Derby Roma: Benci yang Abadi di Kota Abadi

28 April 2017 15:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ll
Roma lahir dari titah Mussolini. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
Apa pun yang terjadi pada dunia, berapa pun kekaisaran yang nantinya bakal runtuh, Kota Roma, menurut mereka yang bermukim di dalamnya pada masa lampau, bakal tetap berdiri. Itulah mengapa kota ini, kota yang sudah berdiri selama hampir 3.000 tahun ini, disebut oleh Tibellus sebagai Kota Abadi.
ADVERTISEMENT
Kota Roma, harus diakui, merupakan sebuah kota yang agung. Ia adalah saksi bagaimana manusia senantiasa berubah, berbenah, dan tentunya berulah. Selain pernah menjadi salah satu pusat Renaisans, ia juga pernah jadi tempat bertakhta seorang despot bernama Benito Mussolini.
Mussolini memang sudah mampus lebih dari 70 tahun yang lalu. Akan tetapi, ada satu perbuatannya yang hingga kini masih meninggalkan residu.
Pada tahun 1927, sebagai bagian dari kampanyenya untuk menjadikan Roma agung kembali, Mussolini mengeluarkan titah agar klub-klub sepak bola di kota itu dilebur menjadi satu dalam satu identitas. Tiga dari empat klub di Roma -- Roman, Alba-Audace, dan Fortitudo -- menurut dan terbentuklah Associazione Sportiva Roma. Satu klub lagi, Lazio yang awalnya memang dibentuk oleh tentara, mampu bertahan berkat bantuan seorang jenderal fasis bernama Giorgio Vaccaro.
ADVERTISEMENT
Sejak itulah Kota Roma kembali terbelah. Mereka yang miskin dan bermukim di pusat kota secara otomatis menjadi Romanisti. Sementara, mereka yang berada dan bertempat tinggal di Parioli -- sebuah distrik di sebelah utara Kota Roma -- menjadi pendukung Lazio.
Laga derby resmi pertama terjadi pada 8 Desember 1929 dan pada laga itu, Roma menang 1-0 lewat gol tunggal Rodolfo Volk. Alkisah, pada laga tersebut sebanyak 15 ribu suporter Roma tumpek blek untuk memberi dukungan. Jumlah tersebut tergolong sangat banyak untuk zaman itu dan mengingat Roma adalah hasil leburan tiga klub, tak mengherankan jika mereka kemudian bisa memiliki pendukung sebanyak itu.
Dari kubu Lazio sendiri, konon para suporter mereka yang orang berada itu takut untuk bertandang ke markas Roma. Selain karena kalah jumlah, mereka memang tidak terbiasa menyambangi area-area kumuh di pusat kota.
ADVERTISEMENT
Itulah momen di mana Derby della Capitale resmi lahir dan sejak saat itu, 167 laga resmi sudah dilakoni kedua klub. Dari semua laga itu, Roma unggul dengan 63 kemenangan. Sedangkan, Lazio baru 44 kali menang, sementara 60 laga sisanya berakhir imbang.
Dalam perjalanan sejarahnya, seperti halnya perjalanan sejarah Kota Roma, ada yang berubah, berbenah, dan berulah di Derby della Capitale. Pada pertemuan pertama di Serie A musim ini, misalnya, pemain sayap Lazio asal Bosnia & Herzegovina, Senad Lulic, kedapatan melontarkan makian rasial kepada bek Roma yang berkulit hitam, Antonio Ruediger. Lulic ketika itu menyebut Ruediger "pernah menjadi penjual kaus kaki di Stuttgart".
Insiden yang menyebabkan Lulic dilarang bermain 20 hari itu tentunya bukan yang pertama. Entah memang karena kedua klub ini tak bisa dipisahkan dari fasisme atau bagaimana, banyak sekali insiden berbau fasisme dan rasialisme yang melibatkan baik pemain maupun suporter kedua klub.
ADVERTISEMENT
Lazio tetap identik dengan fasisme. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
Pada tahun 1998 lalu, suporter Lazio pernah membentangkan spanduk raksasa bertuliskan "Auschwitz adalah kotamu, dan oven-ovennya adalah rumahmu." Kata-kata ini merujuk pada kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Austria, dan oven-oven tempat menghancurkan mayat korban Holokaus.
Untuk suporter Lazio, hal ini memang tak mengherankan mengingat selama ini mereka kerap diidentikkan dengan kelompok-kelompok ekstrem kanan. Oleh orang-orang degil ini, satu pemain Lazio yang benar-benar mereka idolai adalah Paolo Di Canio.
Di Canio sendiri adalah salah satu sosok paling kontroversial di dunia sepak bola. Dia pernah mendorong wasit Paul Alcock sampai terjatuh saat bermain untuk Sheffield Wednesday. Ketika berseragam West Ham United, dia pernah juga memilih untuk tidak mencetak gol setelah mendapati kiper lawan sedang mengaduh. Dan di Lazio, Di Canio kembali menjadi buah bibir setelah tertangkap kamera memberi salam fasis kepada kelompok ultras di Curva Nord.
ADVERTISEMENT
Di Canio yang membela Lazio antara 2004-2006 pernah secara terang-terangan menyebut Benito Mussolini sebagai "sosok yang punya prinsip kuat" dan "gagal dimengerti banyak orang". Sebagai bentuk pembelaannya terhadap Il Duce, ketika Lazio bertandang ke markas Livorno -- kota yang merupakan basis komunis terbesar di Italia --, Di Canio turut memberikan salam fasis kepada para suporter tuan rumah yang berang.
Nama Lazio pun tercoreng dan orang pun kemudian dengan mudah mengafiliasikan seluruh entitas klub dengan gerakan ekstrem kanan. Tak hanya itu, banyak pula orang yang kemudian berasumsi bahwa jika Lazio itu kanan, maka Roma pasti kiri.
Kedua hal itu, sayangnya, tidak benar. Lazio, sebagai klub, sudah berusaha keras untuk menjauhkan diri dari para tifosi yang haluan politiknya kelewat kanan. Sementara itu, dari kelompok suporter I Lupi pun tak sedikit yang menganut fasisme.
ADVERTISEMENT
Ketika Tottenham Hotspur -- klub yang identik dengan orang-orang Yahudi -- bertandang ke Roma pada 2012 untuk melakoni laga Liga Europa melawan Lazio, sekelompok suporter mereka diserang oleh perusuh tuan rumah. Namun, alih-alih Laziali, yang menyerang suporter Spurs ternyata merupakan para ultras Roma.
Ya, selain umpatan rasial, kekerasan juga telah jadi bagian tak terpisahkan dari Derby della Capitale. Rivalitas ini pulalah yang jadi penyebab kematian akibat sepak bola pertama di Italia.
Tahun 1979, seorang Laziale tewas karena kecerobohan seorang Romanista yang mengira bahwa suar kapal di tangannya adalah kembang api biasa. Tanpa curiga, Giorgio Fiorillo, si Romanista yang ketika itu masih berusia 18 tahun, menembakkan suar itu ke muka Vincenzo Paparelli. Jadilah Paparelli korban tewas pertama dari rivalitas lintas generasi itu.
ADVERTISEMENT
Aksi kekerasan besar lain terjadi pada 2004 lalu. Namun, pada waktu itu para Laziali dan Romanisti justru menggabungkan kekuatan untuk melawan polisi.
Seperti ultras-ultras di berbagai negara lain, polisi sebagai lambang represi negara yang paling dekat dengan rakyat memang jadi musuh bersama. Slogan "A.C.A.B" alias "All Cops are Bastards" pun jadi nyawa di tiap aksi mereka.
Ceritanya, pada Derby della Capitale 2004 itu, merebaklah sebuah kabar burung bahwa ada seorang bocah yang tewas di tangan polisi. Baru lima menit laga berjalan, kerusuhan makin tak terbendung hingga akhirnya laga harus dihentikan. 150 orang luka-luka akibat kejadian tersebut.
Musim ini, setelah insiden Lulic vs Ruediger, Roma dan Lazio sudah bersua dua kali lagi di ajang Coppa Italia. Masing-masing klub berhasil menang sekali meski akhirnya Lazio-lah yang berhak melaju ke final karena unggul secara agregat. Dari dua laga itu, tidak ada insiden berarti yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bukan berarti laga derby yang bakal dihelat Minggu (30/4) petang WIB bakal berlangsung adem ayem. Sebaliknya, laga itu bakal menjadi pertaruhan krusial, khususnya bagi Roma dan Sang Pangeran, Francesco Totti.
Totti tatap garis akhir. (Foto: Paolo Bruno/Stringer)
Setelah tersingkir dari Coppa Italia dan Liga Europa, Serie A-lah satu-satunya ajang di mana Roma masih bisa -- secara matematis -- meraih gelar. Dengan lima laga tersisa, Roma tertinggal delapan poin dari pemuncak klasemen, Juventus. Sulit? Pasti. Mustahil? Belum tentu. Itulah mengapa, laga melawan Lazio ini bakal menjadi laga yang amat penting jika Roma masih benar-benar serius mau mendompleng "Si Nyonya Tua".
Selain itu, laga derby kali ini kemungkinan besar bakal menjadi derby terakhir Francesco Totti. Di usia yang bakal menginjak 41 tahun bulan September nanti, Totti memang makin santer dikabarkan bakal pensiun pada akhir musim. Penampilannya memang sudah menurun sekali dan dia pun makin jarang bermain sejak menit pertama.
ADVERTISEMENT
Kalaupun Roma nantinya gagal meraih scudetto, setidaknya laga derby ini harus bisa dijadikan ajang perpisahan yang manis bagi Totti.
"Pertandingan ini berbeda dari yang lain," ujar Sang Pangeran seperti dikutip dari Sports Illustrated. "Mereka (Lazio) adaah tim yang selalu ingin kau hancurkan di lapangan dengan cara-cara yang terhormat."
Walau begitu, Lazio bukan tim yang bisa begitu saja dikalahkan. Selain telah membuktikan bahwa mereka mampu memenangi pertandingan, I Biancocelesti pun musim ini sedang dalam performa yang apik di bawah kendali Simone Inzaghi. Sebagai penghuni peringkat keempat klasemen sementara, Lazio tidak bisa tidak diwaspadai oleh Roma.
Pada hari Minggu nanti, semua emosi bakal tertumpah di Olimpico, koloseum modern yang telah puluhan tahun menjadi saksi perebutan supremasi kota. Selama masih ada koloseum, kata Santo Bede suatu kali, Kota Roma bakal selalu ada. Itulah mengapa, barangkali, kebencian di Kota Abadi ini dibiarkan abadi.
ADVERTISEMENT