Apakah Memang Sebaiknya Manchester United Menyerah Saja?

11 Desember 2017 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pep Guardiola & Jose Mourinho (Foto: Reuters/Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Pep Guardiola & Jose Mourinho (Foto: Reuters/Carl Recine)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tottenham Hotspur sudah menyerah, Chelsea pun telah mengibarkan bendera putih, dan kini, rasanya takkan ada yang menyalahkan Manchester United jika mereka ikut-ikutan menyerah dalam perburuan gelar juara Premier League.
ADVERTISEMENT
Kompetisi Premier League musim ini diawali dengan laju kencang duo Manchester. Sampai pada pekan ketujuh, kedua tim punya poin sama hasil menang enam kali dan bermain imbang sekali. Selisih gol mereka pun sama. Yang membedakan hanya bagaimana City mencetak satu gol lebih banyak dan sampai titik itu, memperkirakan perburuan gelar Premier League musim ini bakal berlangsung ketat sampai akhir jelas masuk akal.
Namun, itu semua berubah ketika Manchester United akhirnya bertemu dengan rival abadi mereka, Liverpool, pada pekan kedelapan liga. Sejak itu, United mulai tersendat.
Cedera yang menimpa Paul Pogba saat bermain di ajang Liga Champions menghadapi Basel dan anjloknya performa pemain-pemain kunci lain seperti Romelu Lukaku dan Henrikh Mkhitaryan membuat United hampir tak pernah lagi tampil meyakinkan. Imbasnya, mereka pun mulai kehilangan poin di sana-sini, sampai akhirnya, pada partai pekan ke-16 di Old Trafford, Minggu (10/12/2017) malam, United dipaksa menyerah 1-2 oleh City.
ADVERTISEMENT
Kekalahan itu punya beberapa arti bagi United. Pertama, itu adalah kekalahan pertama mereka dalam 40 pertandingan di kandang. Kedua, itu adalah kekalahan ketiga mereka dari lima derbi terakhir, dan ketiga, kekalahan tersebut membuat gap poin mereka dengan "Si Tetangga Berisik" itu menjadi 11.
Dengan asumsi kedua tim bakal selalu menang pada tiga laga berikut, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah sebuah tim di puncak klasemen bisa unggul 11 poin atas tim yang ada di peringkat kedua pada akhir paruh pertama musim. 11 poin itu adalah gap poin terbesar yang pernah ada dan apabila Jose Mourinho ingin ikut-ikutan mengibarkan bendera putih, takkan ada yang menyalahkannya.
Masalahnya begini... Premier League, meski disebut sebagai kompetisi paling ketat di dunia, sebenarnya adalah sebuah kompetisi yang mudah ditebak. Buktinya, dari lima musim terakhir, tiga dari lima pemuncak klasemen di akhir paruh pertama selalu menjadi juara. Sementara, dalam dua musim lainnya (2013/14 dan 2015/16), yang menjadi juara paruh musim adalah Arsenal dan jika Arsenal gagal di akhir musim, itu pun sebenarnya sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari.
ADVERTISEMENT
Dari lima termutahir itu, gap terbesar yang ada adalah gap tujuh angka antara United dan City pada musim 2012/13. Pada pertengahan musim, United dengan 46 poinnya unggul tujuh angka atas City. Lalu, di akhir musim, "Iblis Merah" pun sukses mengamankan keunggulan 11 poin atas rival sekotanya itu. Dalam sejarah Premier League, keunggulan 11 poin di akhir musim itu adalah gap terbesar ketiga.
Nah, bicara soal gap terbesar antara juara dan runner-up, Manchester United pernah unggul 18 poin atas tim yang kemudian menjadi runner-up. Itu terjadi pada musim 1999/2000 ketika United mengungguli Arsenal. Di situ pun, ketika paruh musim tiba, gap poin yang dimiliki kedua tim bahkan tidak sampai sepuluh. Sampai pekan ke-19 musim tersebut, United punya 43 poin, Arsenal punya 37 poin. Gapnya hanya tujuh poin.
ADVERTISEMENT
Kemudian, untuk gap terbesar kedua, ada Chelsea pada musim 2004/05 yang unggul 12 poin atas Arsenal dan lagi-lagi, pada pertengahan musim, jarak antara kedua tim pun tidak besar; hanya lima poin. Bahkan, tim Invincible Arsenal yang tak terkalahkan di musim 2003/04 saja hanya unggul tiga poin atas Chelsea pada pertengahan musim sebelum melebarkan gap menjadi 11 poin di akhir musim.
"Invincible" Arsenal 2003/04. (Foto: AFP/Odd Andersen)
zoom-in-whitePerbesar
"Invincible" Arsenal 2003/04. (Foto: AFP/Odd Andersen)
Artinya, dari catatan-catatan sejarah ini, Manchester City jelas diuntungkan. Mereka sampai sekarang sudah punya 46 poin. Dengan asumsi bahwa mereka bakal bisa mengalahkan Swansea City, Tottenhan Hotspur, dan Bournemouth, maka mereka bakal memiliki 55 poin persis pada pertengahan musim. Dalam sejarah pun belum ada tim yang mampu melakukan hal ini.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dengan keunggulan seperti ini pun Pep Guardiola masih belum mau jemawa. Pertimbangan Guardiola cuma satu, yakni bahwa kini, musim baru sampai Desember.
"Kalau kami unggul 11 poin pada bulan April, maka saya bakal berani bilang kami sudah juara," ucap Guardiola pada konferensi pers pascalaga.
Ucapan Pep ini jelas tidak salah. Biar bagaimana juga, musim masih sangat panjang dan apa pun bisa terjadi. Selain itu, Pep pun pasti bakal belajar dari pengalaman Newcastle United pada musim 1995/96.
Situasinya, percaya atau tidak, agak mirip dengan situasi pada musim ini. Ketika itu, Newcastle United memulai musim dengan optimisme tinggi setelah mendatangkan pemain-pemain bintang dalam diri Les Ferdinand, David Ginola, Warren Barton, dan Shaka Hislop. Ini belum termasuk bagaimana kemudian Faustino Asprilla dan David Batty bergabung pada pertengahan musim.
ADVERTISEMENT
Asprilla membela Newcastle pada 1995/96. (Foto: Dok. Premier League)
zoom-in-whitePerbesar
Asprilla membela Newcastle pada 1995/96. (Foto: Dok. Premier League)
Kala itu, Newcastle dilatih oleh Kevin Keegan dan meski tidak sedigdaya City musim ini, mereka mampu mengemas 14 kemenangan, tiga hasil imbang, plus dua kekalahan. Mereka pun berhasil menjaga jarak dengan tim peringkat kedua dengan gap sepuluh poin.
Namun, masuknya Asprilla dan Batty pada paruh musim kedua itu bukannya membuat Newcastle makin perkasa. Sampai awal Februari 1996, mereka sempat unggul hingga 12 poin atas tim peringkat kedua. Namun, dari 21 Februari sampai 8 April mereka kemudian justru mengalami krisis. Delapan pertandingan dilalui Newcastle ketika itu dan dari sana, mereka menelan lima kekalahan. Di saat yang bersamaan, tim peringkat kedua itu tampil tak terkalahkan di mana mereka menggamit tujuh kemenangan dan satu hasil imbang.
ADVERTISEMENT
Sampai pada titik itu, tim peringkat kedua itu sudah berhasil menyalip Newcastle dan pada akhir musim, tim peringkat dua itulah yang akhirnya justru menjadi jawara. Nama tim peringkat kedua itu adalah Manchester United.
Dengan begini, sebenarnya sejarah tidak cuma menguntungkan City, tetapi juga United. Masalahnya, mereka adalah satu-satunya tim yang pernah membalikkan ketertinggalan 12 poin itu menjadi keunggulan empat poin pada akhir musim. Namun, City-nya Pep kali ini tentu bukan Newcastle-nya Keegan dan kemungkinan The Citizens untuk terpeleset hingga akhirnya terbalap lebih kecil dibandingkan Newcastle yang itu.
Artinya, Guardiola masih harus berhati-hati dan di sisi lain, Mourinho pun tidak selayaknya melempar handuk putih begitu saja. Ya, memang situasinya saat ini terlihat sangat tidak memungkinkan bagi United, tetapi jika sejarah bisa dijadikan patokan, semua benar-benar masih bisa terjadi.
ADVERTISEMENT