25 Tahun Premier League: Awal Sebelum Mereka Berkembang Jadi Industri

7 Agustus 2017 12:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Manchester United 1992/93. (Foto: Twitter/Opta Joe)
zoom-in-whitePerbesar
Manchester United 1992/93. (Foto: Twitter/Opta Joe)
ADVERTISEMENT
Tahun ini, Premier League tepat berusia 25 tahun dan melihat bagaimana kompetisi ini menjadi salah satu liga olahraga terpopuler di dunia, fakta bahwa ia baru berusia seperempat abad sebetulnya agak sulit dicerna. Di usia yang sesingkat itu, Premier League berhasil melakukan segalanya, mulai dari mengubah citra sepak bola Inggris sampai menjadi tolok ukur keberhasilan industrialisasi olahraga.
ADVERTISEMENT
Semua keriuhan ini berpangkal pada sebuah pertemuan di restoran Jepang antara Greg Dyke, bos London Weekend Television sekaligus chairman ITV Sport, dengan David Dein yang kala itu masih menjabat sebagai wakil chairman Arsenal, pada tahun 1988. Ketika itu, Dyke menawari Dein untuk membeli hak siar klub Big Five dan menayangkan pertandingan-pertandingan mereka secara eksklusif di ITV.
Arsenal, bersama Manchester United, Liverpool, Everton, dan Tottenham Hotspur adalah klub Big Five yang dimaksud. Saat itu, merekalah klub Football League dengan basis massa terbesar dan riwayat sejarah paling menterang. Ketika itu, mereka pun sebenarnya sudah menunjukkan bahwa mereka memang berbeda.
Apa yang ditawarkan Dyke kepada Dein itu akhirnya memang tidak terlaksana karena pihak Football League rupanya mengetahui soal pertemuan itu. Setelah Arsenal bersama keempat klub lain mengancam akan membentuk sebuah "Super League", pihak Football League pun kemudian mengalah dan memberi mayoritas uang hak siar kepada Big Five. 75% dari total uang sebesar 44 juta poundsterling yang merupakan nilai hak siar Football League di ITV pada 1988 jatuh ke tangan kelima klub itu.
ADVERTISEMENT
Meski Big Five sudah mampu mengeruk keuntungan finansial seperti itu, sepak bola Inggris sebenarnya sedang berada dalam masa kelam. Hooliganisme, tentu saja, menjadi masalah terbesar mereka di mana Tragedi Heysel yang terjadi pada 29 Mei 1985 memaksa klub-klub Inggris absen dari kompetisi antarklub Eropa selama lima tahun -- khusus Liverpool sebagai biang keladi tragedi itu, enam tahun.
Hooliganisme ini sebenarnya merupakan puncak dari segala masalah yang ada di masyarakat. Perang Falkland plus pengetatan ikat pinggang yang menjadi trademark rezim Margaret Thatcher membuat generasi muda Inggris ketika itu menjadi seperti kehilangan arah dan akhirnya, mencari pelampiasan dengan menjadikan sepak bola sebagai arena pertempuran.
Hal itu menjadi mungkin karena cara Football League mengelola sepak bola memang masih sangat sederhana. Tidak ada yang namanya tempat duduk bernomor, kamera pengawas, dan semacamnya. Itu belum termasuk bagaimana stadion-stadion tidak dirawat dengan semestinya. Kebakaran di stadion milik Bradford City, Valley Parade, pada 11 Mei 1985 menjadi bukti bagaimana buruknya pengelolaan stadion di era tersebut.
ADVERTISEMENT
Suasana mencekam di Heysel, 1985. (Foto: Reuters/Nick Didlick)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana mencekam di Heysel, 1985. (Foto: Reuters/Nick Didlick)
Semua masalah yang melanda persepakbolaan Inggris ini kemudian mencapai puncaknya pada 15 April 1989. Dalam sebuah partai semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest, 96 suporter Liverpool meninggal dunia dalam peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Hillsborough. Ketika itu, tak terkontrolnya jumlah suporter Liverpool yang masuk ke stadion akhirnya membuat tribun Leppings Lane runtuh dan menyebabkan tewasnya 96 orang tersebut.
Menyusul tragedi ini, ada dua hal yang lahir dan kemudian mengubah wajah sepak bola Inggris selamanya. Pertama, Football Spectators Act 1989 dan kedua, laporan hasil investigasi Lord Justice Taylor yang pertama kali dirilis pada tahun 1990. Kedua dokumen ini sebenarnya saling melengkapi.
Dalam Football Spectators Act disebutkan bahwa stadion wajib menggunakan kamera pengawas dan tribun berdiri diubah menjadi tribun duduk (all-seater). Dalam laporan Lord Justice Taylor pun begitu. Di situ disebutkan beberapa rekomendasi dan soal kamera serta tribun itu pun termasuk di dalamnya. Selain soal itu, Laporan Taylor juga merekomendasikan perihal pengaturan arus penonton yang masuk, pengadaan fasilitas medis yang memadai, penghilangan pagar di tribun, serta perbaikan sistem komunikasi antarpersonel keamanan, entah itu polisi maupun steward.
ADVERTISEMENT
Keluarga korban tragedi Hillsborough (Foto: Reuters/Andy Yates)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga korban tragedi Hillsborough (Foto: Reuters/Andy Yates)
Tahun itu, 1990, adalah tahun yang krusial bagi persepakbolaan Inggris. Selain dirilisnya Laporan Taylor ini, prestasi Tim Nasional Inggris pun membaik di mana mereka mampu mencapai babak semifinal Piala Dunia. Kemudian, pada tahun itu pula hukuman larangan bermain untuk klub-klub Inggris di kancah antarklub Eropa dicabut. Pencabutan larangan ini kemudian berujung pada keberhasilan Manchester United menjuarai Piala Winners pada 1991.
Iklim positif ini kemudian dimanfaatkan Greg Dyke dan Big Five untuk meneruskan pembicaraan soal wacana liga sempalan yang sempat tertunda. Pada tahun 1990, pertemuan antara Dyke dengan perwakilan Big Five itu pun terlaksana juga.
Di situ, konsep yang membedakan mereka dengan Football League mulai dibahas, mulai dari pengurangan jumlah klub sampai cara pembagian hak siar. Dua hal inilah yang kemudian menjadi senjata Big Five dalam upaya meyakinkan dua pihak. Soal pengurangan jumlah klub ini mereka gunakan untuk meyakinkan FA, sementara soal pembagian hak siar mereka gunakan untuk meyakinkan klub-klub lain.
ADVERTISEMENT
Saat itu, FA dan Football League kebetulan pula sedang tidak memiliki hubungan yang harmonis. Akhirnya, setelah David Dein mempresentasikan ide ini kepada FA -- di mana dia berargumen bahwa pengurangan jumlah klub akan menguntungkan Timnas Inggris --, pihak FA pun langsung setuju. Mereka menganggap bahwa membekingi Big Five akan membuat posisi Football League melemah.
Manchester United vs Sheffield Wednesday 1993. (Foto: Premier League)
zoom-in-whitePerbesar
Manchester United vs Sheffield Wednesday 1993. (Foto: Premier League)
Sementara itu, dengan iming-iming uang yang lebih besar, klub-klub lain pun bisa dengan mudah diajak untuk bergabung. Akhirnya, pada akhir musim 1991/92, klub-klub Divisi Satu pun mengundurkan diri secara bersamaan dari Football League dan pada Mei 1992, FA Premier League pun mulai beroperasi secara resmi. Sebelumnya, pembentukan Premier League sudah mendapat persetujuan dari Pengadilan Tinggi di bulan Februari 1992.
ADVERTISEMENT
Premier League resmi dimulai pada musim kompetisi 1992/93. Meski begitu, awalnya ia masih jauh dari sempurna. Soal stadion, misalnya, masih banyak klub-klub yang belum bisa memenuhi syarat soal tribun stadion. Bahkan, Sunderland baru bisa memenuhi syarat itu ketika mereka pindah dari Roker Park ke Stadium of Light pada 1997.
Kemudian, soal jumlah klub itu. Meski dijanjikan bahwa jumlah klub berkurang dari 22 ke 20, hal itu baru terlaksana pada musim 1995/96. Walau begitu, semua dilakukan secara gradual dan pada akhirnya, Premier League mampu menjadi seperti yang kita kenal saat ini.
Satu hal menarik dari proses terbentuknya Premier League ini adalah fakta bahwa Greg Dyke pada akhirnya justru gagal mendapatkan hak siar kompetisi baru ini akibat ditikung Rupert Murdoch, pemilik Sky, pada detik-detik akhir. Kerja sama Premier League dengan Sky inilah yang sekaligus menandai dimulainya era sepak bola modern di mana hak siar televisi menjadi jualan utama dan televisi berbayar menjadi primadona.
ADVERTISEMENT