news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Di Sepak Bola, Cinta Mati Tak Dibawa Mati

14 Februari 2018 20:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Casillas sedang menanti. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Casillas sedang menanti. (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Manusia, kata mendiang Pramoedya Ananta Toer, terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan. Dan selaiknya manusia yang lain, pesepak bola pun punya cerita tentang bertepuk sebelah tangan. Anggapan sepak bola sebagai 'beautiful game', permainan indah, tak serta-merta membuat cerita yang ada di dalamnya indah melulu. Ada cerita suram, ada yang pedihnya setengah mati.
ADVERTISEMENT
Ada yang sebegitu cinta matinya dengan klub, tapi akhirnya didepak juga. Ada pula yang membuktikan diri sebagai pemain paling setia, tapi tetap dimusuhi suporter. Di tengah perayaan Valentine yang bicara soal cinta melulu, kumparan merangkum beberapa cerita tak menyenangkan, yang sedihnya, justru dialami oleh mereka yang mati-matian membela satu klub.
1. Iker Casillas - Real Madrid
Casillas sewaktu membela  Madrid. (Foto: JAVIER SORIANO / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Casillas sewaktu membela Madrid. (Foto: JAVIER SORIANO / AFP)
Kiper, menurut yang ditulis dan dialami sendiri oleh Albert Camus (karena Camus pun seorang kiper) adalah makhluk soliter. Ia berada jauh dari area yang riuh ketika gol, apalagi penentu kemenangan, dicetak ke gawang lawan. Namun, saat seorang pemain begitu dekat dengan ancaman, ia menjadi manusia yang paling sering dicaci-maki.
Kelewat soliter, satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh seorang penjaga gawang untuk menghibur diri sendiri adalah dengan berpakaian warna-warni. Kalimat ini pernah ditulis oleh Eduardo Galeano.
ADVERTISEMENT
Jika ada satu kiper yang paling sesuai dengan apa yang ditulis oleh Camus dan Galeano ini, maka Iker Casillas adalah salah satunya. Ia bukan Gianluigi Buffon, Peter Schmeichel, ataupun Olivier Kahn yang gemar berteriak garang di bawah mistar gawang.
Ia persis seperti yang ditulis Galeano. Diam, tak banyak omong, tak sering beraksi menarik. Hanya, kadang-kadang memakai kostum warna merah muda, oranye, atau hijau yang kelewat terang. Carilah wawancara-wawancara lama yang bercerita tentang bagaimana cara Casillas merayakan kemenangan. Tak ada yang istimewa. Paling-paling hanya kalimat normatif ala konferensi pers.
Satu-satunya cara yang dilakukannya untuk merayakan kemenangan adalah dengan kembali sesegera mungkin ke area di mana rumput pun tak bisa tumbuh (kembali mengutip tulisan Eduardo Galeano). Begitu ia kembali ke bawah mistar, hal yang akan ia lakukan hanyalah mengetuk tiang gawang dengan ujung sepatunya.
ADVERTISEMENT
Hanya karena Casillas tak pernah tertangkap kamera merayakan kemenangan dengan beringas, bukan berarti ia tak mempersembahkan gelar yang berarti bagi Real Madrid. Untuk dua gelar utama saja, ia sudah menyumbang lima gelar juara La Liga dan tiga trofi Liga Champions. Itu belum termasuk kompetisi lainnya.
Musim 2012/2013 adalah penanda buruk bagi karier Casillas di Real Madrid. Ia mengalami patah tangan. Apalagi yang bisa diperjuangkan seorang kiper yang patah tangan? Karena, toh, tangan adalah senjata utama para kiper.
Peristiwa ini menjadi ironi bila kita menengok tahun-tahun awal Casillas membela Real Madrid. Tahun 2001/2002, Casillas sempat dibangkucadangkan karena inkonsistensi penampilan. Namun, skenario blessing in disguise kerap terjadi di lapangan bola. Pada final Liga Champions 2002, Caesar Sanchez terpaksa keluar di menit ke-68 setelah mengalami cedera, dan Casillas melangkah ke lapangan di Glasgow dengan Madrid sedang memimpin 2-1 atas Bayer 04 Leverkusen. Dan setelahnya, Casillas terus tampil di bawah mistar.
ADVERTISEMENT
Patah tangan yang dialami Casillas memaksanya menepi sekitar tiga bulan. Jose Mourinho yang waktu itu menjabat sebagai manajer Real Madrid mendatangkan Diego Lopez. Setelahnya, cerita tentang Casillas tak pernah sama lagi.
Dua musim terakhir bersama Madrid jadi masa-masa tersulit Casillas. Tak hanya cedera, pertengkaran dengan rekan setim, perang dengan Mourinho, serta hubungan yang memburuk dengan suporter -adalah apa-apa yang menjadi cerita di hari-hari terakhir bersama Madrid.
Tindakan provokatif Mourinho kepada beberapa pemain Barcelona berbuntut panjang pada karier Casillas. Masalahnya, yang dibela Casillas bukan hanya Madrid. Kala itu, ia harus segera memimpin Timnas Spanyol di perhelatan Euro 2012. Satu-satunya cara yang harus ia lakukan adalah dengan merangkul Carles Puyol dan Xavi Hernandez. Lantas, bagi Mourinho apa yang dilakukan Casillas ini sama dengan menantangnya.
ADVERTISEMENT
Mou yang gusar melakukan manuver kebesarannya. Ia menyebut Casillas sebagai topo (tahi lalat). Di matanya, Casillas adalah provokator yang membuat skuat Madrid justru malah menentangnya sebagai manajer.
Seketika, Casillas tak punya tempat di Madrid. Ia pun hengkang ke Portugal, negara asal Mourinho. Di FC Porto sana, Casillas tetap kokoh di bawah mistar. Namun, tanpa ambisi yang meletup-letup, karena bagaimanapun juga, mimpi-mimpi masa mudanya sebagai pesepak bola sudah ia tuntaskan di Real Madrid.
2. Paolo Maldini - Ultras Curva Sud
Maldini waktu membela Milan. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Maldini waktu membela Milan. (Foto: FILIPPO MONTEFORTE / AFP)
Di antara tumpukan kostum keramat, deretan trofi sakral yang kerap dipamerkan di satu ruangan khusus di San Siro, selalu ada ruang untuk cerita Paolo Maldini.
Januari 2015 lalu, legenda Milan asal Kroasia, Zvonimir Boban, mengeluarkan kritikan pedas yang jadi ciri khasnya. Kritikan itu bermula dari kekalahan 0-1 Milan melawan Atalanta.
ADVERTISEMENT
Baginya, kala itu Milan tampil sebagai tim yang diisi dengan pesepak bola yang tidak tahu caranya bersepak bola dengan benar. Menurut Boban, Milan waktu itu adalah Milan yang bingung: Milan yang tidak bisa membedakan antara siapa mereka dan mereka pikir mereka siapa.
“Saya akan merombak hierarki dan bertindak tegas terhadap institusi, serta memanggil Paolo Maldini,” begitulah kira-kira jawaban Boban atas pertanyaan tentang apa yang akan dilakukannya seandainya ia dipanggil untuk bergabung dengan manajemen Milan.
Bagi Milan, Maldini adalah legenda yang menjadi tabu. Curva Sud Milano tak menyukainya. Di hadapan mereka, Maldini adalah sosok arogan. Ia dicap durhaka oleh mereka yang – katanya – menjadikan klub ini kaya raya.
24 Mei 2009, waktu itu Milan bertanding melawan Roma, menjadi pertandingan terakhir Maldini untuk Milan di San Siro. Seharusnya hari itu menjadi manis, laiknya laga perpisahan legenda lainnya.
ADVERTISEMENT
Seharusnya tangis haru ala pertandingan perpisahan tak hanya tampak dari Andrea Pirlo. Idealnya, bukan para penggawa Roma yang mengenakan kaos bertuliskan “Grazie, Paolo”. Sepantasnya, yang berkibar dari tribun selatan bukannya kostum raksasa Franco Baresi. Selayaknya laga perpisahan lain, yang berikan Maldini ke arah tribun adalah lambaian tangan, bukannya acungan jari tengah.
Hubungan yang tak harmonis antara Maldini dan Curva Sud -suporter garis keras AC Milan- bukan cerita baru. Perseteruan mereka bahkan dimulai waktu Maldini baru membela Milan.
Musim 1997-1998, saat Maldini baru enam bulan menjabat sebagai kapten, kelompok ini membentangkan banner yang (bila diterjemahkan) bertuliskan “Kurangi Hollywood dan Perbanyak Kerja Keras” di depan rumah Maldini. Hollywood adalah nama tempat hiburan malam di Milan yang sering menjadi tujuan piknik bagi Maldini dan teman-teman setimnya.
ADVERTISEMENT
Konon, perseteruan Maldini dan Curva Sud semakin memanas saat pertandingan final Liga Champions 2005. Waktu itu, Maldini mendapati Curva Sud menjual kelebihan tiket mereka kepada para suporter Liverpool dengan harga yang lebih tinggi. Bagi Maldini, itu perbuatan tidak pantas dan mencerminkan bahwa mereka yang melebeli diri sebagai ultras tak ubahnya sekelompok mata duitan.
Ancelotti bersama Paolo Maldini. (Foto: AFP/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Ancelotti bersama Paolo Maldini. (Foto: AFP/Stringer)
Tahun 2007, perseteruan ini berlanjut. Milan kembali menembus final Liga Champions yang waktu itu digelar di Athena. Entah bagaimana ceritanya, kelompok ultras bermasalah dengan polisi setempat. Saat Maldini diminta turun tangan, sang kapten menolak. Ia menegeskan ia tak mau ikut campur.
Maldini boleh tampil sebagai pesepak bola yang cinta mati kepada Milan. Milan menjadi satu-satunya klub yang ia bela selama berkarier sebagai pesepak bola. Satu klub dan satu timnas, cuma itu yang dibela oleh Maldini. Padahal, predikatnya sebagai salah satu bek terhebat bukannya tak menerima tawaran dari klub lain. Namun, semenggiurkan apa pun tawaran itu, Maldini menolak. Ia bersetia dengan Milan.
ADVERTISEMENT
Setelah pensiun, ia tak pernah tergabung dalam manajemen Milan. Padahal, teman-temannya yang lain bahkan menjadi pelatih.
Entah apa yang jadi sebab sebenarnya. Namun, salah satu spekulasi yang paling masuk akal adalah hubungannya yang buruk dengan para suporter.
Curva Sud punya suara yang kuat di klub. Bila manajemen memasukkan nama yang menjadi musuh besar mereka, bukannya tak mungkin klub sebagai entitas bisnis bakal mengalami kekacauan. Demonstrasi dan memboikot pertandingan adalah salah duanya.
Kesetiaan Maldini memberikannya nama besar dan penghargaan. Namun pada akhirnya, Maldini tetap tak punya tempat di Milan.
3. Francesco Totti - Luciano Spalletti
Totti selamanya buat Roma. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Totti selamanya buat Roma. (Foto: Reuters)
Francesco Totti adalah salah satu dari sedikit pemain yang kita lihat tetap berlaga berapa pun usianya. Mulai dari kita masih duduk di bangku SD sampai bekerja, ia tetap tampil sebagai pesepak bola yang mengenakan kostum AS Roma.
ADVERTISEMENT
Sehebat apa pun godaan yang datang, sementereng apa pun klub yang mengirimkan tawaran untuk Totti, ia tetap bergeming. Toh, sejak muda, ia sudah tahu bagaimana caranya menolak tawaran menggiurkan. Dulu, tawaran pertama datang dari AC Milan. Namun, ia menolak. Keluarganya pun ingin ia bermain untuk AS Roma.
Ia tahu siapa yang ada di sekelilingnya. Totti sadar apa yang menjadi identitasnya. Ia pun tetap bermain sebagai Pangeran Roma. Pangeran yang tak lengser sampai ia memutuskan untuk mundur dari sepak bola.
Cerita Totti dan Roma ditutup dengan kabar tak sedap. Manajer Pescara, Zdenek Zeman, pernah memberikan komentar tentang laga terakhir Totti bersama Roma. Di matanya, Totti masih bisa bermain sebagai pesepak bola papan atas dan tak perlu hengkang dari Roma.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak melihat pertandingan (perpisahan) ini sebagai perayaan, tapi pemakaman. Jika bukan Totti yang memutuskan untuk gantung sepatu, maka itu adalah tragedi.”
“Saya pikir Totti masih mampu berlari. Dia masih ingin bermain dan masih mencintai sepak bola. Saya bahkan tidak bisa melihatnya mengenakan pakaian selain jersi,” tegas Zeman.
Dua musim terakhir adalah waktu-waktu terberat Totti di Roma. Alih-alih bermain, ia kerap dibangkucadangkan oleh Spalletti. Keputusan ini membuat Totti murka. Totti sempat dilanda cedera, tapi menurutnya, ia sudah pulih dan siap untuk bermain.
Sebagai pelatih Roma waktu itu, Spalletti punya pendapat berbeda. Ia menilai kondisi fisik Totti sudah tak seprima dulu. Bahkan, pemain bernomor punggung 10 itu sudah kesulitan untuk berlari. Jika ia tetap memasang Totti di skuat, maka permainan tim akan rusak.
ADVERTISEMENT
Totti, selamanya legenda. (Foto: Stefano Rellandini/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Totti, selamanya legenda. (Foto: Stefano Rellandini/Reuters)
Totti memang terkenal sebagai pemain humoris di ranah sepak bola. Namun, hanya karena konyol, bukan berarti ia tak cerdas. Pemahamannya akan penguasaan bola dan ruang, efektivitasnya, kualitas umpan-umpannya, serta kharisma yang tak luntur dimakan usia, menahbiskannya sebagai salah satu pemain terhebat yang pernah dimiliki sepak bola Italia.
Spalletti dan Totti bukannya tak pernah akur. Di awal-awal kepelatihan Spalletti, keduanya tampil sebagai sosok yang saling melengkapi. Spalletti barangkali kelewat berani dengan memainkan formasi 4-6-0. Wajarkah bila satu tim sepak bola bertanding tanpa satu penyerang pun?
Secara historis, formasi ini pernah diwacanakan oleh eks pelatih Timnas Brasil, Carlos Alberto Parreira, pada tahun 2003. Ia menyebutnya sebagai "formasi masa depan". Namun, Spalletti-lah yang menggunakannya pertama kali di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
Di formasi yang tak wajar inilah, Totti tampil sebagai salah satu pemain ajaib yang pernah ada di ranah sepak bola Italia. Ia diberi kekuasaan menjelajah seluruh lapangan, tidak hanya di depan. Dan yang dilakukan Totti bukan hanya membuka ruang bagi pemain lain, tapi membuktikan bahwa ia sanggup mengemban predikat paling sakral di ranah sepak bola Italia, fantasista.
Hanya karena Totti selalu bisa membuka ruang di atas lapangan, bukan berarti ia selalu sanggup meredakan seteru. Ini pula yang terjadi padanya dan Spalletti. Selain mereka berdua, tak ada yang benar-benar paham separah apa perseteruan ini. Yang jelas, pada akhirnya, Totti memutuskan untuk pensiun. 17 Juli 2017 jadi tanggal bersejarah. Hari yang jadi akhir sebuah era.
ADVERTISEMENT
Barangkali, setelahnya, orang-orang Roma bakal mengenal Sebelum dan Sesudah Totti, mirip dengan pengelompokan sejarah dengan tanda Sebelum (kelahiran) Masehi dan Sesudah (kelahiran) Masehi. Karena Totti adalah sejarah itu sendiri.
4. Roy Keane - Sir Alex Ferguson
Keane dalam laga melawan Manchester City. (Foto: PAUL BARKER / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Keane dalam laga melawan Manchester City. (Foto: PAUL BARKER / AFP)
Sebaik-baiknya Roy Keane untuk Manchester United, ia tak akan pernah cukup untuk Sir Alex Ferguson.
Ibarat petir di siang bolong, sekitar bulan November 2005, publik dikejutkan dengan keputusan Roy Keane hengkang dari Manchester United. Parahnya, keputusan ini tidak menunggu hingga akhir musim kompetisi ataupun jendela transfer musim dingin pada bulan Januari.
Spekulasi yang muncul pertama kali tentu saja konflik antara Sir Alex Ferguson dan Keane, terutama sejak pemain asal Irlandia itu terang-terangan mengecam pedas beberapa pemain muda yang dianggap tidak layak memakai kostum Setan Merah.
ADVERTISEMENT
Pengumuman pemutusan kontrak gelandang yang saat itu berusia 34 tahun tersebut bahkan terkesan sangat tidak resmi. Seusai latihan di kompleks Carrington, Manchester, 18 November 2005, Sir Alex dengan menyinggungnya sambil lalu.
Itu pun ketika ditanya salah satu anak didiknya tentang kemungkinan Keane akan bertanding atau tidak dalamlaga melawan Charlton, yang bakal digelar besoknya. Baru setelah Ferguson mengeluarkan pernyataan tersebut, klub dan Keane mengeluarkan pernyataan resmi secara bersama-sama bahwa mereka telah berpisah.
Dilansir The Independent tahun 2016 lalu, Roy Keane mengungkapkan apa yang sebenarnya dialaminya bersama Manchester United.
“Saya pikir, United memperlakukan saya dengan buruk, karena saya tidak melakukan kesalahan apa pun. Ketika meninggalkan klub, pada hari itu pula, rasa cinta saya kepada sepak bola berubah. Saya pulang ke rumah. Waktu itu, saya berpikir bahwa saya harus pensiun.”
ADVERTISEMENT
“Meninggalkan United adalah cerita yang menyedihkan. Namun, ini hanya bagian dari kehidupan. Anda hanya sampai pada akhir dari hubungan kerja dengan seseorang. Namun, saya memang menangis di mobil sekitar dua menit,” jelas Keane.
Hengkang dari United, Keane berlabuh ke Celtic FC. Namun, masalah cedera kembali menyusahkannya. Hanya bermain setahun, ia memutuskan gantung sepatu di usia 36 tahun.
Keane dan trofi Piala FA 2004. (Foto: POOL / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Keane dan trofi Piala FA 2004. (Foto: POOL / AFP)
Keane boleh mengatakan kepada publik bahwa hubungannya dengan Ferguson baik-baik saja. Namun, pada kenyataannya, mereka tetap jual-beli ejekan di buku biografinya masing-masing. Melalui buku biografinya (ditulis oleh ghost writer Roddy Doyle), The Second Half, Keane mengungkapkan hubungannya dengan Ferguson hancur setelah Sir Alex mengancamnya.
“Saya berkata kepada Ferguson: Bisakah saya bermain untuk tim lain? Kemudian dia menjawab: Ya, Anda bisa. Namun, kami (klub) akan merobek kontrak Anda,” ujarnya dengan serius.
ADVERTISEMENT
Bagi Keane, omongan Sir Alex itu menunjukkan bahwa ia tak punya hati nurani. Omongan itu pulalah yang membulatkan tekadnya untuk segera angkat kaki dari Old Trafford. Dan setelahnya, kita semua tahun, keduanya benar-benar perang komentar. Mulai dari bab ‘hairdryer treatment’ di bukunya Fergusson, sampai wawancara Keane di MUTV.
"Jika Ferguson meminta maaf, saya dengan senang hati akan melupakan semuanya. Atas perkataan buruk Ferguson setelah saya pergi, saya pikir dia berutang kata maaf. Sesungguhnya saat saya pergi, tidak ada perpisahan yang baik-baik. Saya tidak akan pergi dengan sebuah pesta perpisahan," tegas Keane.
Dan selayaknya hubungan yang hancur, maaf itu belum muncul juga sampai sekarang.