Antara Ibra dan Cantona

28 Februari 2017 13:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cantona, abadi di Manchester United. (Foto: Flickr)
Jose Mourinho beruntung punya seorang Zlatan Ibrahimovic. Harus diakui bahwa musim 2016/17 ini tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi awal para penggemar Manchester United. Dengan kedatangan Mourinho, Eric Bailly, Zlatan Ibrahimovic, Henrikh Mkhitaryan, dan Paul Labile Pogba, United sempat menjadi salah satu tim yang digadang-gadang akan ikut dalam perburuan gelar juara Premier League. Namun, 26 pekan sudah berjalan dan Manchester United masih belum beranjak dari urutan keenam.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, musim United sebenarnya tidak sesuram itu. Memang benar bahwa Eric Bailly kerap dilanda cedera, Mkhitaryan sempat harus ditepikan cukup lama, dan Paul Pogba belum mampu menjustifikasi harga mahalnya. Akan tetapi, semua itu seolah jadi tak kasatmata karena ampuhnya seorang Zlatan Ibrahimovic.
26 gol sudah dilesakkan Ibrahimovic musim ini. Perlu dicatat bahwa pemain satu ini telah berusia 35 tahun. Untuk ukuran pesepak bola, usianya sudah tergolong senja.
Namun Ibra adalah Ibra. Dia memang bukan manusia biasa. Di Swedia, negara asalnya, sebagian orang menganggap bahwa dia adalah titisan dewa.
Mereka mungkin berlebihan, tetapi jika menilik apa yang dilakukan Ibra saat tes medis bersama Manchester United, mungkin klaim itu menjadi sedikit bisa dimengerti. Ketika itu, mantan pemain Juventus ini mampu memecahkan rekor dalam tes kekuatan yang diberikan para petugas medis klub. Di usia yang ketika itu sudah 34 tahun dan dianggap sudah bakal segera habis, hal itu seperti memberi tamparan bagi mereka yang meragukannya.
ADVERTISEMENT
Kini, tamparan itu terasa semakin keras. Pasalnya, hari Minggu (26/2/2017) lalu dia baru saja menjadi penentu kemenangan Manchester United atas Southampton pada final Piala Liga. Gol sundulannya di menit ke-87 mengubur mimpi The Saints yang sebenarnya tampil mengesankan.
Dengan trofi Piala Liga tersebut, Ibra berarti telah mengumpulkan 32 trofi di sepanjang kariernya. Musim ini sendiri, dia telah mempersembahkan dua trofi, jika Community Shield mau dimasukkan ke dalam hitungan. Selain itu, trofi Piala Liga tersebut juga membuat sang manajer, Jose Mourinho, menjadi manajer Manchester United pertama yang meraih trofi mayor di musim perdana.
Tak pelak, perbandingan pun kemudian dilakukan oleh khalayak. Jika dulu Eric Cantona adalah lokomotif kesuksesan Alex Ferguson, apakah Zlatan Ibrahimovic merupakan lokomotif milik Jose Mourinho?
ADVERTISEMENT
Mudah memang untuk menarik benang merah antara dua pemain ini. Akan tetapi, benarkah begitu? Nah, mari kita selisik satu per satu apa saja yang membuat Ibra menjadi Cantona-nya Jose Mourinho dan apa yang tidak.
Siapa Mereka
Eric Cantona
Ada beberapa hal yang dapat dengan mudah nyantol di kepala ketika berbicara mengenai Eric Cantona: gol tendangan cungkilan, kerah yang dinaikkan, dan tentu saja, tendangan kung-fu. Tetapi, Eric Cantona sesungguhnya lebih dari sekadar tiga hal itu. Cantona adalah sosok pesepak bola hebat, pemimpin yang kharismatik, dan filsuf kontroversial.
Sir Alex Ferguson boleh jadi merupakan salah satu manajer sepak bola paling galak di dunia. Tak ada pemainnya yang pernah luput dari amarah Sang Gaffer. Tak ada, kecuali Eric Cantona.
ADVERTISEMENT
Oleh Ferguson, Cantona dibebaskan untuk berbuat semaunya di lapangan karena dia tahu betul bahwa pemain kelahiran 1966 itu pasti bakal menampilkan yang terbaik. Semua yang dilakukan Cantona, itu pasti untuk kebaikan tim. Meski merupakan sosok larger-than-life, Cantona tahu persis bahwa klub yang dia bela tetap lebih besar darinya. Itulah yang membuat Eric Cantona begitu mencintai dan dicintai Manchester United.
Zlatan Ibrahimović, identik dengan kontroversi. (Foto: Reuters)
Zlatan Ibrahimovic
Pemain satu ini memang biangnya kontroversi. Dia memang tidak pernah sampai menendang pendukung tim lawan dan dihukum sembilan bulan, tetapi tingkah polah dan pernyataan-pernyataan Zlatan Ibrahimovic di media membuat dirinya menjadi identik dengan kontroversi itu sendiri.
Selain kontroversi, satu kata lain yang identik dengan Ibra adalah arogansi. Baginya, dia adalah pemain terbaik di dunia, titik. Bukan Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, tetapi Zlatan Ibrahimovic.
ADVERTISEMENT
Berlebihan, memang, tetapi itulah cara Ibra untuk memotivasi dirinya sendiri. Pemain satu ini memang ingin selalu menjadi yang terbaik dan hal itu sebenarnya tidak umum dilakukan oleh orang-orang Swedia. Tak seperti kebanyakan orang Swedia yang tenang, Ibra justru meledak-ledak. Darah Balkan dan Mesir yang deras mengalir di pembuluh darahnya ternyata berpengaruh pula pada perangainya. Bukan hal buruk, memang. Hanya saja, memang tidak biasa.
Namun, semua perkataan dan tingkah laku Ibra ini mampu dibayarnya lunas di lapangan. Semua tim yang dibela Ibra pernah dibawanya meraih trofi dan Manchester United, meski "hanya" di ajang Piala Liga, telah merasakan tuah Ibracadabra.
Situasi Ketika Mereka Berdua Datang
Eric Cantona
Bukan rahasia lagi kalau Eric Cantona bukanlah pilihan utama Sir Alex Ferguson ketika itu, melainkan Dean Saunders dan Matthew Le Tissier. Namun, Fergie beruntung karena di klub sebelumnya, Leeds United, Cantona sedang bermasalah dan memang berencana akan ditendang.
ADVERTISEMENT
Alhasil, ketika manajemen Leeds menghubungi Fergie untuk menanyakan perihal Denis Irwin, Fergie pun berkata, "Maaf, Irwin tidak dijual. Eh, kalau Cantona bagaimana? Dia dijual atau tidak?"
Sisanya adalah sejarah. Cantona datang ke United dan menjadi legenda di sana. Mengenakan kostum nomor "7" yang sebelumnya jadi milik George Best dan Bryan Robson, Cantona menjelma menjadi "faktor X" yang membuat "Setan Merah" kemudian menjadi kekuatan yang menghegemoni Premier League.
Meminjam kata-kata Ferguson sendiri, Cantona adalah "kepingan puzzle terakhir" yang dia butuhkan untuk membangun imperium yang lalim di Premier League. Cantona, dengan segala baik dan buruknya, adalah sosok yang mendefinisikan Manchester United era modern: kuat, berteknik tinggi, berkarakter, dan kontroversial.
Eric Cantona dalam sebuah laga bersama Manchester United di tahun 1996. (Foto: Anton Want/Getty Images)
Zlatan Ibrahimovic
ADVERTISEMENT
Sama seperti Cantona, Zlatan Ibrahimovic datang saat Manchester United sedang mengalami masa sulit. Jika Cantona datang di awal rezim Ferguson, Ibra datang ketika United sedang berusaha bangkit usai ditinggal pensiun oleh Sir Alex.
Cantona datang ke United pada usia emas, 26 tahun. Sementara itu, Ibra datang di usia yang telah menginjak angka 34. Meski didatangkan dengan cuma-cuma, tetap saja banyak yang mencibir kedatangan sang bintang. Ibra terlalu tua, Ibra tidak akan bisa bersaing di Premier League, Ibra begini, Ibra begitu.
Tetapi, bukan Ibra namanya kalau membiarkan orang lain menang. Aura kebintangan, arogansi, dan kemampuannya yang memang mumpuni seringkali menyelamatkan United dari hasil buruk. Tanpa Ibra, United musim ini tidak akan jadi apa-apa. Di musim perdana yang jauh dari kata sempurna bagi United, Ibra telah menjelma menjadi "faktor X" seperti yang dulu dilakukan Cantona.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, setelah menang atas Southampton, Jose Mourinho mengatakan bahwa United masih butuh "dua atau tiga pemain" untuk bisa menjadi juara liga. Ini berarti Ibrahimovic bukanlah "kepingan terakhir" seperti halnya Cantona. Malah, Ibrahimovic boleh dibilang merupakan perintis di Manchester United yang baru; Manchester United yang akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang kejayaan masa lampaunya.
Bagaimana Mereka Menjadi Panutan
Eric Cantona
"Para pemain [Manchester United] menyukai Eric meski terkadang, dia terkesan sulit untuk diajak berinteraksi. Di ruang ganti, Cantona sering terlibat dalam ejek-ejekan yang kami lakukan. Dia bisa menjadi sosok yang diperlukan di mana pun dia diperlukan walau sebenarnya dia lebih suka menyendiri," tulis Andy Cole dalam otobiografinya.
Ada aura misterius dalam diri Cantona yang membuat para pemain muda seperti David Beckham, Gary Neville, dan Ryan Giggs tersihir. Hal itu, ditambah dengan profesionalismenya sebagai pemain, sudah cukup untuk membuat para pemain muda mengidolakan dan secara otomatis ingin menjadi seperti dirinya.
ADVERTISEMENT
Meski sempat memberi contoh negatif tatkala menendang suporter Crystal Palace, bagi para pemain muda itu, Cantona tetaplah Cantona. Le Roi. Sang Raja. Baginya, cara untuk memberi contoh dan memimpin para pemain muda adalah dengan bermain sepak bola sebaik-baiknya. Itulah yang membuat Cantona kemudian tak hanya jadi panutan para pemain, tetapi juga sumber ilmu bagi para pelatih.
Eric Harrison, pelatih yang mengorbitkan Class of '92, pernah berkonsultasi pada Cantona soal apa yang kurang dari para pemain muda Inggris. Cantona ketika itu menjawab, "Cara mengontrol bola."
Detik itu pula, Harrison membenahi kurikulum sepak bolanya.
Ibrahimovic sang titisan Eric Cantona. (Foto: Andrew Yates/Reuters)
Zlatan Ibrahimovic
Ketika Zlatan Ibrahimovic pertama kali datang ke Manchester United, mantan penyerang Manchester City, John Guidetti, buka suara soal bagaimana Ibra bakal jadi contoh fantastis bagi para pemain muda.
ADVERTISEMENT
Guidetti, tentu saja, tak asal bicara. Sama-sama dari Swedia, pemain yang kini memperkuat Celta Vigo tersebut tentu pernah mengalami bagaimana rasanya dimentori Ibra.
Belum lama ini, prospek cerah United, Marcus Rashford, turut angkat bicara. Bagi pemuda 19 tahun itu, akhirnya mengakui betul bahwa apa yang dikatakan Guidetti benar adanya. Rashford mengatakan bahwa cara Ibrahimovic memperlakukan setiap pertandingan dan membawa performa apik dari klub lama ke klub baru menjadi pembeda antara Ibra dengan pemain lain.
Kalau belum puas dengan Guidetti dan Rashford, coba dengar apa yang dikatakan Eric Cantona. Kepada MUTV, King Cantona mengatakan bahwa ada dua jenis pemain tua, yakni mereka yang membenci pemain muda dan mereka yang ingin membantu. Ibra, kata Cantona, adalah pemain tipe kedua, seperti halnya dia dulu ketika masih aktif bermain.
ADVERTISEMENT