Bayern Muenchen for Dummies: Sebuah Gambaran Besar

19 Februari 2019 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Leon Goretzka, Kingsley Coman, dan David Alaba merayakan kemenangan Bayern atas Augsburg. Foto: Reuters/Andreas Gebert
zoom-in-whitePerbesar
Leon Goretzka, Kingsley Coman, dan David Alaba merayakan kemenangan Bayern atas Augsburg. Foto: Reuters/Andreas Gebert
ADVERTISEMENT
Seperti halnya hidup, ketidakadilan juga marak di sepak bola. Sekira delapan tahun silam muncul sebuah protes besar-besaran bertajuk 'Occupy Wall Street' yang pada akhirnya memang tidak jelas juntrungannya tetapi tetap saja menyita perhatian. Dari sana istilah 'One Percenter' menjadi populer.
ADVERTISEMENT
Istilah 'One Percenter' itu disematkan oleh para demonstran Occupy Wall Street tadi kepada orang-orang super kaya yang menguasai 99 persen duit di muka bumi. Kenapa disebut 'One Percenter', ya, karena jumlah para penguasa sumber daya itu sedikit sekali. Jika dibandingkan dengan total populasi manusia, persentasenya cuma—you guessed it—satu persen.
Sepak bola, khususnya sepak bola Eropa, juga punya 'One Percenter'. Mudahnya, untuk membedakan siapa yang 'One Percenter' dan siapa yang bukan, tengok saja apakah di seragam mereka ada emblem bergambar trofi Liga Champions atau tidak. Jika ada, maka mereka adalah 'One Percenter', jika tidak, ya, bukan.
Badge of honour adalah sebutan bagi emblem spesial itu dan sampai saat ini cuma enam klub yang memilikinya. Minimnya jumlah klub yang punya emblem itu di jersinya adalah karena UEFA selaku pemilik gelaran Liga Champions menerapkan aturan ketat.
ADVERTISEMENT
Hanya klub yang sudah pernah menjuarai Liga Champions lima kali atau lebihlah yang bisa memilikinya. Hanya Ajax tim yang belum pernah jadi juara lima kali tetapi bisa mengenakan emblem tersebut karena pada dekade 1970-an dulu mereka pernah menjadi juara tiga kali beruntun. Selebihnya, aturan itulah yang berlaku dan itulah mengapa Barcelona baru bisa mendapat emblem itu pada 2015.
Selain Ajax dan Barcelona, ada empat klub lain yang merupakan anggota 'One Percenter' sepak bola Eropa tersebut: Real Madrid (13 gelar), Milan (7), Bayern Muenchen (5), dan Liverpool (5). Dua klub yang disebut belakangan akan bentrok dalam laga 16 besar leg pertama di Anfield, Rabu (20/2/2019) dini hari WIB.
Jadwal Liga Champions dan Liga Europa pekan ini. Foto: Basith Subastian/kumparan
Ya, Liverpool akan menjamu Bayern Muenchen. Karena di fase grup lalu Liverpool 'cuma' menjadi runner-up, maka mereka diberi jatah untuk jadi tuan rumah terlebih dahulu. Pelatih Bayern, Niko Kovac, dalam konferensi pers prapertandingan menyebutkan bahwa Liverpool adalah lawan tersulit yang bisa dihadapi setiap tim di fase gugur Liga Champions kali ini.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Bayern adalah Bayern, sebuah klub yang sama sekali tak bisa diremehkan di kancah antarklub Eropa. Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi Bayern saat ini. Di awal-awal musim mereka sempat kesulitan, tetapi saat ini Die Roten—si Merah—sudah kembali menakutkan seperti sediakala. Apa yang berubah dan apakah dengan begitu mereka sudah pantas untuk diunggulkan kembali di laga melawan Liverpool nanti?
So?
So... Bayern Muenchen. Apa yang kalian ingin tanyakan soal klub ini?
Hmm, bagaimana kalau semuanya?
Oke, tapi kalian mau mulai dari mana?
Well, situasi mereka. Kau bilang mereka sempat kesulitan, tetapi sekarang sudah kembali mengerikan. Ya, tolong jelaskan itu dulu.
Baiklah. Jadi, Bayern Muenchen musim ini punya pelatih baru. Namanya Niko Kovac. Dia adalah orang Kroasia yang pernah membela Bayern ketika masih bermain dulu. Dari 2001 sampai 2003, Kovac yang sekarang berumur 47 tahun itu pernah bermain untuk Bayern. Dibilang sukses, ya, enggak terlalu. Dibilang gagal juga enggak bisa. Pokoknya waktu itu dia main 51 kali dan bawa Bayern meraih tiga gelar.
ADVERTISEMENT
Nah, itu sebagai pemain. Sebagai pelatih, ceritanya agak lain. Jadi, si Niko ini sebenarnya bukan pilihan utama Bayern. Musim lalu, setelah memecat Carlo Ancelotti, Bayern merengek minta dilatih lagi oleh pelatih legendarisnya, Jupp Heynckes. Buat ukuran caretaker, Heynckes berhasil. Dia sanggup membawa Bayern jadi juara liga. Tapi, Heynckes sudah terlalu tua dan dia pun memilih buat menolak tawaran Bayern jadi pelatih tetap.
Terus? Siapa yang semestinya jadi suksesor Heynckes?
Aslinya, sih, Thomas Tuchel. Tapi, mantan pelatih Borussia Dortmund itu lebih memilih gabung ke Paris Saint-Germain. Bayern pun agak-agak kebingungan sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan ke Kovac.
Sebentar, sebentar. Memangnya apa yang bikin Bayern akhirnya pilih Kovac?
Ini pertanyaan yang bodoh.
Jupp Heynckes, pelatih Bayern Muenchen. Foto: REUTERS/Murad Sezer
ADVERTISEMENT
Whoa, apa maksudmu?
Lho, ya, sudah jelas, dong. Kovac ini pelatih berprestasi. Buktinya, di pertandingan final DFB Pokal musim lalu...
DFB Pokal?
Kalian punya paketan internet enggak, sih? Googling, lah.
'Kan ada kamu, ngapain googling?
Hadeh... Repot betul urusan sama millennial. Pampered generation. Oke, oke, oke. DFB Pokal itu Piala Jerman. DFB itu asosiasi sepak bola Jerman. Pokal itu piala. Jadi, Piala DFB alias Piala Jerman. Sampai di sini bisa dimengerti?
Sir, yes, sir!
Nah, di DFB Pokal itu Kovac berhasil bawa timnya, Eintracht Frankfurt, menang 3-1 lawan Bayern. Tapi, bukan itu yang bikin Kovac ditunjuk...
Lho?
Ya, begitu. Kovac sudah ditunjuk bahkan sebelum dia berhasil mengalahkan Bayern. Kemenangan di DFB Pokal itu jadi penegas saja bahwa, untuk saat itu, Kovac berpotensi jadi pilihan tepat buat Bayern Muenchen. Sayangnya, di awal-awal musim ini Kovac sempat nyaris gagal menjawab ekspektasi yang dibebankan di pundaknya.
ADVERTISEMENT
Nah, Kovac sebenarnya berhasil mengantarkan Bayern menang di tujuh pertandingan kompetitif pertamanya. Ini termasuk bagaimana dia membawa Manuel Neuer cs. menang 5-0 lawan Eintracht di Piala Super Jerman. Tapi, setelah pertandingan kompetitif ketujuh, Bayern sempat terperosok.
Itu kenapa, tuh?
Well, penjelasan yang jamak ditemukan di berita-berita seputar Bayern adalah bahwa saat itu Kovac belum berhasil mengontrol ruang ganti tim. Sky Sports bilang bahwa Kovac dan tim pelatih yang dia bawa—termasuk adiknya, Robert—semacam jadi kelompok sendiri karena mereka lebih pilih ngomong bahasa Kroasia di antara mereka. Padahal, Bayern ini 'kan tim yang Jerman banget, nih. Aslinya di sana ada kewajiban buat berkomunikasi dengan bahasa Jerman, tapi Kovac malah mbalelo.
Sudah begitu, di masa-masa awal itu kebijakan rotasi yang dia lakukan membuat sejumlah pemain merasa kesal. Kalian tahu James Rodriguez, 'kan?
ADVERTISEMENT
James Rodriguez sempat bermasalah dengan Niko Kovac di awal musim 2018/19. Foto: Reuters/Hannibal Hanschke
Yang ganteng itu?
He em...
Ya, tahu, lah.
Oke, jadi si James itu, waktu rentetan kemenangan Bayern masih berjalan, sanggup bikin dua gol di dua pertandingan Bundesliga secara beruntun. Tapi, setelah itu dia malah dicadangkan sama Kovac. Marahlah dia dan konon, pria Kolombia itu sampai bilang begini: "Ini bukan Frankfurt!"
Entah benar atau enggak kabar itu, yang jelas semua media mengabarkan bahwa ada ketidaknyamanan yang dirasakan pemain-pemain Bayern. Kebijakan rotasi Kovac itu membikin suasana ruang ganti jadi kurang kondusif. Akhirnya, Bayern pun gagal menang di empat pertandingan berikutnya. Tapi...
Tapi apa?
Tapi, menurut Lothar Matthaeus, Kovac enggak sepenuhnya salah waktu itu. Oke, aku tahu kalian pasti mau tanya soal siapa itu Matthaeus dan sebelum kalian tanya, kusebutkan dulu. Matthaeus itu legenda Bayern Muenchen, legenda Inter Milan, legenda Timnas Jerman.
ADVERTISEMENT
Nah, gitu, dong. 'Kan enak.
Yhaaa. Jadi, lanjut?
Ho oh.
Oke. Menurut Matthaeus, apa yang terjadi di Bayern waktu itu sebenarnya salahnya manajemen klub. Pemain-pemain Bayern sekarang ini sudah lumayan tua. Rata-rata umur pemain mereka di atas 28 tahun. Sebagai perbandingan, usia rata-rata pemain Dortmund cuma sedikit di atas 25 tahun. Jadi, Bayern punya skuat yang mulai menua dan di awal musim Kovac masih coba-coba. Dia berusaha mencari tahu pemain-pemain mana saja yang sebenarnya masih punya taji dan akhirnya dia berhasil.
Memangnya siapa saja pemain-pemain itu?
Ha, pada dasarnya, sih, semuanya. Franck Ribery, misalnya, yang sudah 35 tahun, berhasil jadi penentu kemenangan Bayern di pertandingan melawan RB Leipzig. Perlu dicatat, Leipzig ini klub yang umur rata-rata pemainnya sangat muda: cuma 24 sekian tahun.
ADVERTISEMENT
Franck Ribery masih bisa diandalkan Bayern meski sudah gaek. Foto: Reuters/Michaela Rehle
Jadi usaha Kovac tadi sia-sia?
Lho, ya, jelas tidak. Justru dari situ dia tahu bahwa sebenarnya dia bisa mengandalkan semua pemain. Mau pemain baru, ataupun pemain lawan. Pemain tua, maupun muda.
Hmm, menarik. Terus, sebenarnya gaya main Kovac ini seperti apa, sih?
Nah, ini baru pertanyaan bagus. Gitu, dong. Well, secara spesifik Kovac sebenarnya tidak punya patokan yang pasti. Dia lebih suka menyusun tim sesuai dengan lawan yang dihadapi. Tapi, ada dua hal yang jelas. Pertama, Kovac tidak lagi menggunakan pakem tiga bek seperti waktu di Eintracht. Kedua, Bayern besutan Kovac ini doyan betul menyerang dari sayap.
Bukti terbarunya bisa dilihat waktu mereka menang lawan Augsburg akhir pekan kemarin. Bayern sempat dua kali tertinggal di pertandingan itu sebelum akhirnya mengunci kemenangan 3-2. Semua gol mereka dicetak oleh pemain sayap. Dua dari sumbangsih Kingsley Coman, satu lagi dari David Alaba yang dapat umpan matang Coman.
ADVERTISEMENT
Berarti Bayern sekarang sudah normal kembali, ya?
Betul sekali dan kebangkitan Bayern ini bisa dilacak sampai akhir November tahun lalu. Kovac sebenarnya beruntung di sini karena dia mendapat proteksi dari para petinggi Bayern. Uli Hoeness, Karl-Heinz Rummenigge, semua bilang bahwa Kovac bakal diberi waktu. Hasilnya, Kovac sukses mengembalikan Bayern Muenchen ke jalur perebutan gelar.
Sejak menang 5-1 lawan Benfica di Liga Champions, November tahun kemarin, Bayern sudah main 12 kali. Dari sana, mereka menang 10 kali dan cuma sekali kalah. Satu hasil imbang lain mereka dapat waktu bermain menghadapi Ajax, tetapi hasil imbang itu sudah cukup membawa mereka jadi juara grup.
Sekarang, di Bundesliga, Bayern sudah duduk di urutan kedua. Jarak mereka dengan Dortmund yang ada di puncak klasemen sekarang tinggal tiga angka. Di DFB Pokal, mereka juga masih bertahan setelah menang 3-2 lawan Hertha BSC. Sekarang, tinggal di Liga Champions. Kalau mereka berhasil melewati Liverpool, artinya Kovac memang sosok yang pas.
ADVERTISEMENT
Niko Kovac memimpin sesi latihan Bayern Muenchen jelang laga kontra Liverpool. Foto: Reuters/Lee Smith
Kira-kira Bayern bisa enggak menang lawan Liverpool?
Kalau pertanyaannya bisa atau enggak, ya, jawabannya pasti bisa walaupun enggak gampang. Liverpool musim ini selalu menang kalau main di Anfield dan lawan yang mereka kalahkan pun enggak sembarangan: ada PSG sama Napoli di daftar korban The Reds. Apalagi, Arjen Robben, Corentin Tolisso, sama Thomas Mueller sudah pasti absen memperkuat Bayern.
Tapi, Bayern kemungkinan besar bakal diperkuat Coman yang sebelumnya sempat cedera ringan. Kalaupun Coman enggak jadi starter, masih ada Ribery. Pemain-pemain inti Bayern lainnya juga sudah siap. Jadi, selain perkara absennya tiga pemain tadi, Bayern sebenarnya dalam kondisi terbaik.
Eh, tapi bukannya lawan Augsburg kemarin mereka tertinggal dua kali?
Ya, benar. Tapi, setelah pertandingan itu Neuer, si kapten tim, sudah mengingatkan kawan-kawannya untuk bertahan lebih baik lagi. Jadi, kupikir Bayern bakal sadar bahwa Liverpool jelas akan lebih mengancam ketimbang Augsburg dan mereka dengan sendirinya akan bermain lebih disiplin. Kans Bayern Muenchen buat menang sama sekali enggak tertutup, kok.
ADVERTISEMENT
Hmm, oke.
Oke, ada lagi yang mau ditanyakan? Kalau enggak, aku harus pergi sekarang.
Ke mana?
Itu bukan urusanmu.
Well, kalau begitu enggak, deh. Terima kasih banyak, bung.
Sama-sama. Kutunggu transferannya.