Guardiola, Mourinho, dan Kesunyian para Manajer

19 Desember 2018 11:10 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pep Guardiola kala memimpin skuatnya. (Foto: Reuters/Andrew Boyers)
zoom-in-whitePerbesar
Pep Guardiola kala memimpin skuatnya. (Foto: Reuters/Andrew Boyers)
ADVERTISEMENT
Yang berdiri sendiri di atas lapangan bola bukan hanya penjaga gawang. Yang menjadi makhluk soliter di atas lapangan bola bukan cuma kiper. Pelatih, manajer, atau apa pun sebutannya pun berdiri sendirian di pinggir lapangan, menanggung beban sebagai kambing hitam dan pesakitan jika tim didikannya menelan kekalahan.
ADVERTISEMENT
Josep Guardiola mengakuinya. Baginya, itulah risiko terbesar menjadi seorang manajer di era sepak bola modern. Apa boleh buat, lapangan bola bukan lagi kanvas kosong tempat para pelakonnya berliar-liar menjadi diri sendiri, tapi laboratorium untuk menemukan formula terbaik demi merengkuh kemenangan dan gelar juara.
Perekrutan dan pemecatan menjadi dua hal yang acap menghampiri hidup para manajer dan pelatih. Menang disanjung, kalah dicaci, berulang kali kalah dipecat. Sebesar apa pun namamu, segenius apa pun racikan taktikmu--semuanya tak akan cukup selama kemenangan dan gelar juara tidak jatuh ke tanganmu.
Berangkat dari itulah, pemecatan Jose Mourinho sebagai pelatih Manchester United dapat dimaklumi. United tidak melakoni Premier League 2018/19 dengan mengesankan. Hingga pekan ke-17, mereka ada di peringkat enam dengan raihan tujuh kemenangan serta masing-masing lima hasil imbang dan kekalahan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengingat kembali seburuk apa penampilan United di sepanjang paruh musim, kita dapat melihat kembali laga United dan Liverpool pada Minggu (16/12/2018). Kekalahan 1-3 untuk United menjadi ganjaran setimpal bagi penampilan payah tim--walau di sisi lain, United berhasil juga menjejak ke babak 16 besar Liga Champions 2018/19.
Hanya, separah-parah apa pun kondisi United, dukungan Pep tetap ada untuk rivalnya itu. Sepanas apa pun rivalitas mereka, keduanya ada di tempat yang sama dan memikul beban serupa.
Mou dan Pep, tidak bertarung di puncak. (Foto: AP Photo/Dave Thompson)
zoom-in-whitePerbesar
Mou dan Pep, tidak bertarung di puncak. (Foto: AP Photo/Dave Thompson)
"Saya ada di pihak Mourinho. Sebagai manajer, kami berdiri sendirian. Klub mengontrak kami untuk menang sehingga jika kami tidak menang, ya, kami tahu apa yang akan terjadi. Saya selalu menggunakan sudut pandang sebagai manajer. Makanya, saya mengetahui dengan pasti apa yang mereka rasakan dan saya selalu ada di pihak mereka karena kami ini sendirian. Semua beban ada di pundak kami," jelas Guardiola dilansir ESPNFC.
ADVERTISEMENT
Berhitung mundur, Mourinho datang ke Old Trafford pada 27 Mei 2016. Ia tidak datang ke United saat klub sedang baik-baik saja. Sepeninggal Sir Alex Ferguson, United kocar-kacir, kaki mereka akhirnya menjejak tanah. Bertahun-tahun lekat dengan label klub superior, begitu Sir Alex turun takhta, United merasakan sendiri momen-momen menjadi medioker dan bahan tertawaan.
Pelatih silih berganti. Mulai dari David Moyes, caretaker Ryan Giggs, hingga Louis van Gaal--tak ada yang mampu mengembalikan keperkasaan United dengan konsisten. Sebenarnya dapat dimaklumi, bahkan Sir Alex tidak memugar Old Trafford dalam satu atau dua malam.
Hingga akhirnya Mourinho datang. Pemanggilannya menerbitkan harapan baru bagi klub dan suporter. Tengoklah curriculum vitae Mourinho. Bahkan FC Porto berhasil dibawanya sebagai juara Liga Champions 2003/04. Inter Milan dijadikannya treble winner, Chelsea diberinya limpahan gelar domestik, Real Madrid digiringnya sebagai klub yang dapat menandingi keindahan sepak bola Barcelona racikan Guardiola. Berbekal semua itu, Mourinho menjejakkan kaki ke United.
ADVERTISEMENT
Reaksi Manajer Manchester United Jose Mourinho. (Foto:  Reuters / Carl Recine)
zoom-in-whitePerbesar
Reaksi Manajer Manchester United Jose Mourinho. (Foto: Reuters / Carl Recine)
Guardiola tahu benar siapa Mourinho. Toh, sebelum menjadi rival, keduanya pernah bekerja di bawah naungan Barcelona bersama-sama. Dengan pengenalannya itu pulalah Guardiola yakin pemecatan macam ini hanya akan menjadi persoalan administrasi bagi Mourinho, bukannya tumbukan yang akan menghentikan langkahnya sebagai manajer dan juru taktik.
"Tapi, Mourinho itu memiliki banyak pengalaman. Ia manajer papan atas dan ia akan kembali secepatnya. Saya yakin, kami akan kembali saling melawan," ucap Guardiola.
Ya, begitulah jadinya. Nama besar, gelar juara, dan kegeniusan pada akhirnya tak akan membuat pemikir-pemikir pinggir lapangan itu terhindar dari nasib buruk bernama kesunyian.
Maka, untuk semua nasib buruk yang ditanggung oleh para manajer, kita bisa sedikit menebar ceria. Mungkin dengan mengenangnya dalam pembicaraan-pembicaraan ringan, mengaguminya dalam pembelajaran taktik, atau menjadikan kekalahan kemarin sebagai perkara usang yang tak perlu diungkit-ungkit lagi.
ADVERTISEMENT