Ernesto Valverde: The Making of 'Txingurri'

30 April 2018 17:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelatih Barcelona, Ernesto Valverde (Foto: Juan Medina/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pelatih Barcelona, Ernesto Valverde (Foto: Juan Medina/Reuters)
ADVERTISEMENT
Seluruh pemain langsung berkumpul di tengah lapangan usai peluit tanda berakhirnya laga menghadapi Deportivo La Coruna ditiup wasit. Tak lama, beberapa staf berlari ke arah mereka untuk melakukan perayaan bersama.
ADVERTISEMENT
Ernesto Valverde, pelatih Barcelona, tak ikut dalam perayaan tersebut. Ketika seluruh pemain dan staf berada di satu sisi yang sama, ia memilih untuk berjalan ke arah pelatih lawan, Clarence Seedorf.
Valverde dan Seedorf tak punya riwayat bermain pada satu kesebelasan yang sama. Keduanya juga bermain di era yang berbeda. Meski demikian, hal tersebut tidak menghalangi niat keduanya untuk berbicara, untuk saling menghormati satu sama lain.
Seluruh pemain dan staf Barcelona kemudian berkumpul di tengah lapangan. Membentuk sebuah lingkaran besar, mereka kompak untuk saling melompat. Mereka melakukan itu karena kemenangan atas Deportivo memastikan Blaugrana sebagai juara La Liga.
Valverde berbeda. Ia memilih untuk meluapkan keberhasilan tersebut dengan berjalan ke ruang ganti. Tak ada yang tahu apa yang ia lakukan, termasuk saat pesta sampanye Barcelona berpindah ke ruang ganti tim tamu Riazor.
ADVERTISEMENT
Seratus dua puluh menit Valverde mendampingi Barcelona di Riazor memperlihatkan semuanya. Periode tersebut menunjukkan bahwa sosok berusia 54 tahun tersebut bukan orang yang gemar berkerumun di tengah orang banyak.
Apa yang dilakukan oleh Valverde malam itu adalah akhir dari 12 bulan yang melelahkan. Jauh sebelum ini, ia telah merasakan bagaimana bau kemenangan, gosip pemecatan hingga diberi apresiasi tak karuan.
Valverde lahir di Extremadura, Spanyol, 9 Februari 1964. Ia memperkuat enam kesebelasan di level senior. Karier kepelatihan pertamanya tercatat di Athletic Bilbao, 15 tahun yang lalu. Sejak itu, namanya malang melintang di beberapa kesebelasan Spanyol dan Yunani.
Ketika bermain untuk Bilbao, Valverde mendapatkan julukan Txingurri atau semut. Julukan ini ia terima karena kemampuan fisik yang ia miliki tak sesuai postur tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Hampir setahun yang lalu atau 29 Mei 2017, Josep Maria Bartomeu mengumumkan Valverde sebagai pelatih Barcelona yang baru. Ada yang memuji langkah Bartomeu saat itu, meski tidak sedikit pula yang mencibir.
Cibiran yang diberikan kepada Valverde sebenarnya cukup masuk akal. Meski meraih beberapa gelar juara, ia dirasa tak punya nama besar. Karier kepelatihan yang itu-itu saja membuat nama Valverde tak lebih baik dari medioker lainnya.
Prestasi terbaik Valverde sebagai pelatih hanyalah ketika membawa Espanyol menjadi runner-up Piala UEFA musim 2006/07. Di luar itu, ia hanya bisa meraih gelar di kompetisi-kompetisi yang tak diburu oleh kesebelasan-kesebelasan besar.
Dukungan untuk Valverde datang dari rekannya sesama pelatih. Salah satunya adalah Pako Ayestaran. Meski tak pernah bekerja dalam satu kesebelasan, keduanya lahir dari kursus kepelatihan dan era melatih yang sama.
ADVERTISEMENT
Ayestaran berkata bahwa mendukung penuh penunjukkan Valverde oleh Barcelona. “Saya setuju dengan dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa kesebelasan besar wajib memilih pelatih besar. Namun, saya tak setuju apabila Barcelona menjadikan alasan tersebut untuk tidak memilih Valverde.”
“Ada segenap kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi juru taktik Barcelona. Saya merasa tidak semua orang di dunia ini bisa memenuhi itu semua, tapi Valverde, saya yakin punya banyak alasan untuk dilantik oleh Barcelona.”
“Ia adalah orang yang tahu bagaimana mengatur kualitas pemain-pemainnya. Ia tahu bagaimana seharusnya sebuah taktik digunakan dalam sebuah kesebelasan. Dua alasan tersebut membuat Valverde layak untuk menjadi pelatih kesebelasan sekelas Barcelona.”
“Ia tahu bagaimana caranya mendekatkan diri ke pemain, tapi tetap menjaga otoritas yang dimiliki. Ia bisa membuat pemain-pemainnya merasa nyaman di atas lapangan, tapi tetap menghormatinya di ruang ganti. Ia punya aura yang bisa mengubah semua keadaan," kata Ayestaran.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Ayestaran menjelaskan semua tentang Valverde. Ia tahu bahwa Valverde hanya satu hal: kemenangan, gelar, dan status.
Kemenangan pada akhirnya membuat Valverde haus. Rasa tersebut membuatnya tak peduli harus menyingkirkan fondasi permainan yang telah dibangun oleh Johan Cruyff, Frank Rijkaard, atau Pep Guardiola.
Untuk membenahi satu hal yang pelik, dibutuhkan banyak pelajaran. Untuk membenahi Barcelona yang bobrok di musim lalu, Valverde belajar banyak. Ia mengobati lemahnya lini belakang dengan mengurangi ketajaman lini depan.
Berbeda dengan era-era sebelumnya, Valverde identik dengan pola 4-4-2. Pilihan ini membuat Valverde dianggap kuno, sebab terakhir kalinya Barcelona menggunakan pola 4-4-2 adalah di era Radomir Antic, 2003 lalu.
Dengan pola ini, Valverde mengedepankan pada keseimbangan semua lini. Ia tak mau hanya lini depannya yang menerima pujian, tapi juga lini belakang dan tengah. Ia tak mau hanya penyerang yang diapresiasi, tapi juga gelandang, bek, dan kiper.
ADVERTISEMENT
Perubahan tersebut memang membuat Barcelona tak setajam biasanya. Namun, pada akhirnya, keseimbangan yang dicari oleh Valverde terpenuhi. Lini tengah Barcelona kian kuat, sementara lini belakang mereka makin solid.
Valverde sukses. Barcelona musim ini mungkin jadi yang paling seimbang dibandingkan lima musim terakhir. Catatan mencetak gol Blaugrana mungkin tidak yang paling sempurna, tapi juga tidak yang paling buruk. Pun demikian dengan catatan kebobolan.
Gelar ini pun dipengaruhi oleh kolektivitas antarpemain Barcelona. Keberadaan beberapa pemain, seperti Lionel Messi, Luis Suarez, Andres Iniesta, Sergio Busquets, Gerard Pique, dan Jordi Alba memang membuat Barcelona punya dimensi yang berbeda.
Meski gagal berbicara banyak di Liga Champions, tapi menjuarai La Liga adalah awal yang baik untuk Barcelona. Hal ini juga membuktikan bahwa Barcelona tak perlu cantik untuk menjadi juara, cukup hanya efektif dan pragmatis.
ADVERTISEMENT
Seperti kata Jose Mourinho, “There are lots of poets in football, but poets—they don’t win many titles.”