Di Villa Park, Ryan Giggs Angkat United dari Karam

20 April 2018 16:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Giggs, Manchester United 2003. (Foto: PAUL BARKER / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Giggs, Manchester United 2003. (Foto: PAUL BARKER / AFP)
ADVERTISEMENT
Di atas kapal yang masih enggan karam, Ryan Giggs menggila dalam ketenangan yang ganjil.
ADVERTISEMENT
Ini juga berarti panggung yang mulia, yang kemeriahannya disulut oleh magi-magi zaman lampau. Lampu-lampu sorot, jepret dan rekam kamera, tepuk tangan sorak-sorai, decak kagum air mata, nyanyian suporter, raksasa-raksasa yang tumbang di kaki para kurcaci. Piala FA.
Jejak revolusi industri, keperkasaan mesin uap yang dirangkai oleh ambisi James Watt, manisnya cokelat yang menyimpan cerita getir para buruh. Renjana karib si kulit bundar, bakat-bakat alami, nyanyian nyaring para pemabuk, imigran-imigran Asia. Birmingham, Villa Park.
Ini laga semifinal, Manchester United bertarung berebut jalan ke puncak melawan Arsenal. 14 April 1999 menjadi kali terakhir laga semifinal Piala FA digelar dalam format replay (ulangan).
United masuk lapangan ibarat kapal bocor. Belum ada satu gelar yang mereka amankan di musim ini. Musim sebelumnya, mereka hanya memenangi Community Shield. Di pertandingan semifinal pertama Piala FA ini, laga ditutup dengan skor imbang tanpa gol. Bagi Alex Ferguson, ini malapateka.
ADVERTISEMENT
Cerita berbeda terjadi pada laga ulangan. Namun, United harus bersusah payah lebih dulu.
Bola jauh yang dikirim Teddy Sheringham diterima dengan sempurna oleh David Beckham yang ada di luar kotak penalti. Ia memang tak terkawal, tapi jaraknya terlalu jauh dari gawang lawan. Secara hitung-hitungan, ia tak beruntung.
Bila matematika sudah tak bisa diandalkan, maka naluri menjadi jawaban. Bola itu ditendangnya dengan sepakan keras dari luar kotak penalti ke pojok gawang Arsenal. David Seaman tersungkur, bola tak berhasil dibendung, Manchester Untied merebut keunggulan pertama.
“David Beckham breaks the deadlock after 16 minutes,” seperti itu teriakan komentator yang mengawal jalannya pertandingan. Ia patut bersorak, karena gol semacam itu lahir dari ketidakmungkinan.
ADVERTISEMENT
Paruh kedua menjadi paruh pamungkas. Jesper Blomqvist ditarik di menit 62, Ryan Giggs masuk menjadi poros, menjadi teman bagi sang kapten.
Arsene Wenger yang jadi lawan urung berdiam diri. Mata ganti mata, pemain ganti pemain. Marc Overmars masuk bertukar posisi dengan Freddie Ljungberg.
Sumbu Meriam London belum habis dimakan perang. Sepakan Dennis Bergkamp membikin riuh, di menit 69 kedudukan menjadi imbang.
Keberuntungan Arsenal tetap berlanjut. Di menit-menit krusial, menit 74, Roy Keane diusir dari lapangan. Kartu kuning kedua jadi ganjaran. Itulah akibatnya jika kau macam-macam dengan Overmars.
Arsenal yang dilawan United bukan sembarang tim. Mereka memasuki lapangan dengan modal selangit. Musim lalu, Arsenal-lah yang dimahkotai gelar juara Premier League. Jangan kau pikir laga melawan sang juara menjadi perkara mudah.
ADVERTISEMENT
Manchester United kian oleng, tak ada kapten yang mengendalikan kapal.
United merawat kesialannya dengan cara yang sederhana: Philip Neville melanggar Ray Parlour di kotak penalti saat laga akan berakhir. Kotak Pandora itu terbuka, memberikan hadiah penalti bagi pemain Arsenal.
Ini waktu-waktu genting, kemenangan tinggal selangkah, keterpurukan harus menjadi milik United. Kalimat macam ini menari-nari dalam alam pikir Wenger. Ia memerintah Bergkamp untuk memegang kendali, menjadi eksekutor, dan membuka jalan ke partai puncak.
Giggs sewaktu membela Man. United. (Foto: PAUL ELLIS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Giggs sewaktu membela Man. United. (Foto: PAUL ELLIS / AFP)
Peter Schmeichel tahu siapa yang ada di depan gawangnya. Ia tak terlampau naif untuk tak percaya bahwa kesalahan kecil berarti karamnya United. Namun, ia pun tahu, satu-satunya cara mengalahkan kecemasan adalah dengan menutup mulut rapat-rapat dan bersiaga di depan gawang.
ADVERTISEMENT
Kemenangan datang dengan wujudnya yang paling janggal. Kiper Denmark ini memenangi adu mental dan penalti melawan Bergkamp. Bola yang datang ke kiri kiper ditepis dengan matang.
Di tempat rumput tak mau tumbuh itu, seorang kiper, seorang yang soliter, membagi kesunyian dalam teriakan garang. Laga berlanjut hingga babak tambahan.
Patrick Vieira bermain-main dengan maut di babak tambahan. Alih-alih mengoper bola ke rekan, bola tadi justru sampai ke kaki Giggs. Kala itu, Giggs punya dua pilihan: berlari sendiri ke depan atau mengoper bola ke kaki kawan.
Begitu laga mencapai 109 menit, setiap orang yang di lapangan sudah cukup terbiasa untuk menjadi bodoh dan tak punya urusan dengan apa-apa dengan akal sehat. Giggs membawa bola. Ia tahu situasi sedang genting. Mengoper bola ke kaki kawan ibarat sekoci yang menyelamatkan kapal yang hampir tenggelam.
ADVERTISEMENT
Namun, Giggs tak mau sekoci. Ia ingin sampai ke daratan dengan kapal yang sama.
Giggs menggiring bola sendirian. Berlari meliuk-liuk melewati Vieira yang mencoba menebus kesalahan, dan mengalahkan duet Lee Dixon dan Martin Keown yang dipandang sebagai bek Inggris papan atas.
Entah apa yang membikin Giggs bertaruh sedemikian hebat di dalam kotak penalti. Ia menendang bola langsung ke arah gawang, mempersetankan Paul Scholes yang sebenarnya ada dalam posisi lebih menguntungkan. Seaman kembali tersungkur, keperkasaannya kalah saat berhadapan dengan magi Penyihir Wales.
Giggs is on peculiar base,” komentator bersorak. Ia memilih kata peculiar ketimbang amazing. Karena keputusan Giggs itu memang lebih tepat disebut sebagai kejanggalan daripada keajaiban.
Ferguson yang terkenal dingin itu pun berteriak dari pinggir lapangan. Ia ikut dalam perayaan, melebur dalam kegembiraan karena dalam seketika ia sadar kemenangan akhirnya mau kembali berdekat-dekatan dengan kubunya.
ADVERTISEMENT
United unggul di saat genting, kapal mereka tak jadi karam. Giggs berlari berselebrasi di tengah-tengah sorak-sorai yang semarak. Ia membuka kaus, memutar-mutarkannya di udara, persis perayaan kapten kapal yang sampai ke darat dengan selamat.
Seketika, sorot matanya tertangkap kamera. Matanya garang tapi enak dipandang. Mata yang kata seorang penulis menjadi ciri khas dari orang yang suka memberi.
Pemberian Giggs malam itu membikin entah berapa ribu atau juta orang penuh dengan semoga. Semoga menang, semoga bisa berpesta di ujung turnaman, semoga menyambung gelar juara yang sempat terputus.
“Bahkan di tempat saya, apa yang saya saksikan benar-benar fantastis. Dia mendribel bola dari tengah lapangan, kemudian mulai berakselerasi. Di hadapannya, kalian tahu, empat sampai lima pemain terbaik di Inggris siap mengadang.”
ADVERTISEMENT
“Namun, niatannya berlari sampai ke ujung membuktikan bahwa ia memang ingin mengalahkan barisan pertahanan terbaik Inggris,” seperti itu Schmeichel bercerita tentang aksi rekannya tadi.
"Saya ingat apa yang saya pikirkan waktu Patrick Vieira memberikan bola dengan sia-sia, waktu itu saya berpikir: Patrick, apa yang kamu lakukan, sih?"
"Posisi saya waktu itu jauh dari jangkauan operannya. Saya tahu Ryan (Giggs) akan berlari merebut bola. Namun, saya pikir, waktu itu posisinya juga tidak bagus-bagus amat. Kalaupun dia dapat mengalahkan saya, saya masih punya waktu untuk mengacaukannya di kotak penalti. Saya mencobanya, tapi dia mengalahkan saya lagi."
"Seusai pertandingan, saya dan Tony Adams sengaja menunggunya di lorong, cuma untuk mengucapkan selamat kepadanya," Dixon, bek yang dua kali dikalahkan Giggs di detik-detik menjelang gol tadi pun tak punya pilihan selain mengakui, apa yang dilakukan Giggs di atas lapangan memang perkara luar biasa.
ADVERTISEMENT
United melangkah ke final. Di partai puncak, mereka mengalahkan Newcastle United lewat dua gol tanpa balas. Musim itu menjadi musim yang surealis bagi United. Tak hanya juara Piala FA, mereka merebut kemenangan di Premier League dan Liga Champions.
Cerita tentang tiga gelar juara Manchester United musim 1998/1999 memang menakjubkan, tapi cerita tentang magi Giggs di laga semifinal tak pernah kandas.