Dari Maracana ke Mineirao: Kala Air Mata Tumpah di Brasil

26 Maret 2018 14:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suporter Brasil saat timnya dikalahkan Jerman 1-7. (Foto: AFP/Adrian Dennis)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Brasil saat timnya dikalahkan Jerman 1-7. (Foto: AFP/Adrian Dennis)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berdamai dengan masa lalu memang bukan perkara mudah. Terkadang, rasa luka yang ditinggalkan oleh sebuah peristiwa bisa begitu dalam, sampai-sampai bekasnya pun masih terasa sakit.
ADVERTISEMENT
Orang bilang, hanya waktulah yang bisa menyembuhkan luka itu. Akan tetapi, tak seorang pun tahu persis berapa lama waktu yang dibutuhkan. Bisa singkat, bisa juga panjang, sampai berpuluh-puluh tahun, seperti kala rakyat Brasil akhirnya bisa berdamai dengan luka nasional bernama Maracanazo.
16 Juli 1950, arogansi semerbak betul baunya di Maracana. Logikanya, tak ada yang bisa menghentikan Brasil kala itu. Namun, sepak bola memang tak pernah benar-benar bersahabat dengan logika, prediksi, apalagi arogansi. Hari cerah di Rio de Janeiro itu justru harus berakhir dengan hujan air mata dari kurang lebih 200 ribu orang yang menyemut di Maracana.
Hari itu, Brasil kalah. Tidak telak, memang. Hanya 1-2. Namun, kekalahan itu terjadi di saat yang sangat, sangat tidak tepat karena ia datang di partai penentuan juara Piala Dunia. Menghadapi Uruguay yang persis dua dekade sebelumnya menjadi kampiun Piala Dunia, arogansi Brasil itu menjadi bumerang.
ADVERTISEMENT
Brasil sebenarnya pantas untuk merasa arogan kala itu. Mereka melakoni Piala Dunia sebagai tuan rumah. Selain itu, rekor mereka jelang turnamen tersebut juga sangat bagus. Dengan bermodalkan penggawa-penggawa Vasco da Gama sebagai pilar tim, mereka datang ke Piala Dunia dengan status juara Copa America. Di turnamen kontinental itu, setahun sebelumnya, mereka menang 7-0 atas Paraguay dalam partai penentuan.
Piala Dunia 1950 pun dilalui Brasil dengan langkah pasti. Di fase grup pertama, mereka sukses menggunduli Meksiko 4-0 lewat dua gol Ademir plus masing-masing satu gol dari Jair dan Baltazar. Kemudian, di laga kedua mereka memang sempat ditahan imbang Swiss 2-2. Namun, pada laga ketiga melawan Yugoslavia, Brasil berhasil menang 2-0 berkat gol-gol dari Ademir serta Zizinho.
ADVERTISEMENT
Dua kemenangan dan satu hasil imbang itu membuat Brasil berhak melaju ke babak selanjutnya dengan status juara grup. Di babak selanjutnya inilah juara bakal ditentukan karena saat itu sistem turnamen yang diterapkan memang bukan sistem gugur, melainkan round robin.
Di babak penentuan, Brasil sudah ditantang para juara grup lain, Spanyol, Swedia, dan Uruguay. Anak-anak asuh Flavio Costa ini pun mengawali babak penentuan dengan meyakinkan. Swedia mereka hajar 7-1 dan Spanyol mereka permak 6-1. Di sisi lain, Uruguay hanya mampu bermain imbang 2-2 melawan Spanyol dan 'hanya' mampu menang 3-2 atas Swedia. Melihat lawan inferior seperti itu, Brasil tak punya alasan untuk tidak merasa yakin.
Namun, petaka memang tidak mengenal siapa yang disasar. Setelah Friaca membuka keunggulan di dua menit pertama babak kedua, Brasil justru tenggelam. Uruguay berhasil bangkit. Pertama, lewat gol Juan Schiaffino pada menit ke-66 dan kedua, lewat tendangan Alcides Ghiggia yang membuat kiper Brasil saat itu, Moacir Barbosa, menjadi musuh rakyat.
ADVERTISEMENT
Gigghia, winger mungil kelahiran Montevideo itu, sukses melewati kawalan Bigode di sayap kanan. Sesaat kemudian, ia mengirimkan tembakan langsung jarak jauh ke gawang Brazil yang dikawal Barbosa. Yang terjadi adalah Barbosa terdiam melihat bola meluncur ke gawang, karena dia berpikir Gigghia akan mengirim umpan silang, bukan tembakan langsung.
Hanya 11 menit sebelum pertandingan usai dan mimpi rakyat Brazil musnah. Mereka harus rela menyaksikan Uruguay berpesta di katedral sepakbola mereka. Kegagalan Barbosa, kiper kulit hitam pertama Brasil itu, dilihat sebagai sebuah dosa yang nyaris tak termaafkan. Kegagalan Barbosa mengantisipasi tendangan Ghiggia itulah yang berujung pada Maracanazo, atau Duka di Maracana.
Untuk berdamai dengan Maracanazo, Brasil pun harus memaafkan Barbosa dan segala warisannya. Untuk itu, orang-orang Brasil butuh waktu hampir 50 tahun. Pada 1997, ketika Barbosa ditinggal mati istrinya, Clotilde, dan harus hidup sebatang kara, barulah segala dosa itu dimaafkan.
ADVERTISEMENT
***
Sejarah memang tidak berjalan secara linear dan maka dari itu, ia senantiasa terulang, meski dalam bentuk yang tidak sama persis. 9 Juli 2014, di tanah yang sama, Brasil kembali harus menanggung malu.
Mineirazo, kata mereka untuk menyebut kejadian ini. Duka di Mineirao, merujuk pada tempat kejadian perkara, Estadio Mineirao di Belo Horizonte. Pada partai semifinal Piala Dunia 2014, Brasil secara (tidak) mengejutkan kalah 1-7 dari tim yang kemudian menjadi juara dunia, Jerman.
Seperti pada 1950, Brasil adalah tuan rumah di edisi 2014. Luka lama bernama Maracanazo itu perlahan sudah terkikis dan tak ada trauma apa pun yang menghinggapi skuat Selecao besutan Luiz Felipe Scolari kala itu. Bahkan, mereka semua optimistis bisa meraih gelar juara dunia untuk pertama kalinya di rumah sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain Brasil usai dihajar Jerman. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
zoom-in-whitePerbesar
Pemain-pemain Brasil usai dihajar Jerman. (Foto: AFP/Gabriel Bouys)
Bermodalkan nama-nama macam Neymar, Dani Alves, Willian, sampai David Luiz dan Marcelo, Brasil memang layak untuk berharap banyak. Terlebih, di turnamen tersebut juara bertahan Spanyol sudah rontok di penyisihan. Dan bagi Brasil, lawan yang sepadan kala itu hanyalah Jerman serta Argentina yang akhirnya bersua di final.
Namun, tak seperti pada 1950, tanda-tanda Brasil takkan menjadi juara dunia sebenarnya sudah tampak sejak awal. Alasan utama di balik ini adalah fakta bahwa Brasil tak punya penyerang mumpuni. Untuk mengisi pos ujung tombak, Scolari harus berharap pada sosok-sosok semenjana macam Fred dan Jo.
Walau demikian, langkah Brasil terhitung mulus. Meski sempat ditahan imbang Meksiko 0-0, Brasil sukses menyapu bersih laga-laga lainnya. Kroasia mereka tumbangkan 3-1 dan Kamerun mereka sapu 4-1. Di 16 besar, Cile berhasil disingkirkan lewat adu penalti dan di perempat final, kuda hitam Kolombia mereka jinakkan 2-1.
ADVERTISEMENT
Setelah menghadapi tim-tim kelas menengah tadi, kekuatan Brasil yang sesungguhnya baru diuji pada laga semifinal. Jerman yang sama-sama sempat ditahan imbang di fase grup dan lolos susah payah ke semifinal melewati adangan Aljazair dan Prancis harus dihadapi. Secara logis, laga antara Brasil dan Jerman ini seharusnya bakal berlangsung ketat, bahkan kalau perlu sampai perpanjangan waktu atau adu penalti.
Namun, logika itu gagal mewujud. Thomas Mueller, Miroslav Klose, Toni Kroos, dan Sami Khedira sudah membawa Jerman unggul lima gol pada babak pertama. Kemudian, pada babak kedua Andre Schuerrle mencetak dua gol tambahan sebelum akhirnya, pada menit ke-90, Oscar mencetak gol yang sudah tak ada artinya bagi Brasil. Hari itu, publik sepak bola Brasil kembali dipaksa untuk menangis sesenggukan.
ADVERTISEMENT
Hasil itu memang sama-sama menyakitkannya dengan hasil di partai terakhir Piala Dunia 1950. Akan tetapi, yang membedakan adalah pada laga ini Brasil sama sekali tak bisa mengambinghitamkan satu orang. Semua pemain --kecuali Neymar yang absen lantaran dicederai Camilo Zuniga di perempat final-- punya porsi kesalahan yang sama.
Pasalnya, seperti yang dikatakan pelatih Jerman, Joachim Loew, selepas laga, ada banyak celah di kubu Brasil. Kroos yang menjadi Man of the Match laga itu kemudian menambahkan bahwa performa itu adalah puncak dari betapa tak impresifnya Brasil di sepanjang turnamen.
Namun, terlepas dari itu semua, tak ada yang menyangka bahwa Brasil bisa begitu inferior. Bahkan, pelatih Argentina, Alejandro Sabella, sampai harus geleng-geleng kepala dan berkata, "Sepak bola memang tidak logis."
ADVERTISEMENT
Artinya, Brasil memang tidak terlalu impresif, tetapi mereka juga tidak semestinya kalah sedemikian telak. Untuk itu, tak ada penjelasan lain kecuali bahwa Brasil kebetulan memang bermain sangat buruk dan Jerman bermain sangat bagus. Tanpa kombinasi kedua hal itu, skor 7-1 tak mungkin tercipta.
Namun, ada pula sebuah 'teori' yang menyebutkan bahwa Brasil bisa kalah setelak itu karena mereka kualat. Ini memang bukan sebuah teori yang bisa dibuktikan secara empiris, tetapi indikasi bahwa Brasil kualat kepada rakyatnya sendiri memang begitu besar.
Piala Dunia 2014 itu digelar Brasil dengan tangan besi. Dalam proses persiapannya, mereka banyak menyingkirkan orang-orang miskin agar tidak membuat malu negara saat turnamen digelar. Penggusuran, ketika itu, terjadi di mana-mana dan pemerintah melakukan penggusuran itu dengan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Protes di Piala Dunia 2014. (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)
zoom-in-whitePerbesar
Protes di Piala Dunia 2014. (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)
Tak cuma itu, Piala Dunia tersebut juga digelar di tengah situasi ekonomi yang buruk. Demonstrasi berujung kerusuhan pun bukan pemandangan asing karena pada hari pertama turnamen pun kerusuhan itu masih terjadi. Banyak orang Brasil yang menolak penyelenggaraan Piala Dunia karena itu dianggap sebagai pemborosan. Di saat rakyat butuh subsidi, pemerintah malah menghamburkan duit untuk membangun stadion.
Dari sini terlihat bahwa bagi rakyat Brasil, Piala Dunia 2014 adalah sebuah pengkhianatan. Entahlah, tetapi bisa jadi ini adalah alasan mengapa Mineirazo tidaklah semenyakitkan Maracanazo. Bagi (sebagian) rakyat Brasil, Mineirazo bisa jadi merupakan sebuah hasil yang mereka harapkan. Sementara, Maracanazo jelas-jelas merupakan tragedi nasional.
Betapa tidak menyakitkannya Mineirazo ini juga terlihat dari bagaimana cepatnya Timnas Brasil pulih. Saat ini, menatap Piala Dunia 2018, mereka sudah jauh lebih kuat dibanding empat tahun silam. Jika pada 2014 mereka dijagokan karena berstatus tuan rumah, kini Brasil dijagokan karena mereka memang layak untuk dijagokan.
ADVERTISEMENT
Dengan pelatih baru dan pemain-pemain yang sudah lebih matang, Brasil siap menatap Piala Dunia 2018 dengan optimisme lebih tinggi. Kesempatan mereka menghapus duka Mineirazo kali ini pun cukup besar.
Meski demikian, anak-anak asuh Tite ini sepertinya takkan bisa membalaskan dendam mereka pada Jerman dalam waktu dekat. Masalahnya, selain Brasil, Jerman --bersama Spanyol dan Prancis-- adalah unggulan lain di Piala Dunia yang tentunya takkan mudah dikalahkan, apalagi dengan margin enam gol.