35 Tahun Kematian Garrincha: Pekan Sunyi Sepak Bola Gembira

20 Januari 2018 16:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Garrincha, the Joyous of People. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Garrincha, the Joyous of People. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, setiap pertandingan akan berakhir dan setiap tarian harus berhenti. Garrincha pun menutup hidupnya dengan kematian yang meriah.
ADVERTISEMENT
Kematian adalah rangkaian sedu-sedan yang panjang. Yang memancing tangis dan kenang-kenangan tentang orang yang usianya sudah habis. Kematian Garrincha pun kematian yang demikian. Hanya, ia lebih meriah. Mirip dengan aksi-aksi sirkusnya di atas lapangan hijau.
Bagi orang-orang Brasil, Garrincha lebih dari sekadar pesepak bola yang mempersembahkan gelar juara dunia tahun 1958 dan 1962. Jika kultur sepak bola Brasil lekat dengan karnaval, pesta, dan suka cita, maka Garrincha menghidupinya dengan permainan sepak bola yang memantik kegembiraan.
Sepak bola Brasil selalu memberikan tempat kepada Garrincha. Di Piala Dunia 1958 dan 1962, Garrincha bermain sebagai pemain sayap kanan dalam formasi 4-2-4. Ada sebabnya mengapa Garrincha ditempatkan di area ini.
Cara Garrincha bermain kerap mengabaikan tatanan formasi dan rincian taktik. Ia cenderung bermain menuruti kata hati. Bila pemain lain bertanding, Garrincha benar-benar bermain sepak bola. Tanpa aturan. Di atas lapangan hijau, saat bola sedang ada di atas kakinya, Garrincha adalah aturan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Karena kemampuan dan karakteristiknya inilah, Garrincha ditempatkan di sisi luar permainan. Agar aksi-aksinya itu tidak mengganggu area lain. Bersama Mario Zagallo, Pele, dan Vava, Garrincha menjadi bagian dari lini serang Timnas Brasil.
Matinya sang Bintang Lapangan
Kamis, 20 Januari 1983, menjadi hari kematian Garrincha. Sebagai pesepak bola, ia memang terkenal dengan gaya permainannya yang semarak. Namun, itu hanya terjadi saat ia berada di atas lapangan. Lain cerita bila ia sedang tak bermain sepak bola.
Garrincha juga dikenal sebagai salah satu pesepak bola yang paling piawai menghidupi hedonisme. Mabuk-mabukan dan main perempuan menjadi bagian dari gaya hidupnya. Sama seperti ketidakpeduliannya terhadap taktik sepak bola, ia juga tak peduli dengan ikatan pernikahan. Seumur hidupnya, ia punya empat istri. Perselingkuhan demi perselingkuhan menjadi cerita yang mengiringi karier sepak bolanya.
ADVERTISEMENT
Di akhir-akhir hidupnya, Garrincha tinggal di Bangu. Wilayah ini tercatat sebagai daerah sub-urban Rio de Janeiro. Area yang juga terkenal sebagai pemukiman buruh tekstil. Federasi Sepak Bola Brasil yang membayar biaya sewa rumah yang ditinggali Garrincha selama lima tahun. Gaya hidup Garrincha yang sembarangan membuatnya kehilangan banyak uang. Makanya, bantuan dari Federasi Sepak Bola Brasil menjadi tumpuan hidupnya saat ia tak lagi bermain sepak bola.
Garrincha meninggal karena terlampau banyak mengonsumsi alkohol dalam usia 49 tahun. Dalam monograf tentang kematiannya yang berjudul ‘The People's Joy Vanishes’, Jose Sergio Leite Lopes mengungkapkan bahwa Garrincha mabuk-mabukan tanpa henti terhitung sejak hari Minggu (16 Januari 1983) sampai Rabu (19 Januari 1983), sehari sebelum ia meninggal. Ia mabuk kelewat batas.
ADVERTISEMENT
Garrincha pulang ke rumahnya dalam keadaan sakit. Istri ketiganya meminta bantuan salah satu koleganya, yang lucunya, merupakan sekretaris pribadi istri kedua Garrincha, untuk mengantarnya ke rumah sakit. Setelah diberi obat penenang, Garrincha dipindahkan ke Sanatorio Dr Eiras. Tempat ini semacam pusat rehabilitasi bagi para pencandu alkohol. Garrincha sudah tiga kali dirawat di sana.
Saat masih aktif bermain bola, Garrincha bergelimang nama besar. Namun, di luar sepak bola, Garrincha tak punya nama. Alih-alih menggunakan nama aslinya, Manuel Francisco dos Santos, ia dirawat dengan menggunakan nama Manuel da Silva. Garrincha mencapai titik nadirnya. Bintang sepak bola berubah jadi pemabuk tanpa nama.
Dalam keadaan koma di rumah sakit, Garrincha tak mendapatkan perawatan spesial apa pun. Ia hanya bertahan tak sampai 12 jam. Kamis jam 6:00 pagi, Garrincha dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit. Istri keempat Garrincha yang berbicara di konferensi pers untuk mengumumkan kematian suaminya.
ADVERTISEMENT
Setelah menjalani autopsi, jenazah Garrincha dipindahkan dengan mobil pemadam kebakaran untuk disemayamkan di Stadion Maracana. Rio de Janeiro mendadak gila. Orang-orang yang menangisi kepergian Garrincha tumpah di jalanan. Mobil pemadam kebakaran tadi kepayahan. Bahkan sempat berhenti karena entah berapa ribu orang bertepuk tangan memberikan penghormatan untuk Garrincha yang sudah terbujur kaku di dalam peti mewah.
Entah lucu entah miris, yang jelas prosesi persemayaman Garrincha diwarnai dengan dua keributan. Yang pertama, terjadi antara keluarga Garrincha dengan istri ketiganya. Di mata keluarga Garrincha, istri ketiganya ini dinilai sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian si bintang lapangan. Saking ricuhnya, polisi sampai harus turun tangan untuk meredakan situasi.
Garrincha kala membela Timnas Brasil. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Garrincha kala membela Timnas Brasil. (Foto: Wikimedia Commons)
Keributan kedua melibatkan suporter Botafogo, klub pertama yang dibela Garrincha sebagai pesepak bola profesional. Saat para suporter membentangkan bendera klub di atas peti jenazah, salah seorang keponakan Garrincha protes. Ia bersikeras bahwa bendera Timnas Brasil yang harus dibentangkan.
ADVERTISEMENT
Protes ini menggambarkan kebencian keluarga Garrincha kepada Botafogo. Di mata keluarga, Botafogo dinilai sebagai klub yang mencurangi karier Garrincha sebagai pesepak bola. Klub dianggap sebagai pihak yang mengeksploitasi talenta Garrincha tanpa kontrak yang jelas dan adil. Terlampau padatnya jadwal bermain bahkan dianggap sebagai penyebab mengapa lutut Garrincha bolak-balik harus disuntik dan menerima perawatan khusus.
Beruntung, Garrincha mengenal Nilton Santos. Bek sayap kiri yang jadi rekan sekaligus sahabat terdekat Garrincha di Botafogo dan Timnas Brasil ini kerap menjadi penyelamat, termasuk saat ribut-ribut yang melibatkan suporter dan keluarga Garrincha ini. Akhirnya, sebagai jalan tengah, di antara luapan emosi yang teramat sangat, bendera Botafogo dan Brasil sama-sama dibentangkan di atas peti jenazah.
Ini bukan kali pertama Nilton Santos menjadi penyelamat Garrincha. Sepak bola Garrincha berutang banyak kepada sahabatnya itu.
ADVERTISEMENT
Sepak bola Garrincha karib dengan ironi. Sebagai pesepak bola, Garrincha punya kekurangan fisik yang fatal: kaki kanannya lebih panjang 6 cm dari kaki kiri, bentuk kaki kiri melengkung ke luar, bentuk kaki kanan melengkung ke dalam.
Garrincha muda bekerja di sebuah pabrik tekstil. Kariernya tak berkembang, malahan ia dipecat karena malas bekerja. Sama seperti kebanyakan orang Brasil yang diselamatkan oleh sepak bola, Garrincha kembali dipanggil bekerja di pabrik tadi agar bisa jadi bagian dari kesebelasan pabrik tersebut.
Garrincha mulai mencoba melamar sebagai pemain di beberapa klub besar, seperti Fluminense dan Vasco da Gama. Kondisi fisiknya membikin lamaran Garrincha berujung pada satu pintu yang sama: penolakan. Cacat secara fisik tapi berkeinginan menjadi pesepak bola profesional. Ironis.
ADVERTISEMENT
Namun, ironi adalah lawan yang menjadi kawan. Musuh yang mendewasakan. Garrincha tetap bermain sepak bola. Garrincha tetap menggiring lawan, menipu kawan-kawan sepermainannya dengan kepiawaiannya mengolah bola. Hingga saat usianya menginjak 19 tahun, Garrincha diterima sebagai pemain Botafogo. Waktu itu ia punya kesempatan untuk mempertontonkan kemampuannya menggocek Nilton Santos dalam sebuah sesi latihan. Pemain bertahan Botafogo ini pulalah yang memaksa klub untuk menerima Garrincha.
Lahir di Pau Grande, Dikuburkan di Pau Grande
Keesokan harinya, 21 Januari 1983, tepat pukul 08:00, jenazah Garrincha diberangkatkan ke Pau Grande, distrik yang jadi tempat kelahiran Garrincha. Sebelum menjadi bintang lapangan, Garrincha menghabiskan masa kecilnya di wilayah ini.
Situasi Pau Grande tak kalah gila bila dibandingkan dengan Rio de Janeiro. Keramaian di mana-mana. Orang-orang menyemut. Mobil-mobil terpaksa berhenti di tengah jalan. Terlampau ramai, sampai-sampai mereka sengaja berhenti karena memutuskan untuk berjalan kaki menuju makam Garrincha demi memberikan penghormatan terakhir kepada pesepak bola kesayangannya.
ADVERTISEMENT
Kehidupan Garrincha boleh tragis, tapi ia tak pernah kehabisan penghormatan dan cinta orang-orang Brasil. Bagi orang-orang Brasil, mencintai Garrincha tidak pernah menjadi hal yang sulit. Pesepak bola hebat bukan cuma Garrincha. Mereka punya Pele, Zico, atau Socrates —terlebih Pele, yang waktu itu digadang-gadangkan sebagai pesepak bola paling hebat.
Barangkali, alasan mengapa Garrincha begitu dicintai, karena ketenaran dan nama besar tak pernah membuat Garrincha meninggalkan akarnya sebagai orang Brasil. Garrincha memang berstatus sebagai pemain sepak bola profesional. Ia mendapat gaji atas jasanya di atas lapangan. Bila pesepak bola lain gemar merancang masa depannya, tidak demikian dengan Garrincha.
Orang-orang Brasil pada dasarnya dikenal sebagai orang-orang yang mencintai kesenangan. Dan Garrincha hidup sebagai orang Brasil asli. Ia mempersetankan hari depan. Hidupnya hanya untuk hari ini. Daripada susah-susah memikirkan mau makan apa besok, lebih baik menghabiskan uang yang ada hari ini untuk bersenang-senang.
ADVERTISEMENT
Hal macam ini yang sepertinya tidak ditemui orang-orang Brasil pada diri Pele. Mereka sama-sama kulit hitam, sama-sama pemain Brasil yang punya nama besar, sama-sama pesepak bola yang memperjuangkan gelar juara dunia untuk Brasil. Namun, status sebagai pesepak bola profesional membuat Pele meninggalkan akarnya. Ia memilih untuk hidup mapan. Ia menggilai taktik dan gemar berbicara di depan banyak orang. Bukan hal yang salah, hanya asing.
Sebenarnya, beberapa saat setelah Garrincha dinyatakan meninggal, muncul tawaran dari Asosiasi Atlet Profesional Brasil untuk menguburkan jenazahnya di area pemakaman mewah (dan baru) di Rio de Janeiro, Jardim da Saudade, sebagai bentuk penghormatan. Namun, tawaran itu ditolak oleh (lagi-lagi) Nilton Santos. Alasannya sederhana, semasa hidupnya Garrincha pernah berpesan bahwa bila meninggal kelak, ia ingin dikuburkan di Pau Grande.
ADVERTISEMENT
Garrincha saat bermain untuk Botafogo. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Garrincha saat bermain untuk Botafogo. (Foto: Wikimedia Commons)
Di area perkuburan, sekitar 8.000 orang menunggu sejak pagi. Bila prosesi persemayaman Garrincha di Rio de Janeiro dipenuhi para pembesar, pemakaman di Pau Grande dipenuhi buruh-buruh pabrik. Orang-orang kecil yang terpinggirkan dari kemewahan Rio de Janeiro. Mereka berdiri entah di kuburan siapa, ada pula yang memanjat pohon. Peduli amat dengan berdesak-desakan, yang penting mengantarkan sang pahlawan ke liang lahat.
Di dekat Pau Grande, terdapat tulisan yang bila diterjemahkan berarti, “Garrincha, kamu sudah membuat dunia tersenyum, sekarang kamu membuatnya menangis.”
Begitu mobil pemadam kebakaran yang mengangkut jenazah Garrincha datang, seketika suporter Botafogo menutup area perkuburan. Peti jenazah diturunkan oleh beberapa orang, entah siapa.
Garrincha entah bagaimana caranya, selalu sanggup memantik keriaan para penonton lewat aksi-aksi akrobatiknya dalam pertandingan seberat apa pun. Lihatlah caranya menggiring bola. Mengecoh lawan, bahkan proses mencetak gol. Semuanya begitu jenaka. Begitu ampuh merangsang keriaan.
ADVERTISEMENT
Penyair kenamaan Brasil, Carlos Drummond de Andrade, menyamakan Garrincha dengan Charlie Chaplin. Untuk memantik tawa, Charlie Chaplin tak butuh bicara dan materi komedi cerdas. Semuanya hanya muncul dari gerak-gerik dan mimik khasnya.
Seperti itu pulalah Garrincha di ranah sepak bola. Sebagai pesepak bola, Garrincha tak bicara banyak. Ia tak pernah bernafsu untuk tampil sebagai figur publik. Ia menyenangkan orang-orang lewat gerakan-gerakan kakinya, dengan tarian Samba alanya di atas lapangan hijau. Garrincha dijuluki ‘alegria do povo’, ‘the joyous of people’, suka cita bagi orang-orang.
Lantas, prosesi penguburan ini pun ibarat sepak bola Brasil. Sedalam apa pun duka yang ditinggalkan, tetap ada hal jenaka. Memang tak sampai membuat orang tertawa terbahak-bahak, hanya menyunggingkan sedikit senyuman. Namun, itu pun cukup. Begitu peti diturunkan, orang-orang menyadari bahwa lubang yang telah digali tak cukup besar untuk menampung peti jenazah Garrincha yang begitu mewah dan elegan.
ADVERTISEMENT
Garrincha pada akhirnya tetap dimakamkan di Pau Grande. Peti jenazah yang mewah tadi dikubur di tengah-tengah area pemakaman sederhana di kampung halamannya. Penanda bahwa sebesar apa pun Garrincha di ranah sepak bola, ia tetap menolak untuk berpisah dari akarnya. Kualitas yang dibawanya sampai mati. Dari debu kembali ke debu, dari Pau Grande kembali ke Pau Grande.
Sepak bola Brasil mendadak lebih sunyi sejak kematian Garrincha. Pemain papan atas terus bermunculan, tapi entah dengan kesenangan yang timbul di atas lapangan hijau. Gelak tawa yang lahir dari sepak bola Garrincha tetap terdengar, hanya lebih sayup.