Mengapa Juara Bertahan Piala Dunia Melempem di Fase Grup?

28 Juni 2018 11:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Korea Selatan kalahkan Jerman 2-0. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez)
zoom-in-whitePerbesar
Korea Selatan kalahkan Jerman 2-0. (Foto: REUTERS/Dylan Martinez)
ADVERTISEMENT
Mitos tak kenal ranah, termasuk sepak bola, apalagi Piala Dunia. Serupa dengan kompetisi sepak bola lainnya, pesta sepak bola empat tahunan itu pun tak bisa berjauh-jauhan dengan cerita kutukan.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang percaya bahwa Piala Dunia kerap menimbulkan kebengisannya dalam wujud tersingkirnya juara bertahan di fase grup. Kebanyakan, pembicaraan ini akan mengacu kepada gelaran Piala Dunia 1998 hingga 2014.
Kegagalan Jerman lolos dari fase grup kembali memantik pembicaraan soal kutukan ini. Jerman benar-benar kepayahan di Rusia. Di laga pertama melawan Meksiko yang notabene bukan merupakan tim unggulan saja, mereka kalah 0-1.
Yang mengenaskan, kekalahan ini tak disebabkan oleh ketidakberuntungan, tetapi karena keberhasilan Meksiko membaca dan mematikan taktik Joachim Loew. Artinya, secara taktikal, Jerman kalah dari Meksiko. Nahasnya, kekalahan serupa kembali muncul di laga yang menentukan lolos atau tidaknya Jerman ke babak 16 besar. Melawan Korea Selatan, Jerman takluk 0-2.
ADVERTISEMENT
Catatan historis Piala Dunia membuat cerita kutukan tersebut disetujui oleh banyak orang. Kisahnya bermula dari gelaran Piala Dunia 2002. Serupa Jerman di Piala Dunia tahun ini, Prancis yang berstatus sebagai juara bertahan juga mengakhiri fase grup sebagai juru kunci akibat dua kekalahan dan satu hasil imbang.
Pelatih Prancis saat itu, Roger Lemerre, menjelaskan bahwa tanda-tanda kegagalan timnya sudah tampak sejak jelang kompetisi. Pasalnya, salah satu penggawa mereka, Robert Pires, harus absen akibat cedera lutut.
Kabar buruk datang dalam wujudnya yang paling menyeramkan. Seminggu sebelum dimulai, Federasi Sepak Bola Prancis mengumumkan bahwa Zinedine Zidane didera cedera dan harus menepi selama dua laga awal.
Ketiadaan Zidane di laga menjadi malapetaka karena ia menjadi sumber kreativitas permainan tim. Jenderal lapangan tengah, kondaktur irama permainan. Permainan yang tak cair pada akhirnya membuat Prancis kalah dalam segalanya.
ADVERTISEMENT
Penggawa-penggawa Prancis macam Marcel Desailly, Frank Leboeuf, dan Youri Djorkaeff -kalah cepat saat berhadapan dengan Senegal. Tim besutan Bruno Metsu itu tak butuh banyak gol, cukup satu gol untuk mengandaskan harapan Prancis menuai kemenangan di pertandingan pertama.
Setelah menutup laga dengan skor 0-0 melawan Uruguay, harapan Prancis mulai menyala di laga melawan Denmark. Sebabnya, Zidane sudah bisa bermain. Namun, di laga terakhir itu, Zidane seorang diri tak cukup kuat untuk menanggung beban tim secara keseluruhan.
Bila dirangkum, sumber masalah Prancis kala itu: Pemain senior sudah ada di titik nadir, andalan-andalan muda sudah terlanjur kelelahan menghadapi pertandingan di kompetisi liga. Buktinya, pergantian pelatih setelah gagal di Piala Dunia 2002 diikuti dengan pensiunnya pemain-pemain senior tadi.
ADVERTISEMENT
Prancis menunjukkan tajinya di Piala Dunia 2006, walau dikalahkan Italia di partai final. Sebagai pemain paling senior, Zidane tetap menjadi jenderal. Tetapi, sang jenderal tak berperang sendirian karena pemain-pemain dalam usia produktif mendukung keberadaan dan permainannya.
Prancis pulang dini dari Piala Dunia 2002. (Foto: EMMANUEL DUNAND / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Prancis pulang dini dari Piala Dunia 2002. (Foto: EMMANUEL DUNAND / AFP)
Serupa manusia, kutukan Piala Dunia agaknya juga butuh rehat barang sejenak. Brasil yang jadi juara pada 2002 tetap berhasil melewati fase grup empat tahun setelahnya. Langkah mereka memang tak terlalu baik, hanya sampai perempat final.
Cerita kutukan kembali menebar terornya saat Piala Dunia digelar di Afrika Selatan pada 2010. Italia yang jadi kampiun pada 2006 juga terjebak di fase grup. Kebanyakan pihak menyetujui bahwa faktor skuat menjadi masalah Italia. Pelakon sepak bola macam Diego Maradona bahkan angkat bicara, ketiadaan Alessandro Del Piero dan Francesco Totti punya pengaruh besar dalam permainan tim.
ADVERTISEMENT
Walau berstatus sebagai pemain uzur, efektivitas Totti dalam permainan Italia tidak dapat dimungkiri. Dalam tim, Totti kerap diserahi tugas untuk mengemban peran fantasista. Keberadaan Totti tak hanya menyoal produktivitas, tapi juga kreativitas. Ia punya kecerdasan perihal penguasaan bola, pemahaman akan ruang, sentuhan pertama yang tidak bertele-tele, umpan yang berkualitas, dan kharisma di atas lapangan.
Peranan ini sebenarnya merupakan peranan ala sepak bola Italia. Namun, seiring berjalannya waktu, tak ada banyak pemain yang sanggup mengemban predikat masyhur ini. Akibatnya, begitu ditinggalkan Totti, Italia seperti kehilangan roh permainan.
Keberadaan Andrea Pirlo sebenarnya tak bisa disepelekan, karena dia memang pemain penting. Namun, tugas Pirlo bertambah di Piala Dunia 2006. Ia harus membagi peran antara membangun serangan dan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Satu kesalahan Marcello Lippi yang menjadi pelatih, ia tak mempersiapkan pemain lain yang sepadan dengan Totti dan membangun pemain yang dapat membebaskan Pirlo dari tugas pertahanan. Padahal, Lippi jugalah yang menjadi otak taktik Italia di gelaran Piala Dunia 2006. Akibatnya tak main-main, Italia bahkan kalah 2-3 melawan tim sekelas Slowakia.
Timnas Italia kandas di Piala Dunia 2010. (Foto: FRANCOIS-XAVIER MARIT / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Italia kandas di Piala Dunia 2010. (Foto: FRANCOIS-XAVIER MARIT / AFP)
Di Brasil 2014, Spanyol yang menjadi juara pada 2010, terpuruk di fase grup. Tergabung di Grup B, Spanyol bertemu dengan Cile, Australia, dan Belanda. Spanyol bukannya kekurangan pemain hebat dan taktik mumpuni.
Tiki-taka yang tetap diusung Spanyol bukan taktik yang buruk. Yang jadi masalah, saat Spanyol masih sibuk berkutat dengan tiki-taka, tim-tim lain sudah mencari cara bagaimana mengatasi tiki-taka.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya, terlihat jelas dalam laga melawan Cile dan Belanda. Tiki-taka yang diibadahi Spanyol itu mengedepankan permainan umpan-umpan pendek. Pokoknya, yang diutamakan Spanyol adalah penguasaan bola.
Sebagai respons taktik, Cile dan Belanda sama-sama menyebar pemain di area-area tempat Spanyol melepaskan operan-operan segitiga. Strategi ini semakin ampuh karena kedua lawannya juga mengambil keuntungan dengan kecepatan para pemain mereka.
Di akhir perjalanan Spanyol di Piala Dunia 2014, Xabi Alonso angkat bicara. Menurutnya, ada dua hal yang harus diubah dalam tubuh Timnas Spanyol: pendekatan taktik dan susunan pemain. Bagi Alonso, skuat Timnas Spanyol di Brasil diisi oleh banyak pemain yang sudah merebut gelar juara di Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010. Akibatnya, mereka bertanding tanpa rasa lapar akan gelar juara.
ADVERTISEMENT
Spanyol gagal di Piala Dunia 2014. (Foto: LLUIS GENE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Spanyol gagal di Piala Dunia 2014. (Foto: LLUIS GENE / AFP)
Nasib serupa dialami Jerman di Rusia tahun ini. Bila dirangkum, Loew melakukan perjudian taktik. Yang menjadi masalah, perjudian ini berujung buntung. Mulai dari kiper hingga gelandang lini serang (kami membahasnya di sini), Loew menjatuhkan pilihan yang salah. Itu belum ditambah dengan atmosfer tim yang pada akhirnya membikin talenta-talenta muda yang seharusnya layak dibawa menjadi tertolak.
Pembicaraan mengenai kutukan dan mitos-mitos sejenisnya memang begitu menggoda. Apa boleh buat, karena pada dasarnya sepak bola juga karib dengan perkara-perkara ajaib dan tak masuk akal. Namun, mitos tidak pernah punya urusan dengan akurasi. Ia ada untuk merangkum kompleksitas ke dalam bentuk yang paling sederhana, yang paling mudah untuk dimengerti.
Mitos menjadi masalah ketika ia ditelan bulat-bulat, diterima begitu saja tanpa mendedah peristiwa kompleks apa yang sebenarnya dirangkum dalam kisah-kisah itu. Keberadaan mitos ada supaya satu peristiwa dapat tetap hidup dan diingat. Bila mitos tadi menyoal peristiwa buruk, maka ingatan tentangnya akan membuat satu pihak bertindak dini supaya tak diganjar peristiwa serupa.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan kegagalan para juara bertahan di Piala Dunia. Jerman gagal di Piala Dunia 2018 bukan karena kutukan, tapi karena setumpuk masalah yang pada kenyataannya tidak berhasil mereka selesaikan sebelum pertandingan digelar. Artinya, selama masalah-masalah tersebut tak bisa dirampungkan, selama itu pula Jerman tak pantas melangkah jauh di Piala Dunia, persis seperti omongan Loew.