Apalah Arti Sebuah Nomor Punggung?

9 Januari 2018 17:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Johan Cruyff bersama Timnas Belanda. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Johan Cruyff bersama Timnas Belanda. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
"Apalah arti sebuah nama? Jika bunga mawar tak bernama bunga mawar, toh, ia akan tetap harum."
ADVERTISEMENT
Kisah cinta antara Romeo Montague dan Juliet Capulet tidak seharusnya dirayakan secara berlebihan. Maksudnya, tidak semestinya ada pasangan yang ingin menjadi seperti Romeo dan Juliet karena di sana, akhir bahagia itu tak pernah datang. Cinta mereka memang sehidup semati, tetapi yang jadi masalah adalah bagaimana kematian itu datang bagi mereka.
Tetapi, hei, bukan berarti sama sekali tak ada satu hal pun yang bisa dicontoh dari Romeo dan Juliet. Terlepas dari bagaimana pun akhir ceritanya, keinginan keduanya untuk menjalin cinta itu lebih kuat dari apa pun, termasuk nama keluarga mereka. Bagi Juliet, apalah arti nama Montague? Toh, itu tak membuat Romeo jadi sosok yang menjijikkan baginya. Toh, bagi Juliet, Romeo tetap harum meski menyandang nama keluarganya itu.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam sepak bola, logika Juliet itu sama sekali tak bisa dibenarkan dan di sini, kita tak bicara soal nama, melainkan nomor punggung. Di sepak bola, mempertanyakan arti sebuah nomor berarti melanggar sebuah kesakralan.
Dalam praktiknya, kesakralan ini memang tak berlaku di semua tempat. Di Internazionale, misalnya, pernah ada penyerang dengan nomor punggung tiga. Kemudian, di Liverpool pernah ada penyerang bernomor punggung lima. Di Chievo, dulu ada kiper yang mengenakan kostum bernomor sepuluh. Lalu di Chelsea, seorang bek pernah dengan lancangnya mengambil kostum nomor sembilan.
Apa yang mereka lakukan itu memang sebenarnya tak melanggar aturan. Namun, ada norma tak tertulis di sini yang mereka langgar dan hal ini bisa dilacak dari bagaimana sistem penomoran pemain ini sebenarnya berawal.
ADVERTISEMENT
Semua berawal dengan sederhana. Ada sebelas pemain di dalam tim sepak bola dan kiper, sebagai pemain yang letaknya paling belakang, mengenakan kostum nomor satu. Ini kemudian berlanjut sampai ke depan hingga akhirnya, nomor-nomor besar digunakan oleh para pemain depan.
Dalam formasi 2-3-5, dua full-back (dulu bek tengah disebut full-back, red) mengenakan kostum nomor dua dan tiga. Kemudian, centre-half (cikal bakal bek tengah, red) mengenakan kostum nomor lima. Centre-half tersebut diapit dua wing-half (right-half dan left-half) yang mengenakan kostum nomor empat dan enam. Lalu, di depan, kanan luar memakai seragam nomor tujuh, kiri luar nomor sebelas, kanan dalam nomor delapan, kiri dalam nomor sepuluh, dan penyerang tengah memakai kaus bernomor sembilan.
ADVERTISEMENT
Aturan itu kemudian berganti seiring dengan perubahan tren formasi. Ketika formasi 4-4-2 muncul dan jadi populer, bek sayap menggunakan kostum nomor dua dan tiga, bek tengah nomor empat dan lima, gelandang kanan nomor tujuh, gelandang kiri nomor sebelas, gelandang tengah nomor enam dan delapan, kemudian dua penyerang memakai kostum nomor sembilan dan sepuluh.
Meski mengalami perubahan, satu hal yang tak pernah berganti adalah kebiasaan untuk memberi kostum nomor 10 bagi para pemain terbaik. Hal ini sudah bisa dilacak sejak era Giuseppe "Pepino" Meazza yang kemudian berlanjut pada era Edson Arantes do Nascimento, Gianni Rivera, Diego Armando Maradona, sampai Lionel Andres Messi. Para pemain ini beroperasi di lini depan tetapi tak berperan sebagai eksekutor semata. Lebih dari itu, mereka juga bertindak sebagai kreator.
ADVERTISEMENT
Sistem penomoran ini, pada akhirnya, berevolusi. Ada suatu masa di mana pemain diberi nomor sesuai urutan abjad. Inilah yang kemudian menyebabkan seorang kiper (Jan Jongbloed di Timnas Belanda) bisa mengenakan kostum nomor delapan dan seorang gelandang (Osvaldo "Ossie" Ardiles di Timnas Argentina) bisa memakai kostum nomor punggung satu.
Jongbloed dengan kostum nomor 8. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jongbloed dengan kostum nomor 8. (Foto: AFP)
Kini, sistem penomoran yang saklek seperti itu memang sudah tak berlaku lagi, meski di La Liga, misalnya, sebuah tim hanya boleh mendaftarkan pemain tim utama dengan nomor punggung 1-25. Walau dibatasi seperti itu, sebenarnya siapa pun bisa mengenakan kostum bernomor berapa pun, seperti Emmanuel Adebayor yang mengenakan kostum nomor enam atau Zinedine Zidane dengan kostum nomor lima di Real Madrid.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik itu semua, ada tradisi yang tertinggal dan itu adalah penomoran untuk pemain-pemain tertentu. Di Manchester United, misalnya, ada tradisi pemberian nomor punggung tujuh untuk pemain-pemain yang (sekiranya) bakal menjadi ikon klub. George Best, Eric Cantona, David Beckham, dan Cristiano Ronaldo contohnya.
Lalu, ada pula nomor-nomor yang saking sakralnya jadi tak boleh digunakan kembali. Di olahraga basket, hal seperti ini sangatlah lumrah mengingat di sana, kostum bernomor berapa pun tidak akan dianggap tabu.
Namun, di sepak bola hal ini jadi lebih sulit dan itulah mengapa, hal ini cuma terjadi di kompetisi-kompetisi yang pemilihan nomornya lebih fleksibel seperti Serie A. Itulah mengapa, di Milan sampai ada dua nomor yang dipensiunkan, yakni kostum nomor enam milik Franco Baresi dan kostum nomor tiga milik Paolo Maldini.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, ada pula nomor yang melekat pada individu-individu tertentu dan di sepak bola, ini pun sudah jadi praktik lazim. Untuk pemberian nomor punggung yang ini, biasanya yang menjadi pertimbangan adalah preferensi pribadi si pemain, entah apa pun bentuknya. Bisa jadi, karena si pemain menyukai nomor tertentu (seperti Emiliano Viviano, kiper yang selalu menggunakan kostum nomor dua) maka dia diberikan nomor tertentu. Atau, bisa juga karena ini sudah menjadi merek dagang pemain tertentu, seperti Cristiano Ronaldo dan nomor tujuhnya.
Kostum Maldini tak boleh dipakai lagi. (Foto: AFP/Paco Serinelli)
zoom-in-whitePerbesar
Kostum Maldini tak boleh dipakai lagi. (Foto: AFP/Paco Serinelli)
Terakhir, ada pula nomor sebenarnya tidak punya tradisi apa-apa tetapi menjadi sakral karena digunakan oleh sosok sakral. Kostum nomor 14 milik Johan Cruyff, misalnya.
Sebenarnya, Cruyff sendiri tidak selalu menggunakan kostum ini. Di Ajax dan Timnas Belanda, memang kostum ini begitu identik dengan dirinya sampai-sampai, ketika semua pemain mengenakan kostum sesuai urutan abjad, hanya Cruyff seoranglah yang dibolehkan menggunakan kostum favoritnya. Namun, di Barcelona, di mana pengaruhnya begitu terasa sampai sekarang, justru dia tidak mengenakan kostum nomor 14 itu, melainkan sembilan.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, Cruyff sendiri sebenarnya kesal ketika dirinya mengetahui Ajax memensiunkan nomornya. Bagi Cruyff, dengan dipensiunkannya nomor itu, pemain terbaik Ajax berikutnya jadi tak bisa lagi mendapat kehormatan yang sama. Ini pulalah alasan di balik keengganan Juventus memensiunkan kostum nomor sepuluh milik Alessandro Del Piero.
Dari sini, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya, ada banyak sekali alasan mengapa sebuah nomor punggung bisa menjadi sakral. Dalam sepak bola, hal-hal seperti ini memang merupakan perkara serius karena kegagalan mengharumkan nomor tertentu berarti sebuah penghinaan terhadap sejarah dan tradisi.
Kini, beban berat itu tengah ditanggung oleh Philippe Coutinho karena banyak rumor yang beredar bahwa dia akan diberi kostum nomor 14 kesayangan Cruyff. Akan tetapi, Coutinho sebenarnya tak perlu menjadikan itu sebagai beban karena selain Cruyff tak pernah mengenakan kostum itu di Blaugrana, pemain asal Brasil ini tentunya punya kemampuan lebih dari cukup untuk menulis catatan sejarahnya sendiri.
ADVERTISEMENT