Busby Babes dalam Sejarah Kontrafaktual

7 Februari 2017 16:49 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Busby Babes dalam kenangan. (Foto: Christopher Furlong/Getty Images)
Seandainya. Satu kata itu seringkali menghantui perjalanan sejarah yang dilalui Manchester United dan sepak bola Inggris. Subjeknya pun jelas: The Busby Babes. Seandainya bunga-bunga Manchester itu tidak rontok di landas pacu yang membeku, apa yang bakal terjadi?
ADVERTISEMENT
Tak ada yang bisa menjawab dengan pasti karena pada akhirnya, kenyataan adalah musuh bebuyutan romantika. Ia dingin, gelap, keras, dan tidak mengenal ampun. Busby Babes adalah korban dari kenyataan. Entah karena memang tidak boleh ada sesuatu yang begitu sempurna atau bagaimana, mereka direnggut dengan seenaknya dari kita semua. Kita pun ujung-ujungnya hanya mampu menerka-nerka, sembari diam-diam merutuki Yang Kuasa.
Ketika Manchester United menjadi juara liga pada musim 1955/56, rata-rata usia di skuat mereka adalah 22 tahun. Mereka, para pemuda yang jadi andalan itu, kebanyakan berasal dari akademi Manchester United. Ketika masih berusia belasan, mereka ditemukan oleh jaringan pencari bakat yang disebar Matt Busby di seantero Inggris. Mereka kemudian diberi kesempatan menimba ilmu di akademi sebelum akhirnya dipercaya untuk menjadi andalan di tim utama.
ADVERTISEMENT
Berhasil menjadi juara dengan para pemain muda sebagai tulang punggung, Manchester United dengan Busby Babes-nya pun digadang-gadang akan menjadi kekuatan mahadahsyat di masa datang. Apalagi, pada musim 1956/57, mereka mampu kembali menjadi juara liga sekaligus menembus babak semifinal Piala Eropa. Kekalahan mereka di semifinal turnamen cikal bakal Liga Champions itu pun dapat dengan mudah dimaklumi mengingat lawan yang dihadapi adalah Real Madrid nan perkasa.
Sejak perang usai, Manchester United memang sudah tumbuh, meski perlahan, menjadi kekuatan besar persepakbolaan Inggris. Sebelum akhirnya menjadi juara pada musim 1951/52, United menjadi runner-up sebanyak empat kali. Mereka ketika itu sempat bertarung dan akhirnya kalah dari Liverpool, Arsenal, Portsmouth, dan Tottenham Hotspur. Bersamaan dengan itu, muncul pula nama Wolverhampton Wanderers, Blackpool, dan Preston North End sebagai kekuatan yang tak kalah mengancam.
ADVERTISEMENT
Setelah menjadi juara pada 1951/52, United sempat puasa gelar selama tiga musim dan pada periode itu, Arsenal, Wolves, dan Chelsea bergantian menjadi juara. Itulah era di mana Busby Babes baru benar-benar digodog di akademi. Sebelumnya, ketika Manchester United menjadi runner-up sebanyak empat kali pascaperang, kebijakan pemain muda ala Matt Busby itu belum digalakkan betul-betul. Maka dari itu, gelar juara 1951/52 itu pun bukan milik Busby Babes. Lain halnya dengan gelar juara 1955/56 dan 1956/57.
Di Eropa sendiri, Piala Eropa baru digelar mulai musim 1955/56. Selama lima musim berturut-turut sampai musim 1959/60, Real Madrid menyapu bersih gelar juara. Di final, Alfredo Di Stefano dkk. dua kali mengalahkan Stade de Reims, serta mengandaskan perlawanan Fiorentina, Eintracht Frankfurt, dan Milan masing-masing sekali.
ADVERTISEMENT
Dalam keikutsertaannya sebanyak dua kali di ajang Piala Eropa, Manchester United berhasil menembus semifinal sebanyak dua kali, yakni pada musim 1956/57 dan musim 1957/58 ketika Tragedi Muenchen terjadi. Di semifinal 1957, mereka dikandaskan Real Madrid sementara pada semifinal 1958, dengan skuat compang-camping, United dihajar Milan yang akhirnya kalah dari Real Madrid.
Mural Busby Babes di Old Trafford (Foto: Christopher Furlong/Getty Images)
Prestasi United di Eropa ini menjadi sebuah sumber pertanyaan pengandaian favorit para penganut sejati counterfactual history. Bagaimana jika Tragedi Muenchen tidak pernah terjadi? Apakah dominasi Real Madrid pada era awal Piala Eropa bisa dihentikan? Lagipula, ketika mereka kalah pada tahun 1957 itu, Madrid punya skuat yang lebih matang. Wajar jika United yang belia akhirnya menyerah. Meski begitu, banyak yang meyakini bahwa dalam tempo setidaknya dua tahun, Manchester United dengan Busby Babes-nya akan mampu menandingi Real Madrid. Duncan Edwards, misalnya, ketika kalah dari Real Madrid baru berusia 20 tahun, sedangkan Bobby Charlton masih 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Di Inggris sendiri, dominasi United bisa dapat dengan mudah diprediksi. Dengan skuat yang bisa berbicara banyak di Eropa, gelar juara di Inggris akan mampu datang dengan sendirinya. Jika Busby Babes bisa tumbuh sampai mekar, barangkali Wolves hanya akan punya koleksi satu gelar juara liga dan era kejayaan Tottenham Hotspur di awal 1960-an tak pernah ada. Danny Blanchflower, legenda agung Spurs, barangkali akan kalah bersinar dibanding sang adik, Jamie, yang turut menjadi korban Tragedi Muenchen.
Jika mau diperpanjang lagi, barangkali Bela Gutman dan Benfica-nya, Nereo Rocco dan Milan-nya, Helenio Herrera dengan Inter-nya, dan Jock Stein dengan Celtic-nya tidak akan punya koleksi gelar juara Eropa. Semua akan dibabat habis oleh Sir Matt Busby dan bocah-bocah asuhnya yang ganas itu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, apabila memang Busby Babes tak pernah celaka, barangkali gelar Piala Dunia 1962 pun bisa menjadi milik Tim Nasional Inggris. Hal ini memang agak berat mengingat persoalan Inggris di kancah internasional bukan hanya perkara teknik dan taktik tetapi juga mental. Namun, jika Busby Babes bisa berbicara banyak di Eropa, tak mustahil jika mental juara itu kemudian ditularkan ke timnas. Kehebatan sebuah klub toh sering jadi fondasi kehebatan tim nasional. Spanyol dengan Barcelona-nya, Italia dengan Juve Bloc-nya, Jerman dengan Bayern-nya, dan Belanda dengan Ajax-nya adalah contoh-contoh nyata yang tak bisa dikesampingkan.
Akan tetapi, pada akhirnya semua ini hanyalah sebuah pengandaian. Busby Babes secara tragis direnggut lebih cepat dari kita semua dan seliar apapun fantasi yang kita miliki, rasanya tetap sulit untuk membayangkan seperti apa tepatnya mereka akan tumbuh. Selalu ada kemungkinan bahwa dalam perjalanannya, anak-anak muda itu akan terjerembab. Lagipula, godaan sebagai pesepak bola profesional sangat sulit untuk ditangkal. George Best yang notabene juga merupakan anak didik Matt Busby pun tak mampu lolos dari jebakan hedonisme. Sehebat apapun potensi mereka, tak ada jaminan yang absolut bahwa mereka akan menjadi sebesar yang diharapkan orang-orang.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, hari ini bukanlah hari untuk menulis kisah Busby Babes dengan pena realita. Hari ini kita bernostalgia sembari mencoba mencurangi sejarah dengan berandai-andai karena mereka, bunga-bunga Manchester itu, akan bisa bertahan hidup dengan cara seperti ini. Mereka hidup di dalam kenangan, di dalam fantasi, dan di dalam lamunan. Di realita alternatif itu, saya melihat Duncan Edwards diberi gelar "Sir" oleh Sri Ratu.