.
Adapun nominal transaksinya, mengutip data Bank Indonesia, sepanjang semester I 2018 saja secara nominal telah mencapai Rp 3.300 triliun.
Sementara itu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengakui transaksi nontunai menciptakan efisiensi ekonomi. Namun menurutnya, ada persoalan dalam program yang dicanangkan oleh Bank Indonesia itu.
ADVERTISEMENT
“Secara istilah ini merupakan gerakan. Namanya aja Gerakan Nasional Non-Tunai. Tapi pada implementasinya kok jadi kewajiban. Kayak di jalan tol itu, kan enggak ada opsi lain selain transaksi nontunai,” katanya kepada kumparan, Selasa (14/8).
Menurut dia, Bank Indonesia masih minim dalam melakukan sosialisasi dan fasilitasi, untuk menumbuhkan budaya transaksi nontunai. “Ramai saat pencanangan gerakannya, tapi setelah itu enggak ada langkah-langkah lanjutan.”
Pengendara membayar menggunakan uang elektronik (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengendara membayar menggunakan uang elektronik (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Padahal, ujar Tulus, kalau budaya transaksi non-tunai sudah terbentuk, maka itu akan menjadi kebutuhan dari masyarakat sendiri. Sehingga tak perlu dipaksakan seperti dalam pemberlakukan transaksi nontunai di jalan tol.
Dia menilai, kebijakan transaksi nontunai juga tak diakomodasi dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam undang-undang tersebut tak dikenal istilah uang elektronik, yang ada hanya uang kertas dan uang logam.
ADVERTISEMENT
Beleid yang dimaksud Tulus, termuat dalam pasal 2 UU tersebut, yang pada ayat (2) menyatakan “Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.” Bahkan pada bab IV beleid yang sama, dirinci ciri umum dan khusus uang rupiah.
Pada pasal 5 ayat (1) dan (2) misalnya, disebut dengan tegas ciri-ciri uang rupiah. Dalam uang kertas dan logam, terdapat lambang negara “Garuda Pancasila”. Demikian juga ciri-ciri lain, yang seluruhnya tak ditemui pada wujud uang elektronik.
Walaupun saat menyampaikan persoalan regulasi ini, Tulus menyatakan, bank sentral berdalih memiliki kewenangan dalam menetapkan sistem transaksi. Hal ini mengacu pada undang-undang Bank Indonesia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng. (Foto:  Ema Fitriyani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng. (Foto: Ema Fitriyani/kumparan)
Menanggapi hal ini, Sugeng menyatakan, Bank Indonesia tak menghilangkan penggunaan uang tunai (kartal). Hal ini disebabkan luasnya wilayah NKRI dan jangkauan infrastruktur non tunai yg belum 100 persen merata di seluruh wilayah.
ADVERTISEMENT
Jika di suatu daerah tidak mendapatkan akses internet atau sinyal telekomunikasi, kebutuhan tunai masih tinggi. Juga di daerah perbatasan, uang tunai masih diperlukan untuk meyakinkan kedaulatan NKRI.
“Bank Indonesia akan memastikan uang rupiah tersedia dalam jumlah yang cukup, pecahan yang sesuai sesuai kebutuhan, dan kualitas yang layak edar. Keberadaan uang rupiah di perbatasan merupakan simbul kedaulatan RI,” tandasnya.