Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tak mudah untuk menjelaskan ada apa sebenarnya di balik sulitnya Juventus memenangi trofi Liga Champions. Sembilan kali sudah babak final berhasil ditembus tetapi dari sana mereka hanya keluar sebagai pemenang sebanyak dua kali. Itu pun selalu mereka lakukan dengan tidak meyakinkan.
ADVERTISEMENT
Dalam dua kesempatan di mana Juventus sukses menjadi juara, mereka selalu membutuhkan penalti untuk menang. Pertama, ketika Michel Platini menaklukkan Bruce Grobbelaar di final 1985. Kedua, ketika 'Si Nyonya Tua' menang adu penalti atas Ajax di final 1996.
Selebihnya, Juventus selalu kalah. Dalam dua kesempatan terakhir, di bawah komando Massimiliano Allegri, mereka tak kuasa menaklukkan dua wakil Spanyol, Barcelona dan Real Madrid. Akrabnya Juventus dengan kegagalan ini pun semakin memupuk rasa penasaran mereka.
Banyaknya jumlah kekalahan Juventus ini membuat mereka kerap dicemooh, terutama oleh para pendukung Milan dan Internazionale. Meski demikian, Juventus bergeming. Mereka terus berusaha membangun ulang optimismenya dari satu musim ke musim lain, dari satu kegagalan ke kegagalan lainnya.
ADVERTISEMENT
Musim ini Juventus menunjuk Maurizio Sarri sebagai pelatih. Bagi tim yang bermarkas di Allianz Stadium itu, penunjukan pelatih seperti Sarri adalah sebuah terobosan. Sepak bola pragmatis mereka tinggalkan. Juventus berusaha keras untuk menjadi seperti tim-tim Eropa lainnya yang bisa bermain dengan lebih proaktif.
Pada ajang pramusim Juventus sebenarnya cukup kesulitan. Berbagai kesalahan individual dilakukan oleh para pemain yang memang belum terbiasa bermain dengan ideologi sepak bola menyerang. Namun, perlahan, itu semua teratasi. Dua laga Serie A pertama bisa dijadikan patokan.
Juventus menang dua kali dalam dua laga Serie A, masing-masing melawan Parma dan Napoli. Terlepas dari buruknya konsentrasi pemain yang membuat Napoli bisa mencetak tiga gol, Juventus sebenarnya sudah jauh lebih meyakinkan. Mereka lebih agresif baik dalam menyerang maupun bertahan.
ADVERTISEMENT
Itulah yang kemudian membuat optimisme menyambut Liga Champions kembali merebak. Dengan sepak bolanya yang sekarang, seharusnya Juventus bakal lebih bisa berbicara banyak di Eropa. Akan tetapi, sebelum turnamen dimulai, Juventus justru diguncang prahara.
Dalam daftar skuat yang diumumkan untuk memperkuat Juventus di Liga Champions, nama Emre Can dan Mario Mandzukic ditinggalkan oleh pelatih Maurizio Sarri. Hal ini kemudian membuat Can marah besar. Kepada Bild, pemain asal Jerman itu menumpahkan kekesalannya.
"Aku benar-benar terkejut. Aku ditelepon oleh seorang staf dan percakapan kami hanya berlangsung selama satu menit. Aku pun tidak diberi alasan mengapa sampai dicoret. Itu membuatku kesal dan marah," kata Can.
Situasi yang ada di Juventus memang dilematis bagi Sarri. Pasalnya, di Liga Champions kali ini, dia cuma bisa memilih 22 pemain lantaran minimnya jumlah pemain didikan akademi di skuat Juventus. Mau tak mau, Sarri pun terpaksa mencoret sejumlah pemain.
ADVERTISEMENT
Menurut aturan UEFA, sebuah klub bisa mendaftarkan sampai 25 pemain untuk mengikuti Liga Champions. Syaratnya, mereka harus memiliki 8 pemain homegrown yang dididik di liganya masing-masing dengan 4 pemain di antaranya merupakan jebolan akademi sendiri. Di skuat Juventus saat ini hanya Carlo Pinsoglio (kiper ketiga) yang berstatus jebolan akademi.
Juventus tahu soal ini. Mereka pun sebenarnya sudah berusaha menjual pemain agar pencoretan tak perlu dilakukan. Pemain-pemain yang kabarnya sempat masuk daftar jual Juventus itu adalah Sami Khedira, Blaise Matuidi, Daniele Rugani, Paulo Dybala, Mario Mandzukic, Gonzalo Higuain, Mattia Perin, dan Marko Pjaca.
Dari sana, tidak ada satu pun pemain yang terjual. Perin dan Pjaca urung pindah karena masih mengalami cedera. Sementara, pemain-pemain lainnya sempat didekati klub lain tetapi tak ada satu pun yang bersedia untuk pindah, termasuk Higuain yang musim lalu sudah dipinjamkan ke dua klub sekaligus.
ADVERTISEMENT
Anehnya, dari delapan nama pemain tadi, enam di antaranya (minus Perin dan Pjaca) masuk ke skuat Liga Champions. Khusus Rugani, dia dimasukkan karena bek utama Juventus, Giorgio Chiellini, mengalami cedera panjang. Sementara itu, Can yang tak pernah masuk daftar jual justru tidak disertakan.
Berdasarkan keterangan Can sendiri, dia sebenarnya sempat didekati Paris Saint-Germain. Akan tetapi, dia menolak prospek tersebut. Syaratnya, dia harus ikut bermain di Liga Champions. Kini, setelah kepindahan itu tak terwujud, eks pemain Bayer Leverkusen itu justru dicampakkan begitu saja.
Bisa dikatakan, Can adalah salah satu penampil terbaik Juventus di Liga Champions musim lalu. Dalam pertandingan leg II perdelapan final menghadapi Atletico Madrid dia dimainkan sebagai bek tengah dadakan dan mampu menunjukkan penampilan gemilang. Solidnya penampilan Can itu jadi salah satu alasan mengapa Juventus akhirnya bisa lolos.
ADVERTISEMENT
Dengan kredensial seperti itu wajar jika Can merasa dirinya layak memperkuat Juventus di Liga Champions. Penampilan di laga tadi menunjukkan bahwa Can tak cuma bisa diandalkan di laga besar tetapi juga memiliki kemampuan untuk bermain dalam beragam posisi. Namun, Sarri berkata lain.
Dalam masalah ini ada dua versi yang bertolak belakang, sebenarnya. Menurut Can, Juventus sudah ingkar janji terhadapnya. Akan tetapi, berdasarkan keterangan dari kolumnis Four Four Two, Adam Digby, yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti itu.
Menurut Digby, Can sebetulnya sudah diberi tahu sejak jauh-jauh hari bahwa dirinya tidak masuk dalam rencana Juventus di Liga Champions. Can pun, katanya, sudah membicarakan kepindahan dari Juventus bersama agennya selama tiga pekan. Selain itu, sosok yang menyampaikan kabar ini kepadanya adalah Sarri sendiri, bukan seorang staf Juventus.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, Can muncul dengan pernyataan baru lewat akun Twitter-nya. Mantan pemain Liverpool itu menulis, "Aku akan selalu berterima kasih pada Juventus untuk dukungannya, terutama saat aku sedang sakit"
"Sebagai bentuk rasa hormat kepada Juventus dan rekan-rekanku, yang kesuksesannya selalu jadi prioritasku, aku tidak akan berkata apa-apa lagi dan terus bertarung di atas lapangan," sambungnya.
Sekarang, anggap masalah Juventus dengan Can sampai di situ saja. Dengan demikian, yang jadi pertanyaan kini adalah keberadaan Khedira dalam skuat. Apa yang membuat Sarri memilih mengorbankan Can untuk mengakomodasi pemain seperti Khedira?
Di sini, Can harus dibenturkan dengan Khedira karena mereka sama-sama bermain di sisi kanan lini tengah Juventus. Can tidak dibenturkan dengan Matuidi karena pemain asal Prancis itu beroperasi di sisi kiri. Nah, lalu apa yang membuat Khedira lebih dipilih?
ADVERTISEMENT
Sejauh ini Juventus baru bermain di dua laga kompetitif. Belum semua pemain mendapat kesempatan turun, termasuk gelandang-gelandang seperti Rodrigo Bentancur, Aaron Ramsey, dan Adrien Rabiot. Dalam dua laga perdana, Sarri selalu memainkan Khedira dan Matuidi untuk jadi pendamping Miralem Pjanic.
Dari dua laga itu Khedira bermain bagus. Pergerakan tanpa bolanya begitu ciamik dan dengan itu dia mampu menciptakan dua peluang emas dalam pertandingan menghadapi Napoli. Can sendiri sejauh ini baru bermain sekali, itu pun sebagai pengganti.
Sejauh ini Khedira menunjukkan bahwa di bawah pelatih yang tepat kemampuan terbaiknya bisa muncul. Ketika Juventus masih dilatih oleh Massimiliano Allegri yang memang sangat mengandalkan kemampuan individual, Khedira kesulitan. Kini, saat Juventus sudah punya sistem permainan yang lebih bagus, Khedira pun jadi mencuat kembali.
ADVERTISEMENT
Penampilan Khedira dalam dua laga itu sendiri sebenarnya sudah bisa menjustifikasi keputusan Sarri. Namun, tetap saja mencoret pemain seperti Can adalah sebuah langkah berisiko. Dengan keserbabisaannya, Can semestinya diberi kesempatan untuk unjuk gigi.
Untuk mengakomodasi Can, pemain yang seharusnya disingkirkan oleh Sarri adalah Juan Cuadrado. Di skuat Juventus saat ini Cuadrado adalah pemain pinggiran yang tidak bisa lagi tampil meyakinkan baik sebagai penyerang sayap maupun bek sayap.
Sebagai penyerang sayap, Cuadrado harus bersaing dengan Federico Bernardeschi serta Douglas Costa. Sementara itu, di posisi bek sayap, sulit baginya untuk mendongkel Mattia De Sciglio dan Danilo Luiz.
Di sisi lain, Can sebenarnya juga begitu. Namun, setidaknya Can bisa mengisi lebih banyak posisi ketimbang Cuadrado. Selain sebagai gelandang tengah, pemain 25 tahun itu juga bisa beroperasi sebagai bek tengah, bek kanan, maupun bek kiri.
ADVERTISEMENT
Jika Cuadrado disingkirkan, Sarri akan tetap bisa memainkan Khedira sebagai gelandang utama serta memiliki Can untuk menjadi pelapis. Namun, dengan apa yang dia lakukan, Sarri tentunya sudah membuat pertimbangan matang. Hasilnya seperti apa nanti, cuma waktu yang bisa menjawab.