Berburu Kapital Lewat Liga Super Eropa

7 November 2018 17:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang suporter dengan syal Inter vs Barcelona di Giuseppe Meazza. (Foto: Reuters/Daniele Mascolo)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang suporter dengan syal Inter vs Barcelona di Giuseppe Meazza. (Foto: Reuters/Daniele Mascolo)
ADVERTISEMENT
Februari 2003, harian olahraga Italia, La Gazzetta dello Sport, merilis sebuah berita menghebohkan. Ketika itu, mereka menyebutkan bahwa G-14 tengah berencana untuk membentuk sebuah Liga Super Eropa mulai musim 2006/07. Lima belas tahun sejak artikel tersebut dirilis dan kabar pembentukan Liga Super di Eropa ini kembali menyeruak.
ADVERTISEMENT
Bagi para pembaca yang belum cukup tua untuk mengingat apa itu G-14, mereka adalah gerombolan klub-klub elite Eropa yang selalu berupaya untuk mengeruk keuntungan semaksimal mungkin. Sejak dibentuk pada 2000, mereka selalu memposisikan diri sebagai oposisi, baik bagi UEFA maupun FIFA, terutama jika pembicaraan sudah menyangkut uang.
Pada 2003 itu, terjadi perubahan format Liga Champions. Sebelumnya, di turnamen antarklub paling prestisius di muka bumi itu, ada dua fase grup yang digelar sebelum babak gugur dimulai. Per 2003, UEFA menghapuskan fase grup kedua yang menyebabkan jumlah pertandingan --dan pendapatan-- klub-klub tadi berkurang empat.
Itulah yang diklaim GdS sebagai pemicu dari munculnya wacana pembentukan Liga Super tersebut. Musim 2006/07 dipilih karena pada musim itulah perjanjian hak siar televisi Liga Champions yang ada saat itu akan habis. Rencananya, ketika itu, Liga Super akan dibentuk dalam dua divisi. Klub-klub dari liga top Eropa akan bermain di Divisi Satu, sementara sisanya akan ditempatkan di Divisi Dua.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, wakil presiden G-14 yang juga chairman Ajax, Michael van Praag, sudah membantah klaim dari GdS tadi. Akhirnya, rencana yang diembuskan oleh GdS itu pun hanya menjadi pepesan kosong belaka karena tidak pernah terwujud.
Namun, rencana yang gagal itu rupanya tidak pernah menyurutkan niat klub-klub elite Eropa untuk terus menggemukkan pundi-pundi uangnya. G-14 kini sudah tiada. Pada 2008 lalu, mereka resmi bubar, tetapi mereka tidak pernah betul-betul lenyap. Alih-alih begitu, G-14 kini mewujud dalam diri European Club Association (ECA).
ECA, pada prinsipnya, memang jauh lebih inklusif ketimbang G-14. Dulu, G-14 cuma beranggotakan 18 klub dan ekspansi jumlah anggota dilakukan dengan undangan. Dengan kata lain, itu adalah cara bagi klub-klub elite Eropa untuk melindungi kepentingannya sendiri.
ADVERTISEMENT
ECA, sementara itu, kini beranggotakan lebih dari 100 klub dan semua anggota UEFA yang beranggotakan 53 negara itu memiliki setidaknya satu wakil. Akan tetapi, poros kekuatan di sana tidak pernah berubah. Sejak ECA dibentuk pada 2008, tampuk kepemimpinan selalu berada di tangan pejabat teras klub-klub elite Eropa tadi.
Antara 2008 sampai 2016, Karl-Heinz Rummenigge yang merupakan CEO Bayern Muenchen itu, menjadi presiden ECA. Setelah Rummenigge lengser, posisinya digantikan oleh presiden Juventus, Andrea Agnelli. Ini adalah bukti pertama bahwa G-14 tidak pernah mati, cuma bersalin rupa. Lagipula, 'kematian' G-14 dulu cuma terjadi karena adanya kompromi dengan Sepp Blatter.
Bukti lain dari belum matinya G-14 adalah bagaimana di dalam ECA, ada sebuah grup kecil yang pada dasarnya memiliki tujuan sama dengan G-14. Di sana, mereka yang berstatus sebagai klub elite masih berusaha untuk melindungi kepentingannya sendiri. Itulah yang kemudian mengerucut pada munculnya wacana Liga Super edisi terbaru.
ADVERTISEMENT
Keluarnya wacana Liga Super ini ke permukaan merupakan satu dari dua kabar mencengangkan terbaru yang diwartakan oleh Der Spiegel. Satu kabar lainnya adalah bagaimana Manchester City dan Paris Saint-Germain mengakali Financial Fair Play dengan bantuan mantan sekretaris jenderal UEFA, Gianni Infantino.
Pada dasarnya, wacana Liga Super edisi 2018 ini tidak jauh berbeda, dari segi motivasi, dengan wacana Liga Super edisi 2003. Pangkalnya adalah ketidakpuasan dari segi finansial yang berujung pada ketakutan akan semakin kuatnya klub-klub Premier League. Liga Champions yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan klub-klub elite tadi.
Final Liga Champions 2017/18. (Foto: Reuters/Valentyn Ogirenko)
zoom-in-whitePerbesar
Final Liga Champions 2017/18. (Foto: Reuters/Valentyn Ogirenko)
UEFA sendiri bukannya sama sekali alpa dengan keresahan klub-klub elite tadi. Buktinya, mulai musim ini sampai 2021 mendatang, Liga Champions punya mekanisme anyar dalam distribusi uang hadiah kompetisi. Duit sebanyak 585 juta euro disiapkan UEFA untuk dibagikan kepada 32 klub peserta berdasarkan peringkat koefisien UEFA mereka.
ADVERTISEMENT
Mekanisme distribusi itu sebenarnya sudah bisa disebut sebagai bentuk kompromi dari UEFA. Pasalnya, pembagian uang berdasarkan koefisien itu sebenarnya merupakan cara halus untuk mengatakan bahwa Real Madrid layak mendapatkan uang jauh lebih besar ketimbang, katakanlah, Club Brugge. Dengan kata lain, klub elite patut mendapat uang lebih dibanding klub gurem.
Nyatanya, klub-klub elite itu tetap belum puas. Menurut lansiran Der Spiegel, rencana pembentukan Liga Super ini sebetulnya sudah dimulai pada 2016. Akan tetapi, terhitung sampai 22 Oktober 2018 lalu, pembicaraan mengenai realisasi rencana ini masih berjalan, bahkan sudah memasuki tahap akhir.
***
Semuanya bermula dari seorang pengusaha Amerika Serikat bernama Charlie Stillitano. Namanya memang tidak begitu tenar di kuping para pencinta sepak bola. Akan tetapi, rasanya tak ada penikmat olahraga ini yang belum pernah mendengar buah karyanya yang bernama International Champions Cup.
ADVERTISEMENT
Stillitano adalah bos Relevent Sports yang merupakan operator ICC. Relevent ini juga menjalin kerja sama dengan La Liga untuk mempromosikan jenama tersebut di 'Negeri Paman Sam'. Salah satu cara promosi itu adalah dengan menggelar pertandingan La Liga di Amerika. Untuk edisi musim ini, laga antara Girona dan Barcelona rencananya akan dipindah ke sana, tetapi sampai sekarang tentangan demi tentangan masih harus dihadapi La Liga dan Relevent.
Di mata Stillitano, sepak bola adalah urusan profit dan profit semata. Pernah suatu kali dia berkata bahwa [industri] sepak bola tidak membutuhkan tim-tim seperti Leicester City. Meskipun pernah menjadi juara Premier League di musim 2015/16, Leicester, dalam hemat pria asal New Jersey tersebut, tidak laku dijual.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, ketika wacana pembentukan Liga Super ini tebersit di benaknya, dia tidak mengirimkan proposalnya kepada Leicester, melainkan kepada Bayern Muenchen. Rummenigge yang membaca proposal tersebut kemudian memerintahkan pada petugas legal Bayern untuk melakukan pengkajian. Tak lama kemudian, wacana ini mulai diupayakan untuk bisa terealisasi.
Trofi International Champions Cup. (Foto: Lionel Ng/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Trofi International Champions Cup. (Foto: Lionel Ng/Getty Images)
Awalnya dari Bayern, kemudian klub-klub elite lain pun ikut dilibatkan. Total, ada sebelas tim di sana, yakni Bayern, Juventus, Milan, Real Madrid, Barcelona, Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, Liverpool, dan Paris Saint-Germain. Sebelas klub itu, layaknya sebuah kartel, bersekongkol untuk mencanangkan sebuah kompetisi elite baru.
Sebelum wacana Liga Super edisi 2003 muncul, sebelumnya langkah seperti ini sudah pernah dilakukan dan berhasil. Premier League, pada dasarnya, adalah buah dari manuver klub-klub elite yang saat itu diwakili oleh Manchester United, Arsenal, Liverpool, Everton, dan Tottenham Hotspur. Alasannya? Sama. Mereka ingin pendapatan yang lebih karena mekanisme pembagian uang ala Football League masih terlalu egaliter.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, sampai sekarang, ketika ada tulisan atau pembahasan mengenai pembentukan Premier League, selalu muncul kata-kata 'liga sempalan'. Nah, Liga Super Eropa ini pun setali tiga uang. Sebelas klub tadi berusaha untuk menyempal, bersekutu, dan mengeruk keuntungan maksimal untuk diri mereka sendiri.
Menurut rencana, Liga Super Eropa ini akan mulai digulirkan mulai musim 2021/22. Kebetulan, perjanjian hak siar televisi Liga Champions yang sekarang akan habis pada musim 2020/21. Dalam praktiknya nanti, Liga Super tersebut akan mempertemukan 16 klub dengan sistem yang sama dengan Liga Champions: Diawali dengan fase grup, diakhiri dengan sistem gugur.
Sebelas klub tadi rencananya akan mendapat privilese, di mana mereka tidak akan bisa tersingkir dari kompetisi tersebut selama 20 tahun pertama. Mereka juga dijanjikan akan mendapatkan uang sampai 500 juta euro per musimnya hanya dari kompetisi tersebut. Adapun, lima klub lain yang akan berstatus sebagai tamu adalah Internazionale, Atletico Madrid, Roma, Marseille, dan Borussia Dortmund.
ADVERTISEMENT
Untuk membentuk Liga Super ini, ada dua opsi yang sejauh ini masih dipertimbangkan. Pertama, dengan memisahkan diri dari Liga Champions saja. Kedua, memisahkan diri secara total dari asosiasi yang menaungi mereka, baik itu asosiasi negara, asosiasi kontinental (UEFA), maupun FIFA. Belum jelas langkah mana yang akan diambil seandainya wacana ini terwujud.
Nantinya, Liga Super ini akan dijalankan oleh sebuah operator yang berbasis di Madrid, Spanyol. Kabar soal pembentukan perusahaan operator inilah yang muncul dalam dokumen yang bocor tanggal 22 Oktober 2018 tadi. Di perusahaan itu, setiap klub peserta memiliki saham. Real Madrid, misalnya, berkuasa atas 18,77% kepemilikan, sementara 12,58% lainnya jadi milik Manchester United, dan seterusnya.
Logo UEFA. (Foto: Getty Images for UEFA/Harold Cunningham)
zoom-in-whitePerbesar
Logo UEFA. (Foto: Getty Images for UEFA/Harold Cunningham)
***
Pada 2017 silam, presiden UEFA, Aleksander Ceferin, sudah melontarkan peringatan akan potensi kemunculan liga sempalan di Eropa.
ADVERTISEMENT
"Kepada klub-klub yang terkait, aku akan mengatakan dengan tenang dan tanpa rasa senang, tetapi tegas: tidak akan ada liga tertutup. Itu semua tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita junjung, titik," katanya.
"Kami tidak akan pernah tunduk dengan upaya pemerasan dari mereka yang berpikir bisa memanipulasi liga-liga kecil atau memaksakan kehendak kepada asosiasi ini hanya karena mereka kaya dan berkuasa," lanjut pria Slovenia tersebut.
Kini, setelah kabar tersebut benar-benar terpampang di permukaan, sejumlah tentangan baru pun lahir. Juergen Klopp, misalnya, mengatakan dengan nada sarkastis bahwa Liga Super itu adalah 'ide bagus'.
"Itu terdengar menyenangkan. Sedikit berlaga, berlimpah uangnya. Saya benar-benar tak punya masalah dengan liga sepak bola saat ini. Setidaknya, [Liga Super Eropa] itu adalah ide yang tidak akan dilakukan dalam waktu dekat,” ujar Klopp seperti dilansir The Guardian.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, usai pertandingan menghadapi Liga Champions, Rabu (7/11/2018) dini hari WIB, Ernesto Valverde sudah mengatakan bahwa pertandingan antara Inter dan Barcelona yang berakir 1-1 itu sudah cukup super baginya. "Liga Champions ini sudah super, kok. Kita tadi bisa lihat betapa hebatnya penampilan di lapangan dan di tribune stadion," kata pelatih Barcelona tersebut.
Sebelumnya, penolakan juga sudah muncul dari Asosiasi Liga-liga Eropa. Menurut grup yang beranggotakan lebih dari 900 klub itu, Liga Super Eropa akan membahayakan kelangsungan sepak bola itu sendiri.
Presiden UEFA, Aleksander Ceferin. (Foto: AFP/John Thys)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden UEFA, Aleksander Ceferin. (Foto: AFP/John Thys)
"Sepak bola domestik adalah jantung dari olahraga ini dan ia punya arti penting bagi seluruh pihak yang terlibat di sepak bola: pemain, klub, asosiasi nasional, dan yang terpenting, fans. Proposal Liga Super ini akan membahayakan kelangsungan sepak bola profesional di Eropa," ujar mereka.
ADVERTISEMENT
"Dalam konteks ini, Asosiasi Liga-liga Eropa mendukung penuh UEFA dalam manajemen dan organisasi kompetisi antarklub Eropa. Kami juga menjunjung tinggi prinsip umum UEFA dalam melindungi dan meningkatkan keseimbangan kompetisi di persepakbolaan Eropa."
Menariknya, penolakan juga muncul dari sosok yang selama ini sudah menjalin kerja sama dengan Stillitano, Javier Tebas. Presiden La Liga itu menilai bahwa Liga Champions tidak boleh sampai hilang.
“Liga Super Eropa itu pasti akan menjadi akhir dari La liga dan Liga Champions sekaligus. Aku sengaja mengatakan ini dengan kasar, supaya semua orang paham maksudku. Liga Super itu tak ubahnya proyek yang ditulis di sebuah bar pada jam lima pagi, sebuah proyek dari sebuah klub dengan beberapa presiden yang berbeda,” ucap Tebas seperti dilansir Goal International.
ADVERTISEMENT
"Ada banyak argumen yang menentang Liga Super. Pada awalnya akan tampak bagus, tapi fans Bayern Muenchen atau Real Madrid menjadi luar biasa karena mereka selalu memenangi berbagai gelar, memenangi kompetisi nasional, karena sejarahnya memang demikian.”
“Beberapa tim di Liga Super akan berada di posisi sembilan atau sepuluh. Di atas kertas, pertemuan antara Real Madrid dengan Manchester United akan menjadi laga yang hebat, tapi, tentu saja, salah satunya akan berada di posisi sebelas, yang lain di sepuluh. Lihatlah lima tahun lagi berapa banyak fans yang tersisa [dengan sistem seperti itu].”
“Liga Champions harus tetap ada, sistemnya juga sudah sempurna. Klub-klub telah memenanginya. Kehadiran Liga Super Eropa malah akan merusak sepak bola. Dalam jangka panjang, kehadirannya juga dapat merusak klub-klub besar juga karena tidak akan memberikan keuntungan ekonomi sebagaimana yang mereka perkirakan,” tutup eks presiden Huesca itu.
ADVERTISEMENT
Presiden La Liga, Javier Tebas. (Foto: AFP/Sajjad Hussain)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden La Liga, Javier Tebas. (Foto: AFP/Sajjad Hussain)
***
Penentangan sudah muncul. Lalu, seperti apa saja sikap mereka-mereka yang namanya tercatut di berkas yang bocor ke tangan Football Leaks tadi?
Rummenigge, yang namanya jelas-jelas tercatat sebagai salah satu inisiator, membantah dengan tegas.
"Aku menolak dengan tegas tuduhan tersebut. Pemungutan suara yang mendukung reformasi UEFA dan ECA disepakati dengan suara bulat. Selama aku masih menjabat Presiden Klub, FC Bayern Muenchen tetap memegang teguh keanggotaan di Bundesliga, dan juga tetap ikut serta di kompetisi yang diselenggarakan bersama oleh UEFA dan ECA,” tegasnya.
Sikap Rummenigge kemudian diperkuat dengan sikap dari Bayern sendiri. Die Roten bahkan mengaku tidak tahu menahu ihwal keberadaan wacana pembentukan liga sempalan tadi.
"Dalam edisi no 45 tanggal 3 November 2018, majalah Der Spiegel mengklaim bahwa Karl-Heinz Rummenigge, sebagai ketua European Club Association (ECA), telah mengkhianati semua klub menengah dan kecil yang juga anggota ECA," tulis pernyataan resmi Bayern.
ADVERTISEMENT
"Baik Rummenigge maupun FC Bayern Muenchen tidak pernah bertindak yang merugikan ECA.”
"FC Bayern juga tidak mengetahui rencana terbaru mengenai Liga Super Eropa, yang mana turut pula dilaporkan oleh Der Spiegel. FC Bayern juga tidak terlibat dalam negosiasi yang berkaitan dengan rencana tersebut. FC Bayern juga tidak mengetahui mengapa hal itu tercantum dalam dokumen yang dikutip, dalam konteks ini, oleh Der Spiegel," tandas mereka.
Karl-Heinz Rummenigge dan Uli Hoeness. (Foto: AFP/Franck Fife)
zoom-in-whitePerbesar
Karl-Heinz Rummenigge dan Uli Hoeness. (Foto: AFP/Franck Fife)
Bantah serupa datang dari kubu Borussia Dortmund melalui CEO-nya, Hans-Joachim Watzke.
"Tentu saja Borussia Dortmund, sebagaimana halnya dengan Bayern Muenchen, akan selalu melihat perkembangan zaman. Namun, aku juga harus mengatakan ini dengan jelas: bahwa Dortmund tidak akan meninggalkan Bundesliga untuk kompetisi mana pun di planet ini. Bundesliga kini telah menjadi bagian dari warisan budaya Jerman dan sebaiknya kita tidak pergi dari Jerman," tutur pria 59 tahun tersebut kepada Sky Germany.
ADVERTISEMENT
Kabar lain muncul dari Arsenal, meski tanpa adanya pernyataan resmi apa pun. Bantahan tidak resmi The Gunners ini dikeluarkan oleh seorang pejabat klub yang enggan disebutkan namanya. Kabar ini dikeluarkan oleh Sky Sports pada Senin (5/11) lalu.
***
"Meskipun belum ada persetujuan resmi dari Komite Eksekutif UEFA, 'lampu hijau' untuk menggelar kompetisi ketiga sudah diberikan dan ini akan membuat jumlah klub peserta menjadi 96 mulai musim 2021/22," kata Agnelli dalam pidatonya di Forum ECA, 11 September lalu.
Entah ada kaitannya atau tidak dengan wacana pembentukan Liga Super tadi, yang jelas, dengan munculnya kabar tersebut, pernyataan Agnelli itu jadi semakin bisa dipahami konteksnya. Ini hanya spekulasi, tetapi bisa jadi itulah Liga Super yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Saat ini, ada 80 klub Eropa yang terlibat di Liga Champions dan Liga Europa. Dalam penjelasan Agnelli kala itu, jumlah peserta kompetisi antarklub Eropa akan bertambah menjadi 96.
Jika 16 klub tadi kemudian terlibat dalam kompetisi baru yang lebih super, maka pada dasarnya Liga Champions dan Liga Europa tidak akan berkurang pesertanya. Ini sekaligus juga membuka kesempatan bagi klub-klub yang lebih kecil untuk terlibat di sana. Akan tetapi, di sisi lain, itu juga akan menggerus nilai historis dari kedua kompetisi tadi.
Ceferin, Tebas, dan 900 lebih klub sudah menolak. Arsenal, Bayern, dan Dortmund sudah membantah keterlibatannya. Lalu, akankah Liga Super ini benar-benar menjadi kenyataan? Kalau memang demikian, maka ini bisa menjadi salah satu perubahan terbesar dalam sejarah sepak bola.
ADVERTISEMENT