Alkisah Tergerusnya Penyerang Lokal di Daftar Topskorer

13 Desember 2018 17:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aleksandar Rakić (Foto: Dok. Liga Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Aleksandar Rakić (Foto: Dok. Liga Indonesia)
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Aleksandar Rakic menjadi topskorer kompetisi Go-Jek Liga 1 2018/19, menjadi ironi di sepak bola Indonesia. Keluarnya penyerang PS Tira itu sebagai pemain paling subur di kompetisi sepak bola tertinggi Tanah Air kian menegaskan betapa kalah bersaingnya para pemain lokal di liga sendiri.
ADVERTISEMENT
Tercatat, sudah tiga musim ke belakang (termasuk 2018/19), puncak daftar pencetak gol selalu dihuni oleh pemain asing. Pada musim 2014/15, Emmanuel Pacho Kenmogne, menjadi pemain paling subur ketika mencetak 25 gol bersama Persebaya Surabaya. Di musim 2017/18, 37 gol yang dicetak Sylvano Comvalius untuk Bali United mengantarkannya jadi topskorer.
Bahkan, keadaan para pemain lokal di musim 2018/19 bisa dibilang lebih mengkhawatirkan dibandingkan musim lalu. Pada daftar 10 besar topskorer musim ini, hanya ada dua nama penyerang lokal yang bercokol yakni Samsul Arif di peringkat delapan dengan 14 gol dan Alberto 'Beto' Goncalves ke-10 dengan 13 gol.
Dikatakan lebih mengkahwatirkan karena pada musim 2017/18, terdapat tiga penyerang lokal yang menghuni 10 besar daftar topskorer yakni Samsul Arif di peringkat keempat dengan 17 gol, Lerby Eliandry kelima dengan 16 gol, dan Greg Nwokolo kedelapan dengan 14 gol.
ADVERTISEMENT
Pada musim 2014/15 --sebelum PSSI dibekukan FIFA--ada lima striker lokal yang menghuni 10 besar daftar topskorer yakni Samsul Arif (peringkat )kedua dengan 16 gol, Greg dan Cristian Gonzales (peringkat ketiga) dengan 14 gol, Ferdinan Sinaga (peringkat ketujuh) dengan 11 gol, dan Bambang Pamungkas (peringkat kesembilan) dengan 10 gol.
Namun, dengan cukup banyaknya pemain lokal masuk di 10 besar pada edisi-edisi tersebut, tidak berarti membuat label 'kalah saing' dengan penyerang asing luntur.
Dari 11 musim teraktual Liga Indonesia, sembilan gelar topskorer disabet penyerang asing. Gonzales (sebelum dinaturalisasi) empat kali meraihnya pada musim 2005-2008, Aldo Bareto 2009/10, Beto 2011/12, Kenmogne 2014/15, Comvalyus 2017/18, dan teranyar Rakic di musim ini.
Boaz Solossa  (Foto: YASSER AL-ZAYYAT / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Boaz Solossa (Foto: YASSER AL-ZAYYAT / AFP)
ADVERTISEMENT
Satu-satunya penyerang lokal yang bisa berpendar di antara himpitan pemain asing selama hampir satu dekade terakhir adalah Boaz Solossa dengan menjadi topskorer di musim 2008/09 (bersama Gonzales), 2010/11, dan 2012/13.
Kondisi agak berbeda terjadi pada medio 2000-an awal. Taring para penyerang lokal masih begitu kentara. Ambil contoh selama kurun 1999-2004, tiga kali penyerang lokal memuncaki daftar topskorer yakni Bambang Pamungkas (1999/00 bersama Persija Jakarta), dan Ilham Jaya Kesuma (2002/03, 2004/05 bersama Perista Tangerang).
Generasi Bomber Lokal Haus Gol
Kehebatan bomber-bomber lokal tak hanya terpancar pada diri Ilham atau Bambang yang mencuri perhatian publik dengan gelar topskorer mereka. Pada periode 1999-an hingga era milenum, penyerang-penyerang haus gol selalu muncul di dalam setiap generasi.
ADVERTISEMENT
Pada Liga Indonesia (LI) I 1994, nama Peri Sandria menyeruak ke permukaan setelah menjadi pencetak gol terbanyak dengan raihan 34 gol. Sebuah rekor untuk jumlah gol terbanyak dalam satu musim di Indonesia yang terukir selama 23 tahun, sebelum akhirnya dipecahkan oleh Comvalyus pada musim lalu.
Ilham Jaya Kesuma di Piala AFF 2004. (Foto: AFP/Adek Berry)
zoom-in-whitePerbesar
Ilham Jaya Kesuma di Piala AFF 2004. (Foto: AFP/Adek Berry)
Ketika era Peri Sandria habis, muncul Widodo C Putro. Lalu muncul sosok-sosok macam Kurniawan Dwi Yulianto, Bambang, Saktiawan Sinaga, Gendut Doni, Ilham, Budi Sudarsono, hingga Boaz.
Sayangnya, Boaz seolah menjadi generasi terakhir sebagai bomber lokal haus gol. Penyerang-penyerang macam dirinya, Kurniawan, dan Ilham, kemudian menjadi barang langka di sepak bola negeri ini. Kondisi tersebut akhirnya berimbas pada slot penyerang di Timnas Indonesia.
Naturalisasi Jadi 'Candu'
ADVERTISEMENT
Munculnya Gonzales sebagai topskorer dalam empat musim beruntun, membuat Indonesia akhirnya resmi menaturalisasi 'El Loco' pada November 2010 untuk menghadapi Piala AFF 2010.
Indonesia seolah terkena 'candu' naturalisasi usai Gonazales tampil cukup impresif dengan mengemas 3 gol di Piala AFF 2010. Di edisi 2012, Raphael Maitimo menjadi pemain naturaliasasi Indonesia selanjutnya, tapi hanya bisa mencetak satu gol selama kompetisi berlangsung.
Alberto Goncalves alias Beto (tengah) merayakan gol Timnas U-23 ke gawang Laos. (Foto: Carlie/Inasgoc/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Alberto Goncalves alias Beto (tengah) merayakan gol Timnas U-23 ke gawang Laos. (Foto: Carlie/Inasgoc/Antara)
Pada 2013, Stefano Lilipaly menjadi pemain asing selanjutnya yang dinaturalisasi dan menjadi salah satu andalan di Piala AFF 2016 dengan mencetak 2 gol. Teraktual, tentu saja, Beto Goncalves yang resmi menjadi warga Indonesia pada 2018.
Ia langsung menjadi pilihan utama di lini depan skuat 'Garuda' dengan total 7 gol dari 13 pertandingan. Beto juga jadi andalan Timnas Indonesia untuk melakoni Asian Games 2018 dan Piala AFF 2018.
ADVERTISEMENT
Perubahan Regulasi, Angin Segar buat Penyerang Lokal?
Bagaimana tergantungnya klub-klub terhadap penyerang asing terbukti dengan fakta bahwa dari 18 tim Liga 1, hanya tiga tim yang benar-benar bertumpu kepada striker lokal yakni Arema FC, Barito Putera, dan Sriwijaya FC. Sementara, 15 klub sisanya menghamba pada produk impor.
Dari kondisi ini, sempat mencuat wacana dari PT Liga Indonesia Baru (LIB) pada Agustus lalu, untuk mengeluarkan regulasi larangan penggunaan penyerang asing musim depan. Rencana itu bisa menjadi angin segar buat para peyerang lokal jika benar-benar diterapkan.
Tentu saja, kesempatan bermain akan lebih terbuka buat mereka dan ruang untuk memperkaya pengalaman serta mempertajam kualitas di depan gawang lawan semakin lebar.
Meski demikian, pro dan kontra di tataran klub terkait wacana itu masih terus bergulir. Ada yang menyetujuinya karena akan memberikan wadah bagi striker lokal, tetapi ada pula yang menolaknya karena kebijakan itu lebih sebagai jalan pintas.
ADVERTISEMENT