Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cinta Aremania yang Terbelah di Antara Arema FC dan Arema Indonesia
17 April 2018 20:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Dualisme, pada akhirnya, jadi perkara rumit bagi Aremania. Dua klub bernama Arema dalam naungan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menjadi muaranya. Ya, Arema FC yang berlaga di Liga 1 dan Arema Indonesia--dulu bernama Arema Malang--yang berjuang di Liga Nusantara atau kompetisi level ketiga Indonesia.
ADVERTISEMENT
Rasa cinta dan sumpah serapah yang didentumkan di tribune stadion menjelma jadi dilema yang tak berkesudahanan bagi Aremania. Pertanyaannya: Arema mana yang layak mendapat pengakuan? Jawabannya pun berbeda sehingga Aremania kehilangan kebersamaan.
Pun demikian dengan slogan 'No Leader Just Together' yang tak bisa diejawantahkan karena ada Aremania yang berteriak untuk Arema FC dan adapula Aremania yang ikut berjuang bersama Arema Indonesia. Pilihan yang diambil bukanlah perkara siapa yang benar dan salah, melainkan sudut pandang masing-masing Aremania sebagai individu untuk berada di kubu yang mana.
Semua yang terjadi bermula dari kisruh PSSI pada 2012. Ketidakpuasaan terhadap rezim membuat seorang pengusaha bernama Arifin Panigoro menghadirkan kompetisi bertajuk Liga Primer Indonesia (LPI). Kompetisi yang lahir untuk menandingi kompetisi yang dikelola PT Liga Indonesia, Indonesia Super League (ISL).
ADVERTISEMENT
Saat pimpinan PSSI beralih ke tangah Djohar Arifin, LPI menjadi kompetisi yang diakui oleh PSSI. Arema Indonesia yang berdiri pada 11 Agustus 1987, memutuskan bertarung di LPI.
Namun, tunggu dulu, apa yang dilakukan Djohar memantik amarah klub-klub yang berlaga di ISL. Berdalih demi menyelematkan sepak bola Indonesia, lahirlah Komite Penyelamatan Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang dikomandoi oleh La Nyalla Mattalitti.
Perlawanan gencar yang dilakukan La Nyalla membuat masa bakti Djohar hanya seumur jagung. PSSI jatuh ke kubu La Nyalla. Berganti kekuasaan, berganti pula kompetisi yang diakui oleh PSSI. Ya, LPI jadi tak diakui, dan berganti ISL menjadi kompetisi yang diakui. Apa yang terjadi begitu rumit, namun begitulah adanya.
ADVERTISEMENT
PSSI mengambil tindakan tegas untuk membekukan status klub-klub yang 'berkhianat' dengan memilih LPI, salah satunya Arema Indonesia. Tapi, Aremania tak begitu risau dengan pembekuan status Arema Indonesia. Toh, Aremania masih mempunyai Arema yang berlaga di ISL: Arema Cronus.
Sulit untuk mengurai keberadaan dan lahirnya Arema Cronus. Terlalu njelimet juga bila mencari tahu legitimasi hukum Arema yang bernaung di PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia itu. Akan tetapi, satu yang dapat ditelusuri ialah upaya Arema Cronus agar mendapat pengakuan dari Aremania.
Mulai dari menghadirkan kejayaan Arema pada masa lalu dengan mendatangkan legenda-legenda Arema untuk menangani Arema Cronus, seperti Joko Susilo dan Aji Santoso, sampai melibatkan Aremania untuk mengambil keputusan, salah satunya ketika Arema Cronus ingin mengubah namanya.
ADVERTISEMENT
Manajemen membuka polling, Aremania bebas mengutarakan pilihannya. Dan, Boom!! muncullah Arema FC.
Dua hal tersebut sukses meredam nada-nada sumbang yang berdentum keras ketika Arema Cronus berdiri. Arema FC menjadi klub kebanggaan Aremania. Stadion Kanjuruhan selalu saja disesaki Aremania. Predikat runner-up Indonesia Soccer Championship semakin meneguhkan keberadaan Arema FC.
Nama Arema Indonesia pun tak lagi dapat berdentum keras meski pada 8 Januari 2017 silam, melalui Kongres PSSI di Bandung, Arema Indonesia kembali diakui dan memulai perjalanannya di Liga Nusantara. Pasalnya, Arema FC sudah begitu besar. Pemain bertabur bintang, pelatih berkualitas, dan persaingan sengit di setiap pertandingannya.
Sehingga, pertanyaan tentang Arema mana yang layak mendapat pengakuan, lenyap seketika. Jika pertanyaan itu masih ada, tentu saja jawabannya Arema FC.
ADVERTISEMENT
***
Namun, kejayaan Arema FC sebagai identitas Kota Malang perlahan harus diakui mulai meluntur. Penyebabnya ialah kerusuhan yang terjadi ketika Arema FC menjamu Persib Bandung, Minggu (15/4/2018), di Stadion Kanjuruhan, pada pekan keempat Go-Jek Liga 1.
Kegagalan Arema FC meraih hasil positif di empat laga pertama musim 2018 disinyalir menjadi pemicunya. Aremania yang tak puas dengan kinerja klub tumpah ruah ke dalam Stadion. Sebelumnya, Aremania sempat melakukan tindakan yang tak terpuji dengan melempari pemain Persib dengan benda-benda seperti botol air mineral dan sepatu.
Apa yang dilakukan Aremania memaksa sang pengadil lapangan menyudahi pertandingan yang masih tersisa beberapa menit lagi. Setelah itu, keadaan semakin tak terkendali. Ratusan Aremania terluka. Manejemen Arema FC pun dihadapkan pada sanksi yang berat. Bisa saja berupa denda atau larangan bertandingan di Kanjuruhan. Semua bisa melanda Arema FC.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kerusuhan itu menghadirkan kenangan-kenangan pada Arema Indonesia. Ya, klub yang sedang berjuang sekuat tenaga untuk kembali berlaga di kompetisi teratas sepak bola Indonesia. Yang pada akhirnya kembali memantik pertanyaan bahwa Arema mana yang layak mendapat pengakuan.
Kali ini, pertanyaan tersebut terdengar begitu keras di berbagai penjuru media sosial. Arema asli dan tak asli pun menjadi bahan perdebatan.
Apakah Arema yang mengantongi Piala Bhayangkara dan Inter Island Cup 'kah yang asli? Atau Arema yang pernah menjadi juara Galatama XII 1992/93, Divisi Satu Liga Indonesia 2004, Piala Indonesia 2005, Piala Indonesia 2006, ISL 2009/2010?