Analisis: Pressing Tinggi yang Jadi Bumerang untuk Arsenal

26 Februari 2018 7:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Laga final Piala Liga Inggris. (Foto: Reuters/Peter Cziborra)
zoom-in-whitePerbesar
Laga final Piala Liga Inggris. (Foto: Reuters/Peter Cziborra)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua manajer datang dengan catatan berbeda ke final Piala Liga Inggris 2018. Manajer Arsenal, Arsene Wenger, datang ke Wembley dengan catatan mentereng. Pria Prancis itu berhasil membawa Arsenal masuk ke final salah satu kompetisi domestik dalam dua musim beruntun dan di kesempatan sebelumnya, dia berhasil membuat anak asuhnya jadi kampiun.
ADVERTISEMENT
Di kubu lainnya, Manajer Manchester City, Pep Guardiola, menjalani laga yang berlangsung Minggu (25/2/2018) malam WIB itu tanpa catatan manis di Inggris. Sebab, partai final Piala Liga itu adalah partai final pertama Guardiola bersama City. Kendati demikian, kedua manajer datang dengan misi sama. Mereka sama-sama ingin membawa timnya jadi juara.
Karena itu, kedua pelatih juga menurunkan susunan pemain dan menggunakan formasi yang mereka rasa merupakan yang terbaik. Arsene Wenger percaya bahwa dengan kembali ke skema tiga bek, mereka bisa meredam City. Maka digunakanlah formasi 3-4-2-1 dengan trio Chalum Chambers, Laurent Koscielny, dan Shkodran Mustafi di lini belakang.
Di kubu City, Guardiola tetap teguh dengan formasi 4-3-3 andalannya. Hanya saja, beberapa perubahan dilakukan dalam susunan pemain kali ini. Yang menarik, ketika dia tak bisa menurunkan Raheem Sterling, manajer asal Spanyol itu malah mendorong Kevin de Bruyne lebih ke depan dan menempatkan David Silva sebagai pengatur serangan di tengah.
ADVERTISEMENT
Yang jadi menarik, kendati kedua manajer sama-sama menurunkan para pemain terbaik dengan formasi terbaik pula, pendekatan yang dilakukan keduanya berbeda. Guardiola memang tetap membuat City tampil dengan gaya dan cara mereka seperti biasanya, tapi Wenger tidak melakukan hal serupa.
Protes yang dilakukan oleh Wenger. (Foto: Reuters/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Protes yang dilakukan oleh Wenger. (Foto: Reuters/Carl Recine)
Sadar bahwa salah satu cara untuk menghentikan City adalah dengan menerapkan pressing tinggi, Wenger langsung menerapkan hal itu. Pemain-pemainnya diinstruksikan untuk menekan langsung para pemain City yang sedang memegang bola, bahkan dari lini belakang sekalipun. Arsenal pun bertahan dengan garis pertahanan yang cukup tinggi.
Situasi ini sebenarnya jarang terlihat dari Arsenal musim ini. Biasanya, jika menghadapi tim yang lebih superior seperti City, Wenger akan menginstruksikan anak asuhnya untuk bertahan lebih dalam dan menunggu serangan-serangan lawan. Namun, dia tahu bahwa ini final dan tak ada alasan untuk tampil seperti itu.
ADVERTISEMENT
Dan apa yang diinstruksikannya kepada Mesut Oezil dan kolega di atas lapangan memang cukup ampuh. City, di babak pertama, begitu kesulitan mengembangkan permainan. Pressing tinggi Arsenal membuat penguasaan bola City agak terganggu. Tengok saja bagaimana pada babak pertama, City cuma berhasil mencatatkan presentase 58% penguasaan bola.
Tak hanya itu, presentase umpan sukses City di babak pertama juga cuma mencapai angka 80%. Sementara para pemain Arsenal berhasil menciptakan 9 intersep, 6 tekel, dan 9 sapuan sepanjang babak pertama. Dan 7 pelanggaran yang mereka lakukan menjadi bukti bahwa keagresivitasan dalam melakukan pressing bisa membuat City kewalahan.
Namun, apakah hal itu lantas membuat Arsenal unggul? Tentu saja tidak. Sebaliknya, di babak pertama mereka tertinggal 0-1 dari City. Lantas ketika pressing sudah berhasil meredam permainan City, apa yang jadi penyebab mereka bisa kecolongan? Jawabannya amat sederhana: pressing tinggi itu sendiri. Bumerang.
ADVERTISEMENT
City berhasil memanfaatkan celah Arsenal yang tak biasa bermain menekan setinggi dan seintens itu. Dan yang jadi aktornya adalah sang kiper, Claudio Bravo. Sadar bahwa garis pertahanan Arsenal begitu tinggi ketika para pemainnya melakukan pressing, Bravo melepaskan tendangan gawang langsung ke depan, ke arah Sergio Aguero.
Aguero vs Koscielny. (Foto: Reuters/Peter Cziborra)
zoom-in-whitePerbesar
Aguero vs Koscielny. (Foto: Reuters/Peter Cziborra)
Hasilnya, Aguero berhasil lolos dari lini terakhir pertahanan Arsenal dan dia tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper Arsenal, David Ospina, sebelum bisa mencetak gol dengan cantik. Di babak pertama, Wenger dicelakakan oleh taktiknya yang sebenarnya cukup efektif untuk meredam City.
Pada babak kedua, kedua tim masih menerapkan pola serupa. Guardiola masih menginstruksikan anak-anak asuhnya untuk menekankan possesion, memanfaatkan ruang, dan berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan peluang yang ada. Sementara Wenger, masih bersikukuh dengan pressing tinggi seperti di babak pertama.
ADVERTISEMENT
Namun, situasi masih serupa dan justru bertambah buruk bagi Wenger. Alih-alih bisa mendapat momentum dengan taktiknya itu, Arsenal justru lebih terlihat kelemahannya. Pressing tinggi yang mereka terapkan kerap membuat jarak antarlini menjadi renggang dan ruang itu mudah dieksploitasi oleh para pemain City, terutama empat pemain terdepan mereka: Aguero, De Bruyne, Silva, dan Leroy Sane.
Hasilnya, ketika pemain gagal merebut bola di pertahanan City dan City berbalik menyerang, Arsenal selalu saja mudah terperangkap bahaya. Ditambah performa lini belakang mereka yang tak bagus pada laga malam tadi, jadilah pemain-pemain depan City makin menjadi-jadi. Dan itu terbayar dengan dua gol yang bersarang ke gawang mereka.
Dua gol yang diciptakan oleh Vincent Kompany dan Silva memang tak semencolok gol dari Aguero, tapi jelas dua gol itu menunjukkan koordinasi lini tengah dan lini belakang Arsenal dalam urusan membendung pertahanan lawan memang begitu buruk. Padahal secara keseluruhan ada 21 tekel, 19 sapuan, dan 13 intersep yang dilakukan pemain belakang dan tengah Arsenal.
Silva merayakan golnya. (Foto: Reuters/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Silva merayakan golnya. (Foto: Reuters/Carl Recine)
Pada akhirnya, pressing tingga yang diterapkan Wenger justru tak berjalan menyenangkan dan malah berbuah petaka untuk timnya. Sebab, selain menimbulkan hal buruk untuk lini belakang, taktik itu juga tak menghasilkan apa-apa untuk lini depan. Arsenal tak berhasil jadi Liverpool yang dengan pressing tinggi, bisa menciptakan empat gol ke gawang City.
ADVERTISEMENT
'Meriam London' gagal melakukan apa-apa. Mereka tidak bisa merebut bola dan melakukan serangan balik yang berbahaya. Serangan-serangan yang dilakukan mereka justru mudah terbaca dan monoton. Boleh dibilang, Arsenal tidak kreatif. Bayangkan saja bagaimana cuma ada 5 percobaan dan 2 umpan kunci yang diciptakan para pemain mereka sepanjang laga.
Di partai final ini, dua manajer datang dengan pendekatan berbeda. Dan hasilnya, Guardiola yang datang tanpa pengalaman dan dengan originalitas permainan timnya yang berhasil menang. Sebaliknya, Wenger yang kaya pengalaman, tapi datang dengan sebuah perjudian itu harus mengakhiri laga dengan kepala tertunduk.